Selasa, 19 Maret 2013

KEHORMATAN



Kehormatanku adalah hidupku
keberadaanku itulah kehormatanku
Andai aku tak pernah hidup, tentu kehormatan takkan pernah terpikirkan

Berjuang mempertahankan hidup adalah taruhan
kehormatanku dipandang tatkala aku berada
Dengan seluruh diri, pikir, kata dan perbuatan
Terlukis di sana seberapa besar kehormatanku

Memang ukuran naik-turun dalam timbangan
Kehormatanku tak selalu bisa dipertahankan seimbang
Namun usaha harus tetap dihargai
Karena kehormatan adalah nilai adaku

REFORMASI



Hidup itu dinamis, tiada kemapanan yang bisa dipertahankan
Semuanya silih berganti, perubahan adalah keniscayaan

Bertahan dalam kemapanan hanyalah momok
Merusak diri dengan idealisme yang premature
Kontekstualitas diperlukan untuk hidup

Reformasi itu alamiah
Gonta-ganti model untuk sesuatu nilai yang lebih baik


MENGAJARMU



Kutahu mengajarmu memang tidaklah mudah
Namun panggilanku untuk mengajarmu harus kupenuhi
Karena mengajarmu sama dengan hidupku
Meski untuk sementara waktu, mengajarmu adalah nafasku

Kutahu juga bahwa mengajarmu mungkin akan menyakitkan hati
Sebab idealismeku terpaksa dipasung menghadapi kenyataan yang sulit diubah
Akhirnya memaksa diri hanya untuk bertahan karena panggilanku mengajarmu

Kuharap mengajarmu bisa berbuah sesuatu
Kalau bukan saat ini,mungkin di lain waktu
Mengajarmu bisa menjadikanmu orang baik
Yang berguna bagi masa depanmu

MENGUPAYAKAN GEREJA MANDIRI DI REGIO GEREJANI NUSA TENGGARA MELALUI PENDEKATAN TEOLOGI KELUARGA MAURICE EMINYAN



I. PENDAHULUAN
          Tema tentang Gereja Mandiri saat ini kian hangat diperbincangkan di Gereja-Gereja Lokal Indonesia. Secara khusus dalam regio Gerejani Nusa Tenggara, pembicaraan mengenai Gereja Mandiri telah menjadi salah satu tema penting yang menarik perhatian dalam berbagai kesempatan pertemuan, entah itu di tingkat regional, keuskupan maupun di tingkat parokial. Ada berbagai visi dan misi yang coba dirumuskan sebagai arah dasar kebijakan pastoral untuk menjawabi kebutuhan ini. Namun kehangatan membicarakan visi dan misi Gereja Mandiri tersebut terasa masih menemui kendala di tingkat “akar rumput” atau umat, seperti ditandai dengan masih lemahnya partisipasi mereka dalam hidup menggereja.[1] Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, tentu mengemuka pertanyaan dalam benak kita mengenai solusi apa lagi yang perlu dipikirkan untuk mendongkrak partisipasi aktif umat dalam hidup menggereja sehingga ideal kehidupan Gereja Mandiri bisa tercapai?
           Untuk menjawabi permasalahan tersebut, maka dalam makalah ini kami menawarkan teologi keluarga menurut Maurice Eminyan yang bisa dipakai sebagai arah dasar untuk merumuskan berbagai kebijakan pastoral menyangkut Gereja Mandiri di regio Gerejani Nusa Tenggara sambil memberikan beberapa pertimbangan kritis di akhir makalah.


II. APA ITU GEREJA MANDIRI?
Pertanyaan mengenai “Apa Itu Gereja Mandiri?” pada dasarnya memiliki kedalaman gugatan yang menuntut penjelasan sampai ke akar-akarnya. Berikut ini, kami coba menguraikan berbagai sisi tilik pandangan sebagai bahan untuk memahami hakikat Gereja Mandiri.
   
2. 1. Terminologi
2. 1. 1. Definisi Gereja Dalam Sejarah
        Akar kata “Gereja” sebenarnya berasal dari kata bahasa Yunani, yaitu ekklèsia yang berarti “kumpulan” atau “pertemuan” atau “rapat”. Namun Gereja atau ekklèsia ini bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus, yang terpanggil.[2]
            Di dalam Kitab Suci, kata “Gereja” bukanlah semacam batasan atau definisi. Ekklèsia adalah kata yang biasa saja pada zaman para rasul. Hal ini bisa dilihat dari cara pemakaiannya, yang memperlihatkan bagaimana jemaat perdana memahami diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Awalnya mereka menyebut diri sebagai “Gereja Allah” atau juga “Jemaat Allah” (Bdk. 1Kor.10:32; 15:9, dst.). Maksud sebutan ini secara jelas bisa dibaca dalam 1Kor. 11:27-22. Dalam perikop ini Paulus berbicara mengenai jemaat yang berkumpul untuk merayakan ekaristi karena iman akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, Gereja yang dimaksud dalam gereja perdana adalah “jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus” (Bdk. 1Kor. 1:2). Namun secara umum, dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sebenarnya dikenal 3 nama yang dipakai untuk menyebut Gereja, yaitu “Umat Allah”, “Tubuh Kristus”, dan “Bait Roh Kudus”.[3]
       Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam Konsili Vatikan II, pengertian Gereja terus mengalami penambahan. Selain ketiga pengertian Gereja terdahulu, Ajaran Gereja mencatat pula beberapa pengertian baru tentang Gereja, yaitu sebagai “Misteri dan Sakramen”, “Communio”, dan “Persekutuan Para Kudus”.[4] Namun secara mencolok, ajaran Konsili Vatikan II, yang ditegaskan kembali dalam sinode luar biasa para Uskup pada tahun 1985, menggaris-bawahi pemahaman Gereja dewasa ini yang lebih bercorak Misteri dan Sakramental, yaitu dua aspek dari satu kenyataan, yang sekaligus ilahi dan insani. Dengan demikian, Gereja dapat dipahami sebagai “sakramen yang kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu” (LG 9; Lih. 48), “sakramen keselamatan bagi semua orang, yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Allah terhadap manusia” (GS 45).[5]    

2. 1. 2. Gereja Mandiri
            Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata mandiri didefinisikan sebagai “berdiri sendiri, dalam arti tidak bergantung kepada orang lain dalam mengerjakan sesuatu; tidak menyandarkan hidup pada orang lain karena sudah dapat berusaha sendiri”.[6] Selain pengertian leksikal tersebut, dalam praksis hidup sehari-hari, penggunaan kata mandiri juga biasanya dipertukarkan dengan kata berdikari. Dengan demikian, menyebut kata mandiri atau berdikari kita memaksudkan sebuah keadaan dimana kita sudah bisa mengandalkan kemampuan sendiri untuk menghidupi diri.    
          Dalam pembahasan makalah ini, kami mengakui bahwa tidak ada rujukan eksplisit dari Dokumen Resmi Gereja yang membahas tentang Gereja Mandiri. Kendati demikian, dalam praksis pastoral di berbagai keuskupan Gerejani Indonesia, akhir-akhir ini mulai marak dipergunjingkan tentang Gereja Mandiri dalam wilayah Gereja Lokalnya masing-masing. Secara khusus, konsep tentang Gereja Mandiri yang kami maksudkan itu seperti mengemuka dalam sidang pastoral keuskupan Weetebula yang ke-14 (8-11 Februari 1999), dimana pembicara utamanya Rm. Yosef Lalu, Pr, Sekretaris Kateketik KWI, menegaskan bahwa Gereja Mandiri yang hendak dibangun itu harus meliputi beberapa bidang, yaitu bidang iman, personal, dan finansial. Pertama, kemandirian di bidang iman bertujuan agar umat menerima Allah sepenuhnya dalam diri mereka; kedua, kemandirian di bidang personal bertujuan agar pelaku utama dalam karya pastoral bukan monopoli kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; dan ketiga, kemandirian di bidang finansial bertujuan agar segala jenis pembangunan seperti pembangunan fisik menjadi tanggung jawab seluruh umat.[7] Itulah batasan makna Gereja Mandiri yang akan menjadi rujukan selanjutnya dalam pembahasan makalah ini.

2. 2. Dasar Biblis dan Teologis Gereja Mandiri
2. 2. 1. Dasar Biblis
            Konsep tentang Gereja mandiri sebagaimana yang dimaksud di atas, yaitu dalam hal kemandirian iman, personal dan finansial, tentu memiliki dasar biblisnya yang kuat dalam Kisah Para Rasul, 2:42-45; 4:32-35. Dalam perikop-perikop tersebut jelas diperlihatkan bagaimana komunitas Gereja perdana menghayati hidup mereka dalam kepenuhan berbagai dimensi kemandirian. Di bidang iman, tampak jemaat perdana hidup bertekun dalam iman berdasarkan pengajaran para rasul, hidup dalam suasana persaudaraan, giat dalam pemecahan roti dan doa bersama, serta menyegani Allah karena para rasul mengerjakan banyak mukjizat dan tanda-tanda ajaib; di bidang personal, mereka memiliki para rasul sebagai pelayan-pelayan umat yang siap pakai dalam jumlah yang cukup untuk komunitas mereka pada waktu itu; di bidang finansial, mereka tidak mengalami kekurangan apa pun karena segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama dan dibagi-bagikan di antara mereka menurut keperluan masing-masing.[8]   

2. 2. 2. Dasar Teologis
          Dasar Teologis dari konsep Gereja Mandiri tak lain adalah membangun persekutuan yang berdasarkan pada gambaran komunitas Trinitaris, mencontohi cara hidup jemaat perdana, bersatu padu dalam iman akan Yesus Kristus, teguh berharap kepada Allah dan saling mengasihi.[9] Hal-hal inilah yang dimaksud sebagai nilai-nilai teologis arah dasar kebijakan pastoral Gereja dalam mengupayakan kemandiriannya.  

2. 3. Tujuan Gereja Mandiri
        Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam terminologi tentang Gereja Mandiri, di sana ditekankan tiga aspek penting yang menunjuk pada tujuan Gereja Mandiri itu sendiri, yaitu berdikari di bidang iman, personal dan finansial. Sebab itu dalam batasan ini, tujuan Gereja Mandiri yang dimaksud hendaknya bukan dipahami sebagai “otonom” atau tanpa ikatan lagi dengan Gereja Universal, melainkan dalam pengertian bahwa Gereja Lokal tersebut bukan lagi sebagai “daerah misi”. Misalnya, ketika pada tahun 1961 didirikan Hirarki Gerejawi di Indonesia, Gereja Indonesia menurut Hukum Gereja diakui bukan lagi sebagai daerah misi, atau dengan kata lain sudah mandiri, terlepas dari misi Gereja Belanda, namun tetap merupakan bagian dari Gereja Universal.[10]
            Jadi, tujuan dari Gereja Mandiri adalah ketidak-bergantungan Gereja setempat pada pihak atau misi Gereja lain untuk memenuhi kebutuhan hidup menggerejanya. Atau dengan kata lain, tujuan Gereja Mandiri adalah mengusahakan keberdikariannya sendiri dalam bidang iman, personal dan finansial yang menjadi elemen penting dari sebuah realitas hidup menggereja.


III. KONSEP TENTANG GEREJA MANDIRI DI REGIO GEREJANI NUSA TENGGARA
            Untuk memahami konsep tentang Gereja Mandiri di Regio Gerejani Nusa Tenggara, maka dalam bagian bahasan ini kami akan memaparkan terlebih dahulu tinjauan umum mengenai Gereja Mandiri di Indonesia, kemudian mengambil sampel dari beberapa keuskupan di regio Gerejani Nusa Tenggara (Ruteng, Weetebula dan Atambua) sebagai unit analisis, untuk mengemuka sejauh mana pemahaman tentang Gereja Mandiri telah berkembang di wilayah ini.

3. 1. Tinjauan Umum Mengenai Gereja Mandiri di Indonesia
Misi Katolik di Indonesia sampai tahun 1940 dalam banyak hal bergantung pada Gereja Belanda, terutama menyangkut ketenagaan, materi dan finansial. Baru di antara tahun 1940 dan 1961, kader acuan Gerejawi mulai bergeser dari konteks Belanda kepada konteks Indonesia, yaitu dari misi menuju Gereja yang mandiri beserta hirarkinya sendiri.[11]
            Tepatnya pada tanggal 3 Januari 1961, pengakuan resmi dari Vatikan-Roma akhirnya menandai era baru ziarah Hirarki Gereja Katolik di Indonesia. Melalui Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus, Paus Yohanes XXIII menganugerahkan hirarki episkopal kepada Gereja Katolik di Indonesia dengan butir-butir pengakuan sebagai berikut:
1)      Gereja Katolik di Indonesia memiliki kemampuan menjamin kelangsungan keberadaannya serta pengembangannya secara kuantitatif dan kualitatif; 
2)      Gereja Katolik di Indonesia memiliki kemampuan menjamin komunikasi persaudaraan para murid Yesus antar gereja-gereja setempat baik nasional maupun internasional; 
3)      Gereja Katolik di Indonesia memiliki kemampuan menjamin kelanjutan pelaksanaan karya misi ke dalam dan ke luar; 
4)      Gereja Katolik di Indonesia memiliki kemampuan berkembang menjadi Gereja pribumi dengan tetap berpegang teguh pada hakekat Gereja yang universal; 
5)      Gereja Katolik di Indonesia memiliki kemampuan berkembang menjadi Gereja dewasa yang bertanggung-jawab penuh dalam pengadaan tenaga-tenaga pastoral (klerus dan awam) dan sarana-sarana lain yang mendukung pengembangan dirinya sebagai Gereja Kristus yang sejati.
Secara khusus pada awal tahun 2011 ini, Gereja Katolik di Indonesia telah merayakan 50 tahun hirarki episkopalnya. Namun Konferensi Waligereja Indonesia mencatat bahwa peristiwa yang bersejarah ini tidak hanya cukup untuk dikenang. Setelah 50 tahun mendapat anugerah pengakuan ini, Gereja di Indonesia sepantasnya bertanya diri: sudah sejauh mana kita memaknai pemberian wewenang ini untuk memacu kemandirian kita sebagai Gereja Indonesia dalam segala segi kehidupan menggereja di tanah air tercinta ini?[12]
Berdasarkan tinjauan umum ini, maka bisa disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Gereja Mandiri di Indonesia adalah pengakuan resmi dari Vatikan-Roma melalui anugerah episkopalnya pada tahun 1961 agar Gereja Katolik di Indonesia mulai menata kehidupan menggerejanya secara mandiri, dengan tidak bergantung lagi pada Gereja Misi sebelumnya yang berasal dari negeri Belanda. Butir-butir pengakuan sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII serta-merta membawa implikasi mendasar bagi Gereja Katolik di Indonesia untuk beralih lebih jauh menjadi Gereja Katolik Indonesia (Indonesianisasi Gerejawi). Namun sudah sejauh mana Indonesianisasi Gereja ini berjalan dan berhasil dalam pencapaiannya? Huub J. W. M. Boelaars,[13] dalam bukunya Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia telah mencatat beberapa hal penting mengenai keberlangsungan proses itu selama 50 tahun terakhir (1940-1990), terutama dalam hal Indonesianisasi umat Allah, imam dan para religius, episkopat dan pimpinan berbagai ordo serta kongregasi, dan juga pembangunan struktural dan budaya Gereja-Gereja setempat di Indonesia. Tema-tema yang dibicarakan tersebut tentu menyangkut ranah-ranah dan berbagai dimensi dalam proses pemribumian Gereja Katolik Indonesia. Tetapi satu hal yang patut dicatat bahwa sebenarnya inti dari Indonesianisasi Gerejawi seperti ini mau menyoroti kemandirian dasariah sebuah Gereja yang perlu dibangun dan dihidupi oleh segenap anggotanya. Kemandirian dasariah sebuah gereja ini tak lain adalah meliputi kemandirian spiritual atau iman, kemandirian personalia dan kemandirian finansial.   


3. 2. Konsep Tentang Gereja Mandiri di Beberapa Keuskupan Dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara
3. 2. 1. Profil Regio Gerejani Nusa Tenggara
            Regio Gerejani Nusa Tenggara merupakan gabungan dari beberapa keuskupan yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Bali. Regio Gerejani Nusa Tenggara tersebut terdiri dari 8 keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Sufragan Larantuka, Keuskupan Sufragan Ruteng, Keuskupan Sufragan Denpasar, Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Sufragan Atambua, Keuskupan Sufragan Weetebula dan Keuskupan Sufragan Maumere.[14]      

3. 2. 2. Konsep Tentang Gereja Mandiri di Beberapa Keuskupan Dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara
            Berdasarkan hasil sidang, musyawarah pastoral, sinode dan berbagai pertemuan di tingkat keuskupan dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara, mengemuka di sana konsep tentang Gereja Mandiri yang sedang diupayakan dalam Gereja Lokalnya masing-masing. Berikut ini kami hanya akan mencatat beberapa konsep yang relevan dibicarakan di beberapa keuskupan, sesuai tempat tahun orientasi pastoral kami.

a.  Keuskupan Sufragan Ruteng
Dalam Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng Tahun 2008-2012, ditegaskan di sana tentang visi keuskupan yang mau mengupayakan terwujudnya Gereja lokal yang Mandiri, Misioner, dan Memasyarakat. Bertolak dari visi tersebut kemudian dijabarkan sejumlah misi pastoral yang diarahkan untuk pencapaian visi tersebut. Beberapa kebijakan strategis sebagai arah perjalanan pastoral keuskupan ini, antara lain menyangkut Gereja Mandiri, dirumuskan sebagai berikut: “Perlu dikembangkan terus pastoral umat yang mengarah kepada kemandirian umat. Umat sendiri hendaknya menjadi subyek pastoral yang menentukan maju-mundurnya karya pastoral dalam keuskupan ini. Gereja hendaknya sungguh-sungguh dipahami sebagai Umat Allah. Di sini semua umat diajak untuk berpartisipasi dalam mengembangkan gereja lokal. Demokratisasi lewat kehadiran komunitas-Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai cara baru hidup menggereja dalam keuskupan Ruteng hendaknya ditingkatkan terus”.[15]

b. Keuskupan Sufragan Weetebula
Dalam sidang pastoral keuskupan Weetebula yang ke-14 (8-11 Februari 1999), tercatat satu tema penting yang dibicarakan pada waktu itu adalah upaya membangun Gereja Mandiri atau suatu evaluasi untuk melihat kembali sejauh mana perkembangan program tersebut telah direalisasikan. Sebagai pembicara utama dalam sidang tersebut, Rm. Yosef Lalu, Pr, Sekretaris Kateketik KWI, mengemukakan bahwa Gereja Mandiri yang dibangun harus meliputi beberapa bidang, yaitu bidang iman, personal, dan finansial. Maksud dari kemandirian di bidang iman adalah agar umat menerima Allah sepenuhnya dalam diri mereka; kemandirian di bidang personal, agar pelaku utama dalam karya pastoral bukan monopoli kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; dan kemandirian di bidang finansial, agar segala jenis pembangunan seperti pembangunan fisik menjadi tanggung jawab seluruh umat.[16]
Menanggapi tema pembicaraan dalam sidang tersebut, maka dalam sidang berikutnya, Februari 2000, dihasilkan arah dasar pastoral tentang kemandirian, bahwa Gereja Mandiri sebagaimana menjadi cita-cita Gereja Universal harus dilakukan secara terpadu dalam wilayah keuskupan ini, yaitu menyangkut iman, personal, dan finansial, dengan memberdayakan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai wadah pengembangannya.[17]

c. Keuskupan Sufragan Atambua
Di wilayah keuskupan ini, tema tentang Gereja Mandiri sangat kuat dibicarakan pada awal tahun milenium III (tahun 2000). Hal ini seperti mengemuka dalam 4 hal perencanaan pastoral berikut:
1.      Stuktur pelayanan pastoral akan didayagunakan seoptimal mungkin sehingga dengan demikian tenaga-tenaga pastoral, baik tertahbis maupun tidak tertahbis akan semakin terlibat dalam karya pastoral yang menjadi tugas dan wewenang mereka.
2.      Masalah ketenagaan harus terus diperhatikan melalui pengkaderan, baik untuk tenaga tertahbis maupun tidak tertahbis, termasuk di dalamnya peningkatan keterlibatan biarawan dan biarawati.
3.      Terus mengupayakan pengadaan dan pendayagunaan berbagai fasilitas berupa harta benda Gereja, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dibutuhkan untuk pelayanan pastoral.
4.      Keuangan diupayakan melalui penyadaran umat tentang tanggung jawab untuk mandiri, sambil bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menggali dana guna menunjang kemandirian umat.  
Berdasarkan tinjauan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa konsep tentang Gereja Mandiri yang sedang diupayakan di beberapa keuskupan dalam regio Gerejani Nusa Tenggara ini adalah menyangkut kemandirian iman, personal, dan finansial. Ketiga bidang kemandirian ini juga mesti dilihat sebagai karya misioner sendiri (ad intra), yang oleh Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja ditegaskan supaya jemaat Kristiani sejak semula harus dibina sedemikian rupa, sehingga sedapat mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri (AG 15).[18]   

3. 3. Sharing Pengalaman Tahun Orientasi Pastoral (TOP): Realitas Masalah Seputar Gereja Mandiri di Beberapa Paroki Keuskupan Dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara
            Dalam salah satu kesempatan bimbingan Novisiat Kekal yang diadakan di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero (tanggal 18-29 Januari 2011), angkatan kami yang baru saja pulang dari tempat praktek pastoral diminta untuk mengsharingkan pengalaman sehubungan dengan kehidupan menggereja di tempat praktek pastoral kami masing-masing untuk selanjutnya dibahas dalam bingkai analisis sosial (ANSOS) bersama fasilitator P. Robert Mirsel, SVD. Kami mencatat berbagai hal untuk diperbincangkan, seperti pengalaman-pengalaman yang menantang di tempat TOP, pengalaman-pengalaman yang dirasakan sebagai dukungan dan peluang bagi kami sebagai calon misionaris, dan masalah-masalah hidup menggereja yang ditemukan di tempat TOP.
Berkaitan dengan tema bahasan makalah ini, maka kami merasa relevan untuk mengemukakan kembali masalah-masalah hidup menggereja yang pernah dicatat tersebut sebagai bahan cerminan untuk menanggapi realitas Gereja mandiri di Regio Gerejani Nusa Tenggara, terutama di beberapa paroki dan juga di lembaga formasi tempat praktek pastoral kami masing-masing.[19]

 a. Dalam bidang kemandirian iman:
1.      Kesadaran umat untuk membangun inisiatif dalam komunitas umat basis, secara khusus dalam hal pengembangan iman lewat doa bersama dan katekese masih lemah.
2.      Umat kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan rohani.
3.      Banyak umat yang belum menghayati pentingnya Ekaristi Kudus. Hal ini jelas terlihat dalam ketidakhadiran mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu.
4.      Iman umat masih bergantung pada pemimpin agama atau tokoh-tokoh masyarakat.
5.      Umat belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai ajaran iman Katolik.
6.      Tidak adanya kelompok-kelompok doa dalam lingkungan Gereja.
7.      Masih ada kelompok “penghasut” yang memecah-belah persatuan hidup umat dalam paroki.

b. Dalam bidang kemandirian personal:
1.      Dalam hal ibadat-ibadat, umat masih bergantung pada pelayanan agen pastoral tertahbis.
2.      Minimnya partisipasi kaum awam yang bersedia untuk mengemban tugas pelayanan pastoral. Hal ini ditandai oleh berkurangnya minat umat untuk menerima tugas sebagai katekis/katekista.
3.      Tenaga pastoral yang mempunyai basis pendidikan pastoral sangat terbatas.
4.      Wilayah paroki luas sementara tenaga pastoral tertahbis masih kurang.
5.      Tenaga pastoral kebanyakan masih dari luar daerah (pendatang).
6.      Terbatasnya tenaga pembina umat dan katekis/katekista.
7.      Pastor masih merangkap tugas.
8.      Kebanyakan anggota DPP adalah PNS sehingga banyak kegiatan bertabrakan (konflik peran). Akibatnya frater TOP harus mengambil-alih tugas-tugas tertentu.
9.      DPP kurang aktif dalam mengemban tugasnya.
10.  Kurangnya kerjasama antara pastor paroki dan DPP (sering terjadi percecokan)
11.  Para agen pastoral kurang berinisiatif untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan rohani maupun sosial di dalam Gereja.
12.  Model kepemimpinan pastoral masih feodal (tuan-hamba).

c. Dalam bidang kemandirian finansial:
1.      Umat masih bergantung kepada inisiatif dan kreativitas pastor dalam mengusahakan kemandirian finansial.
2.      Lemahnya kesadaran umat memberi derma dan sumbangan-sumbangan Gereja lainnya.
3.      Kurangnya transparansi laporan keuangan.
4.      Kurangnya rasa sosial dan kedermawanan umat untuk saling membantu.
5.      Keuangan di paroki masih sulit. Banyak bergantung pada donasi.
6.      Umat sering mengeluh sebagai “orang miskin”.
7.   Ada mentalitas umat yang hanya mau “menerima” tetapi tidak mau “memberi”. Terkesan ini merupakan mentalitas bawaan yang kuat berakar karena terlanjur dimanja oleh para misionaris Eropa.
8.      Umat mengeluh kekurangan modal dalam pengembangan usaha.
9.      Umat masih berpandangan bahwa Gereja (hirarki) itu kaya sehingga tidak perlu menyumbang lagi karena itu hanya akan semakin memperkaya Gereja.[20]
Itulah beberapa potret masalah hidup menggereja yang masih menantang upaya menuju Gereja Mandiri di beberapa paroki keuskupan dalam regio Gerejani Nusa Tenggara. Kiranya potret yang sama pula bisa dikatakan tentang paroki-paroki yang lain, yang masih mengalami kendala untuk memperjuangkan pencapaian hidup Gereja Mandiri di wilayahnya.
Berhadapan dengan hal ini, jelas yang menjadi keprihatinan kita sekarang adalah bagaimana memikirkan sebuah teologi yang sesuai konteks untuk menjawabi berbagai permasalahan internal Gerejawi tersebut. Untuk itu, dalam pokok bahasan berikut kami coba menawarkan sebuah teologi yang sangat dasariah dalam kehidupan menggereja kita sebagai titik tolak untuk merumuskan berbagai kebijakan pastoral yang tepat sasar dalam mengupayakan terwujudnya Gereja Mandiri.


IV. MENGUPAYAKAN GEREJA MANDIRI MELALUI PENDEKATAN TEOLOGI KELUARGA MAURICE EMINYAN
            Pada bagian pokok bahasan ini, kami akan mengetengahkan betapa pentingnya mengupayakan Gereja Mandiri melalui pendekatan Teologi Keluarga. Sebagai bahan referensinya, kami akan bertolak dari gagasan teologis Maurice Eminyan yang secara sistematis telah membukukan bahan tentang Teologi Keluarga ini untuk kepentingan pastoral.

4. 1. Siapa Itu Maurice Eminyan?
Maurice Eminyan adalah guru besar (profesor) emeritus teologi sistematik pada Universitas Malta. Ia telah menerbitkan lebih dari dua puluh buku dan sejumlah artikel dalam berbagai bahasa. Pada tahun 2010 yang lalu, Maurice Eminyan telah menutup usia (meninggal) dengan umur 88 tahun.[21] Buku tentang Teologi Keluarga ini merupakan hasil terjemahan dari buku aslinya, yaitu The Theology of the Family.

4. 2. Teologi Keluarga Menurut Maurice Eminyan
         Menurut Maurice, Teologi adalah suatu metode untuk menyusun dan mengutarakan pendapat-pendapat serta refleksi-refleksi teologis atas topik tertentu menurut model-model yang berbeda-beda. Dengan berteologi, setiap orang terutama seorang mahasiswa Teologi dimampukan untuk menguasai secara lebih baik berbagai macam wawasan tentang persoalan tertentu serta menemukan kekayaan pemikiran teologis yang hidup selama bertahun-tahun, demikian juga aspeknya yang khas, yang kelihatannya lebih relevan daripada hal-hal lain pada suatu kurun waktu tertentu.[22]
Berkenaan dengan refleksi teologisnya tentang Keluarga, Maurice mengatakan bahwa banyak ide yang muncul dalam benaknya, seperti ide tentang Keluarga sebagai Cermin Trinitaris, Keluarga sebagai Rencana Keselamatan Allah, Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga dan Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih, Hidup dan Keselamatan. Tetapi pilihannya jatuh pada ide tentang Keluarga sebagai sebuah “Komunitas” karena menurutnya gagasan tentang “komunitas” lebih cocok dengan kebutuhan dan aspirasi zaman sekarang dan oleh karena itu lebih mudah dipahami oleh umat pada umumnya.
Keluarga sebagai suatu komunitas cinta kasih, hidup dan keselamatan merupakan suatu gambaran keluarga ideal bagi setiap keluarga, tak hanya keluarga Kristiani. Keluarga yang ideal berarti bahwa setiap keluarga hendaknya menjadi keluarga menurut rencana dan penebusan Allah. Keluarga sejati dan bahagia yang diidealkan merupakan suatu komunitas yang berlandaskan cinta kasih. Jika suatu keluarga merupakan komunitas cinta kasih, itu berarti juga merupakan suatu komunitas rahmat, diberi arti oleh rahmat ilahi. Memang tak dapat dimungkiri bahwa dosa telah merusak rencana Allah tersebut dan walaupun rencana itu telah dipulihkan oleh Yesus yang terinkarnasi tetapi kehadiran dosa dan orang-orang berdosa membuat keluarga-keluarga menjadi retak. Oleh karena itu, untuk mengenal dan mencintai Allah, keluarga mesti menerima Roh Allah melalui Yesus Kristus.[23]
Berdasarkan pemahaman di atas, maka bisa dikatakan bahwa Maurice sangat menekankan hubungan antara keluarga dan Gereja. Keduanya direfleksikan dalam dan menurut rencana Allah dan juga tentang misi kaum awam dalam dunia modern. Gereja dalam dunia modern ini, ketika berhadapan dengan aneka permasalahan keluarga, dituntut agar berpikir seperti yang terungkap dalam anjuran apostolik Familiaris Consortio yakni Gereja seharusnya  mengambil dimensi baru yang lebih menyerupai Rumah Tangga atau keluarga dan mengembangkan ragam hubungan yang lebih manusiawi dan mendalam dalam usaha pastoralnya, ketimbang menekankan Gereja yang klerikal dan sentralistis dalam semangat Konsili Vatikan II. Baginya, refleksi teologis ini diharapkan membantu umat Allah untuk menyadari bahwa masa depan Gereja dan kemanusiaan sungguh sangat bergantung pada status keluarga.
Maurice juga mengandaikan bahwa jika keluarga-keluarga tampil sebagai suatu komunitas cinta kasih dan hidup, yang juga mencerminkan Allah serta memberi kesaksian cinta kasih abadi Allah kepada manusia, maka masyarakat juga akan diberkati oleh damai dan solidaritas. Jika keluarga yang adalah sel dasar (vital) Gereja merupakan kesaksian kenabian (profetis) tentang nilai-nilai Injili, maka misi keselamatan Gereja sendiri akan benar-benar kuat, penuh semangat dan berbuah.
            Oleh karena itu, dalam keseluruhan refleksi teologisnya tentang keluarga, Maurice mengarahkan perhatian pada pembentukan diri keluarga-keluarga menurut dan dalam terang rencana Allah atasnya. Bahwa sebuah keluarga merupakan suatu komunitas cinta kasih, hidup dan keselamatan bagi setiap anggotanya dan Gereja. Keluarga adalah Gereja umat Allah yang dibangun atas dasar cinta, hidup dan keselamatan. Di samping itu, ia mengambil prototipe Keluarga Kudus Nazareth sebagai model keluarga-keluarga Kristiani. Dengan mengambil prototipe ini, maka Gereja seharusnya mulai membangun keluarga-keluarga sekarang, yang rentan permisif dalam bidang seksual, yang menolak eksklusifitas/indissolubilitas perkawinan serta yang pelan-pelan membawa keluarga-keluarga kepada suatu peradaban antikehidupan, di atas dasar sebuah komunitas cinta kasih, yang menghidupkan dan menyelamatkan.                  

4. 3. Tema-Tema Pokok Dalam Teologi Keluarga Maurice Eminyan
4. 3. 1. Keluarga Sebagai Komunitas Cinta Kasih
a. Penciptaan Manusia Menurut Gambar Dan Citra Allah Sebagai Dasar Teologis Hidup Keluarga (Allah Menciptakan Pria Dan Wanita Menurut Gambar Dan Citranya)
Dalam rencana Allah, pria dan wanita diciptakan-Nya sekalipun berbeda sebagai pria dan wanita tetapi keduanya saling melengkapi (komplementer). Perciptaan pria dan wanita dilengkapi dengan perasaan ketertarikan (seksualitas) satu sama lain, yang kemudian menjadi dasar kehidupan keluarga. Keluarga yang dibentuk seturut rencana Allah di atas, mengambil pula peran sebagai pencipta bersama Allah, “prokreator”, karena keluarga selalu memungkinkan adanya keturunan/anak. Dengan menghadirkan anak atau keturunan baru, keluarga telah bekerjasama dengan Allah serentak mengambil bagian dalam rencana Allah. Karena itu, keluarga merupakan persatuan (komunio) antara perasaan dan roh/jiwa pria dan wanita, yang diwarnai dengan pemberian diri satu sama lain untuk saling memperkaya diri dalam cinta, untuk mewujudkan Cinta Allah, dan sebagai tindakan perpanjangan tangan Allah untuk menciptakan manusia baru menurut gambar dan citraNya.
Maurice memahami perkawinan dalam keluarga bukan persoalan instingtif atau rangsangan emosional belaka atau ketertarikan erotis melulu, yang menghilang cepat dan amat menyedihkan, melainkan suatu tindakan yang muncul dari kehendak bebas untuk mencapai kepenuhan manusiawi sebagai citra dan gambar Allah. Itu berarti hidup berkeluarga menuntut kesetiaan kepada rencana Allah, bukan semata-mata kesetiaan untuk ada bersama-sama secara alamiah (connatural) dan bersifat eksklusif atau indissolubilitas (tak terceraikan, tak terbataskan), melainkan kesetiaan sampai maut memisahkan.[24] 

b. Keluarga Adalah Cermin Trinitas
Pada bagian ini, Maurice menganalogikan keluarga manusiawi sebagai cermin keluarga Trinitaris. Ide ini sebenarnya berasal dari pendapat Bernard Haring yang tercantum dalam bukunya teologi Keluarga tentang cinta antara pasangan suami dan istri dan antara mereka dengan anak-anaknya merupakan representasi duniawi yang paling sempurna dari cinta Trinitaris.[25]
Lebih lanjut, Maurice menjelaskan dimensi Triniter keluarga berdasarkan pendekatan psikologis tentang “kepribadian segitiga” yang terdapat dalam keluarga manusiawi (suami, istri dan buah cinta mereka: anak, yakni sebagai pribadi ketiga) dan keluarga Trinitas: Bapa, Putera dan buah cintaNya, yakni Roh kudus. Jumlah anak tidak mengubah Trinitaris keluarga karena banyaknya anak juga merupakan buah dari Allah sendiri. Keluarga yang tidak mempunyai anak pun tidak menghapuskan dimensi Trinitaris keluarga karena itu bukan kesalahan mereka, lagi pula persatuan suami-istri selalu berpotensi menurunkan anak. Jikalau anak lahir, maka cinta kasih suami-istri menjadi daging (inkarnasi).
Jadi sebagaimana terdapat kesatuan esensial dari hakekat keilahian dalam keluarga Trinitas, kesatuan keluarga duniawi pun direalisasikan di dalam trinitas bapak, ibu dan anak anak. Semuanya hidup dalam kesatuan cinta yang subur sehingga menghasilkan buah. Mengakhiri uraian ini, Maurice menyampaikan tulisan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus untuk memperkuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari padaNya keluarga yang ada di dalam surga dan di atas bumi menerima namanya” (Efesus 3:14).[26]

c. Keluarga Adalah Komunitas Yang Terbentuk Di Dalam Kristus Dan Gereja
Dalam penjelasannya, Maurice mengatakan di dalam penebusan Kristus yang universal, setiap keluarga manusia secara potensial menjadi Kristen. Ide ini didasarkan pada refleksinya atas beberapa teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berbicara tentang relasi cinta dan kesetiaan Yahwe - umat Israel, suami-istri dan Kristus-jemaat. Bahwa persatuan yang penuh kasih dan pemberian diri timbal-balik suami-istri dalam keluarga, sebagai suatu realitas yang kelihatan dan biasa, menjadi tanda/simbol yang menandakan dan menghadirkan suatu realitas yang tidak kelihatan, yakni cinta kasih Allah yang tak habis-habisnya, yang diwujudkan sekali untuk semua orang dalam Yesus Kristus dan GerejaNya (Lih. Ef 5:31-32; Bdk. Kol 1:25; Hos 2:4-10; Yer 3:13; Yeh 16:8 dan Yes 54). Ia juga mendasarkan idenya pada pribadi Yesus yang lahir dalam keluarga Nazareth, yang kemudian menjadi model keluarga-keluarga Kristiani dan perhatian yang penuh hormat terhadap keluarga-keluarga.
Oleh karena itu, konsep perjanjian dalam konteks keluarga memperoleh dasar teologisnya dalam perjanjian kasih antara Allah dengan manusia serta Kristus dengan Gereja. Dengan demikian dalam keluarga, pasangan suami-istri mengalami persatuan pribadi dan hidup seutuhnya. Hanya dengan persatuan yang dimengerti secara demikian, akan dapat menghasilkan suatu keluarga yang dipahami sebagai suatu komunitas cinta kasih dan hidup yang sejati.[27]

4. 3. 2. Keluarga Sebagai Komunitas Hidup
         “Keluarga harus kembali kepada ‘awal mula’ karya Penciptaan Allah, kalau memang hendak mencapai pengenalan diri dan perwujudan diri sesuai dengan kenyataan, bukan hanya tentang jati dirinya, melainkan juga tentang peranannya dalam sejarah. Karena seturut rencana Allah, keluarga telah ditetapkan sebagai ‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, maka keluarga mengemban misi untuk makin menepati jati dirinya, yakni suatu persekutuan hidup dan kasih, malalui usaha, yang – seperti segala sesuatu yang diciptakan dan ditebus – akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah” (FC 17).[28]
           Dari kutipan di atas, Paus Yohanes Paulus II menyebut keluarga sebagai komunitas atau “persekutuan hidup dan cinta kasih” (GS 48),[29] suatu ungkapan yang dipergunakan pertama kalinya pada Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini. Dalam kaitan dengan ini, pria dan wanita dipanggil untuk membentuk suatu persekutuan hidup selama-lamanya dengan bercermin pada esensi Trinitaris Allah yang Tunggal dan kemudian menjadi subur. Kesuburan dalam keluarga, idealnya dimengerti pada ketiga aspek, yaitu: pertama, tumbuh bersama dalam relasi dengan pasangannya sendiri sebagai suami-istri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai anak-anak Allah. Kedua, dalam kaitan dengan menurunkan anak-anak. Ketiga, segala sesuatu yang berhubungan dengan mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.

a. Tentang Tumbuh Bersama
Pria dan wanita memberikan dirinya sendiri kepada masyarakat dan memperoleh pemenuhan dirinya dalam jenis pelayanan apa saja yang mereka butuhkan, karena dengan berlaku seperti itu, mereka sedang bertindak menurut sifat mereka. Tetapi itu semua terjadi dalam suatu komunitas, yakni keluarga, sebab hanya dalam komunitas hidup yang langgeng itulah mereka mampu memberikan diri mereka sendiri secara total dan sempurna sebagai suami-istri. Keluarga yang ideal hendaknya dibangun atas dasar sikap saling memberikan diri. Keluarga sebagai komunitas cinta kasih dan hidup memberikan suasana atau lingkungan yang paling baik bagi cinta kasih di antara dua pribadi untuk menumbuh-kembangkan dan mencapai kematangan, menjadi lebih kuat dan lebih kaya, seturut perjalanan waktu, serta membantu mereka menjadi manusia yang semakin sempurna. Pertumbuhan hanya dapat terjadi dalam relasi. Relasi-relasi yang tetap dan kontinu memungkinkan kedua pihak (suami-istri) bertindak secara timbal-balik, sebagai bidan bagi yang lain dengan menyadarkan yang tidak sadar, melahirkan inisiatif, mendorong untuk mau mencoba, memberikan pertolongan pada saat-saat sakit dan gagal, membantu menghadapi dan mengintegrasikan sisi gelap dari dirinya sendiri.

b. Tentang “Beranak-Cuculah Dan Bertambah Banyak”
Kej 1:27-28 secara jelas menggambarkan bahwa kepenuhan cinta kasih dalam Allah serentak merupakan kepenuhan hidup. Suami-istri diciptakan menurut gambar dan keserupaan Allah. Lewat perkawinan, mereka dimampukan mencapai kepenuhan cinta kasih dan berbuah (subur) melalui prokreasi manusia-manusia baru. Lebih dalam, melalui hubungan suami-istri, mereka mengekspresikan gambar dan keserupaan Allah dan meneruskan anugerah kehidupan kepada anak-anak mereka (yang akan menjadi gambar dan keserupaan orang tua mereka dan Allah sendiri). Konsili Vatikan II menjunjung tinggi panggilan suami dan istri untuk menjadi bapak dan ibu dan boleh bekerjasama dengan Allah dalam meneruskan kehidupan manusia. “Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya, yang harus dipandang sebagai perutusan mereka yang khas, suami-istri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta dan bagaikan penerjemahnya. Maka dari itu, hendaknya mereka menunaikan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab manusiawi dan Kristiani”.[30] Kitab Kejadian dan seruan Gereja di atas sekurang-kurangnya menekankan tiga hal. Pertama, anak-anak merupakan suatu berkat dan anugerah Allah. Kedua, perkawinan pada hakikatnya ditujukan kepada adanya prokreasi. Ketiga, pendidikan anak merupakan tugas orang tua yang harus dipenuhi dengan tanggung jawab manusiawi dan Kristiani. Namun yang paling menonjol di sini adalah hal kedua, yakni bahwa perkawinan, menurut kodrat alamiahnya tertuju pada adanya keturunan (prokreasi anak-anak). Konsili mendesak agar setiap pasangan Kristiani menghormati tugas prokreasi sebagai tugas yang diberikan Allah dan hendaknya mengemban tugas ini dengan kerendahan hati serta semangat berkorban. 

c. Tentang Pendidikan Anak-Anak
Sejak awal, anak-anak hendaknya sudah diterima sebagai bagian integral dari keluarga. Pendidikan merupakan suatu proses yang unik dan di sana persatuan timbal-balik pribadi-pribadi sangatlah penting. Pendidik adalah seorang pribadi yang “melahirkan” dalam arti rohani. Dalam hal ini, mengasuh anak dapat dipandang sebagai suatu kerasulan yang sejati. Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang hidup, yang bukan hanya menciptakan suatu hubungan yang mendalam antara pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga membuat keduanya ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih, tujuan terakhir, ke arah mana setiap orang dipanggil oleh Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Di sini, prokreasi tidak hanya dibatasi pada menurunkan kehidupan baru, tetapi juga hendaknya dimengerti sebagai penerusan sesudah kelahiran anak dalam seluruh proses pendidikannya dan pengembangan kehidupannya. Mengandung dan melahirkan seorang anak hanyalah permulaan karya prokreatif orang tua. Jika mereka secara penuh merupakan gambar dan citra Allah dari Sang Pencipta, maka suami dan istri akan menggunakan waktunya untuk memelihara, melindungi, menumbuh-kembangkan dan membantu anak mencapai kedewasaan. Pendidikan merupakan bagian penting dari prokreasi anak-anak.[31] Istilah “pendidikan” itu sendiri tidak saja terbatas pada perkembangan intelektual anak. Usaha pendidikan dari orang tua harus menjangkau seluruh kepribadian anak. Pendidikan harus membantu anak mencapai kedewasaan fisik, emosional, afektif, moral dan sosial serta pembinaan akal budi. Penekanan utama yang hendak ditonjolkan di sini adalah pendidikan agama. Pendidikan agama merupakan bagian esensial dan menjadi perhatian istimewa orang tua dari awal tahun masa kanak-kanak sampai pada masa remaja. Pendidikan agama membantu anak untuk memahami lebih baik apa sesungguhnya arti cinta kasih, bukan jenis cinta kasih yang dilihatnya dalam media massa, tetapi cinta kasih yang dengannya Allah telah mengasihi kita ketika Dia menciptakan kita menurut gambar dan citra-Nya dan telah menyelamatkan kita melalui Tuhan kita Yesus Kristus. Pendidikan agama merupakan suatu pemahaman yang selalu berkembang maju (progresif) tentang misteri penciptaan dan penebusan. Gerak maju ini menuntut agar anak dibantu untuk memahami Allah, Kristus, manusia dan tugas moral sesuai dengan umur serta pendidikannya. Keingintahuan alamiah dari seorang anak harus dilihat sebagai hal positif yang menjamin keberlangsungan pendidikan anak dalam keluarga.[32]

4. 3. 3. Keluarga Sebagai Komunitas Keselamatan
Dalam sakramen perkawinan, pemberian diri cinta kasih secara timbal-balik dan tak dapat ditarik kembali menjadi sumber rahmat serta menjadi sarana keselamatan bagi suami dan istri. Keluarga yang dilahirkan dari persatuan mereka sebagai suami-istri di dalam Gereja, benar-benar merupakan Gereja Rumah Tangga, secara analog mempunyai sifat-sifat yang sama dengan Gereja universal. Sebagai gereja Rumah Tangga, keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja mewartakan Injil, baik ke dalam maupun ke luar dirinya sendiri.

a. Keluarga Sebagai Sakramen Tetap
Dalam sakramen perkawinan, persatuan dengan Kristus dan misteri penyelamatanNya yang telah dimulai sejak pembaptisan, diperkuat dan diperbaharui. Karena itu, sejak penerimaan perkawinan dalam sebuah tindakan ritual, setiap anggota keluarga dipanggil untuk mengaktualisasikan misi keselamatan Allah sampai selama-lamanya dan sakramentalitas perkawinan memberi jaminan bahwa rahmat Allah akan selalu membantu mereka dalam menghidupi status barunya, yakni suami-istri, sebagai bapak dan ibu. Jadi, melalui sakramen perkawinan setiap keluarga akan dibimbing oleh rahmat Allah, dan menjadi sarana dan saluran rahmat bagi setiap anggota keluarganya.
Efek lain dari sakramen perkawinan bagi suami-istri ialah mereka “ditebus dan diracuni” oleh roh Kristus, yakni roh kudus yang kehadirannya dalam Gereja analog dengan jiwa manusia di dalam tubuh. Kehadiran roh Kristus dalam sakramen perkawinan ialah untuk menguduskan keluarga-keluarga, terutama dalam menjalankan peran-peran serta tugas kewajiban masing-masing anggotanya. Dengan demikian, melalui sakramen perkawinan Kristus mengubah suatu lembaga manusiawi menjadi suatu instrumen tindakan ilahi Allah.
Dengan campur tangan Allah dalam sakramen perkawinan, melalui roh Kristus di dalam keluarga, seorang pria menyatukan dirinya dengan seorang wanita untuk hidup selama-lamanya guna merealisasikan kemanusiaannya dan menjamin kelangsungan hidup serta kesejahteraan bangsa manusia, meskipun mereka tahu bahwa sepanjang jalan kehidupan mereka akan selalu ada saat-saat yang menyenangkan dan menyakitkan serta penuh penderitaan, tetapi Kristus penebus akan tampil untuk menopang langkah hidup mereka. Secara sederhana, sakramen perkawinan memampukan keluarga untuk saling memberi dan diberi, memaafkan dan dimaafkan, membaharui hidup terus- menerus dan menopang serta memperkuat dalam situasi keragu-raguan dan ketakutan akan ketidakmampuan mereka mempertahankan kesetiaan perkawinan, hidup bersama selamanya karena kelemahan dosa.
Melalui sakramen perkawinan, pasangan suami-istri secara bersama-sama menambah kemuliaan Allah. Kemulian Allah dalam arti teologis yang mesti dipraktekkan dalam keluarga, yakni dengan menjaga kesucian para anggota keluarganya dan oleh manifestasi kesucian itu sendiri melalui berbagai macam wujud cinta kasihnya kepada Allah dan sesama, yakni dalam doa, pengampunan, semangat pelayanan tanpa pamrih dan pertolongan kepada mereka yang miskin, yang kesepian dan yang tersingkirkan.
Pemberian diri sebagai ungkapan cinta kasih suami-istri dalam sakramen perkawinan memberi arti pula kepada kesepakatan yang terjadi dalam perkawinan. Dan ungkapan cinta kasih tertinggi antara suami-istri terdapat dalam keintiman hubungan seksual. Maka pentinglah keluarga-keluarga dibantu untuk mengerti pengalaman keintiman seksual dan siklus intimitasnya yang berulang kali timbul, dalam saat baik maupun saat buruk. Dalam sakramen perkawinan, keintiman seksual suami-istri bukanlah semata untuk tujuan prokreasi, melainkan kesatuan suami-istri untuk menyalurkan rahmat Allah kepada anak anak.[33]

b. Keluarga Sebagai Gereja Rumah Tangga
Sependapat dengan gagasan konsili, Maurice menyampaikan bahwa bentuk paling akhir dari komunitas Gereja yang autentik adalah komunitas keluarga yang disebut oleh Konsili Vatikan II sebagai Gereja Rumah Tangga atau “Gereja Domestik”. Konsili menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan status perkawinan sebagai persekutuan cinta kasih dan hidup dan Gereja Umat Allah sebagai persekutuan cinta kasih dan kebenaran.
            Keluarga sebagai “Gereja Rumah Tangga” memberi kesan bahwa ada beberapa elemen dari Gereja ditemui dalam keluarga itu sendiri. Bahwa seperti halnya Gereja, keluarga pun menanggung misi yang sama yakni misi keselamatan Kristus sejak masing-masing suami-istri dibaptis dan menerima sakramen perkawinan. Di sini hubungan keluarga Kristiani dengan Gereja tidak sebagai “keluarga manusiawi” yang merupakan bagian dari masyarakat sipil tetapi dipersatukan dengan Gereja oleh ikatan orisinal, suatu ikatan yang diadakan oleh Roh Kudus sendiri, yang di dalam sakramen membentuk pasangan suami-istri menjadi sebuah keluarga Kristiani, suatu cermin yang hidup, gambaran sejati, perwujudan historis dari Gereja. Karena itu sebenarnya hubungan keduanya adalah relasi timbal-balik yang saling menyelamatkan.
Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga tidak hanya menggambarkan dimensi Gerejawi dari keluarga tetapi lebih kepada suatu realitas Gerejawi. Di sini keluarga-keluarga Kristiani mengambil bagian dalam menjalankan tiga fungsi Gerejawi: sebagai nabi, imam dan raja. Sebagai nabi, keluarga-keluarga ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja dengan mendengarkan dan mewartakan penuh kepercayaan Sabda Allah. Dalam menjalankan fungsinya sebagai imam, pasangan suami-istri sungguh terlibat dalam ketujuh sakramen Gerejawi. Setiap sakramen merupakan kesempatan khusus untuk menemukan dan memperdalam imannya kepada Kristus. Dalam fungsi rajawinya, keluarga dipanggil untuk memberikan dirinya kepada sesama dalam pelayanan tanpa pamrih serta kesiap-siagaan untuk mengorbankan diri bagi sesama dan Tuhan. Hal ini di dalam keluarga-keluarga dilakukan pertama-tama oleh pasangan suami-istri melalui sikap siap sedia memberikan diri bahkan mengorbankan diri bagi anak-anak mereka.
Dengan demikian, dengan totalitas pemberian diri kepada kehidupan Gereja yang telah ditunjukkan oleh keluarga-keluarga Kristiani, maka keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga (Gereja Domestik) disebut sebagai “Gereja Mini”. Karena itu, kita hendaknya tidak lagi mengatakan keluarga adalah “seperti Gereja, atau keluarga adalah ‘bagian’ dari Gereja”, melainkan keluarga adalah sungguh Gereja itu sendiri. Keluarga adalah Gereja, yang di dalamnya terdapat ungkapan akan kehadiran Allah yang sungguh-sungguh Gerejawi dalam persekutuan umat beriman yang khusus. Semua peristiwa keluarga adalah juga peristiwa Gereja.
Jadi, Gereja Rumah Tangga adalah tempat di dalam Gereja Universal dimana kehidupan dikandung, dipelihara dan dicintai. Keluarga adalah sekolah cinta kasih bagi seluruh Gereja. Keluarga adalah sumber cinta kasih dan kehidupan pasangan suami-istri dan kehidupan baru yang mereka mulai dan pelihara. Tanpa Gereja Rumah Tangga tidak ada Gereja karena hanya melaluinya cinta kasih yang merupakan hakikat Allah dijaga tetap hidup.[34]

c. Keluarga dan Evangelisasi
Mengutip pernyataan Konsili Vatikan II dan refleksi Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apostoliknya Familiaris Consortio, “Suami-istri mempunyai panggilan mereka sendiri secara aktif dan bertanggung jawab untuk memberi kesaksian iman dan cinta akan Kristus seorang terhadap yang lainnya dan kepada anak-anak mereka. Keluarga Kristiani dengan lantang mewartakan baik kekuatan kerajaan Allah sekarang maupun harapan akan hidup bahagia”, Maurice menegaskan bahwa keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian dengan cara yang sangat langsung dalam kehidupan Gereja, lebih khusus dalam misi keselamatan. Partisipasi ini berasal dari hakekat keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga.
        Pengambilan bagian dalam misi keselamatan Kristus menempatkan keluarga sebagai subjek atau pelaku evangelisasi bukan objek. Sebagi subjek evangelisasi, semua anggota keluarga saling melayani satu sama lain dan kepada dunia. Keluarga seperti halnya Gereja harus merupakan tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil memancar. Karena itu, di dalam keluarga yang sadar akan perutusan ini, semua anggota keluarga melakukan evangelisasi dan menerima evangelisasi. Orang tua tidak hanya mengkomunikasikan Injil kepada anak-anak, tetapi dari anak-anak juga orang tua dapat menerima Injil yang sama, seperti yang secara mendalam mereka hayati. Oleh karena itu, sebelum Gereja menyadari bahwa perkawinan adalah kunci evangelisasi, segala usaha lainnya akan tetap menjadi pinggiran.
        Menafsir lebih jauh anjuran Apostolik Paus Paulus VI, “keluarga seperti halnya Gereja harus merupakan tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil bercahaya”, keluarga Kristiani selain memberi kesaksian di dalam keluarganya sendiri, juga dituntut memberi kesaksian kepada keluarga-keluarga lainnya. Di sini keluarga-keluarga Kristiani menyadari diri sebagai bagian dari anggota keluarga masyarakat manusiawi yang lebih luas. Oleh karena itu, keluarga Kristiani pun memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Bentuk tanggung jawab dan solidaritas antar keluarga ini dapat kita saksikan dalam kehidupan Gereja perdana, yakni adanya sikap siap sedia untuk membagikan penghasilan dan waktu mereka bagi yang berkekurangan. Dengan demikian, keluarga Kristiani dalam praktek misi dan pelayanan keselamatan Kristus telah menjangkau “keluarga yang lebih besar”.[35]

4. 4. Mengupayakan Gereja Mandiri di Regio Gerejani Nusa Tenggara Melalui Pendekatan Teologi Keluarga
            Dalam konteks hidup menggereja kita di regio Gerejani Nusa Tenggara, sebagaimana diwakilkan oleh ketiga keuskupan di atas, kehangatan berbicara mengenai Gereja Mandiri disadari belum menampakkan hasil yang memuaskan di lapangan (Bdk. Sharing Pengalaman TOP). Kenyataan adanya berbagai kendala yang dijumpai di tengah umat, terutama lemahnya partisipasi mereka dalam hidup menggereja, seyogianya menyadarkan kita bahwa karya misioner Gereja ad intra perlu dievaluasi guna merevitalisasi peran umat. Untuk itu, melalui Teologi Keluarga yang dibahas ini, kami merekomendasikan agar kebijakan pastoral Gereja-Gereja Lokal kita hendaknya sungguh “menukik lebih dalam” guna memberdayakan keluarga-keluarga Kristen yang adalah “sel utama” Gereja.

4. 4. 1. Realitas Keluarga Di NTT
            Menurut para Sosiolog dan Antropolog, secara tradisional Keluarga merupakan unit sosial primer dalam masyarakat; Keluarga adalah dasar pembentuk masyarakat dan penentu eksistensi masyarakat dalam kebudayaan manusia. Institusi keluarga itu ibarat sebuah payung tradisional bagi para anggotanya. Ia bukan hanya berfungsi untuk melindungi para anggotanya terhadap kecenderungan barbarisme dan perilaku seksual yang tidak sehat pada zaman pra-sejarah (pra-budaya), melainkan juga terutama untuk memenuhi harapan-harapan para anggotanya, baik individual maupun kolektif.[36]
            Secara khusus di NTT, institusi Keluarga dianggap sangat penting dalam tataran hirarki nilainya. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai ritual adat dalam entitas-entitas kultural yang terdapat di wilayah ini. Dari sudut pandang antropologis-kultural, hal tersebut mungkin bisa dijelaskan berdasarkan latar belakang masyarakat NTT sebagai masyarakat agraris dimana kerjasama dalam keluarga dan antarkeluarga merupakan hal yang dijunjung tinggi.
            Dalam masyarakat agraris tradisional seperti di NTT, dengan sistem mekanisasi pertanian yang masih sederhana, kerjasama merupakan hal yang sangat aktual. Hal ini, sebagai misal, untuk menjamin keberhasilan usaha mengelola tanah, membersihkan kebun dan memanen hasil. Sebab itu, tidaklah mengherankan apabila prinsip gotong-royong menjadi prinsip primordial yang dinomor-satukan di wilayah ini. Prinsip tersebut dipandang penting, terutama untuk menjaga harmoni keluarga dan solidaritas antarkeluarga, serta kelanggengan masyarakat.[37]

4. 4. 2. Beberapa Spiritualitas Pastoral Keluarga
Berdasarkan data mengenai realitas keluarga di NTT seperti dipaparkan di atas, maka dalam konteks refleksi terbatas ini kami berpandangan bahwa bidang-bidang kemandirian Gereja yang sedang diupayakan saat ini (iman, personal dan finansial) hanya bisa akan berhasil apabila ditopang dengan spiritualitas pastoral keluarga yang kontekstual. Sebab itu, para pelayan Gereja (pelayan pastoral) harus bertanggung jawab penuh untuk mengarahkan dan menganyomi kehidupan umatnya (keluarga) pada setiap kondisi dan tempat di mana pun dengan memperhatikan beberapa spiritualitas pastoral berikut ini:

a. Spiritualitas Keseimbangan
Tidak semua orang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Ada berbagai strata yang didasarkan pada prinsip ekonomi, prinsip sosial dan prinsip religius serta prinsip sosio-religius. Namun setiap orang mempunyai bagiannya yang harus dimainkan dalam kehidupan bersama seturut posisi dan fungsinya, punya sumbangan yang harus diberikan untuk memelihara segalanya dalam keteraturan atau keseimbangan. Dalam keteraturan atau keseimbangan ini, setiap orang hidup saling menghormati satu sama lain. Menerima dan menghidupi nilai keseimbangan berarti bahwa pelayan-pelayan Gereja harus memperhatikan agar pelayanan mereka tidak membuat umat menjadi pasif. Setiap anggota dapat melihat kharismanya masing-masing dan menggunakannya bagi kepentingan komunitas “secara seimbang” – tanpa mendominasi– di dalam satu kerangka cinta.

b. Spiritualitas Musyawarah-Mufakat dan Gotong Royong
Musyawarah-mufakat adalah cara mengatasi kesulitan atau membuat rencana untuk kegiatan-kegiatan bersama dengan berdiskusi bersama-sama sampai satu kesepakatan dicapai dan diterima oleh semua. Di sini, ciri utama musyawarah adalah keterbukaan dan tanpa hambatan atau tekanan, sebab semua mengalami humanitas mereka secara memadai, seturut keberadaan mereka sebagai manusia secara konkret dan bukannya secara abstrak-teoritis.[38] Menerima nilai ini dalam pelayanan seseorang berarti orang berani untuk bekerja dengan cepat, dengan memberikan tekanan lebih pada proses partisipasi umat dalam perkembangan kehidupan komunitas (agar sadar bahwa mereka adalah Gereja), dan bukannya pada hasil-hasil yang kuantitatif dan kelihatan dari semua kegiatan bersama. “Masyarakat tidak dapat menjadi sungguh-sungguh maju sampai mereka mengatur rencana perkembangan mereka sendiri”.[39] Para pelayan Gereja membantu menyadarkan umat akan pengetahuan yang mereka miliki.
Gotong-royong adalah cara bekerja bersama secara konkret dalam kehidupan sosio-ekonomis. Menerima nilai ini dalam pelayanan seseorang berarti mempercayakan orang lain melaksanakan kegiatan pastoral bersama-sama dalam suatu kolegiasitas pelayanan dan bukan monopoli individu-individu tertentu. Keluarga-keluarga Kristen menjadi basis iman dan bertumbuhnya semangat hidup bergotong-royong. Teologi keluarga memberi pedoman bagaimana kebiasaan untuk bergotong- royong harus sudah dimulai sejak di dalam keluarga inti. Dalam berkhotbah dan mengajari umat, para pelayan Gereja hendaknya menyediakan waktu untuk hadir dan mendengarkan sharing-sharing iman dari keluarga-keluarga Kristen yang ada di wilayah Gerejaninya. Di sini, arah katekese dengan sendirinya mesti diubah, bukan lagi berhenti pada komunitas-komunitas umat basis, tetapi lebih dalam pada keluarga-keluarga inti Kristiani.
Namun dalam praktek pastoral, umat juga perlu dibebaskan dari efek negatif hukum adat. Misalnya, semangat gotong-royong dalam kehidupan rumah tangga harus jadi produktif dan bukan konsumtif; pesta adat harus dilaksanakan seturut kemampuan yang nyata, dan karenanya harus jadi sederhana; belis harus demi kepentingan orang tua pengantin perempuan; dan orang mati tidak boleh dikuburkan bersama dengan seluruh miliknya.[40]

c. Spiritualitas Doa
Doa sebagai ungkapan iman semestinya sudah membudaya di dalam kehidupan keluarga Kristen. Namun dalam kenyataan, sesuai pengamatan kami, hal ini masih tampak ideal bagi keluarga-keluarga tertentu. Umumnya, doa di dalam keluarga masih terjadi pada tataran doa bersama dalam kelompok. Misalnya, keluarga terlibat berdoa hanya sejauh salah satu anggota keluarganya masuk dalam persekutuan-persekutuan doa tertentu, seperti tergabung dalam kelompok Legio Maria, Sta. Ana, KTM, atau juga dalam kolompok-kelompok doa lainnya. Maka untuk menghidupkan kembali semangat doa di tengah keluarga inti, orang tua (suami-istri) perlu merevitalisasi perannya sebagai pendidik iman yang utama di dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan seruan Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II, yang dikutip oleh Maurice, bahwa doa di dalam keluarga itu memiliki ciri-cirinya sendiri, yaitu doa itu dipanjatkan bersama (suami dan istri bersama-sama/orang tua dan anak-anak bersama-sama). Dengan demikian, orang tua terus didesak untuk mengajarkan anak-anak mereka bagaimana berdoa, meyakinkan supaya mereka sungguh-sungguh berdoa, dan bahkan semestinya berdoa bersama-sama dengan anak-anak.[41]   

d. Spiritualitas Kehidupan Keluarga
Kedua hal di atas, yakni keseimbangan dan musyawarah-mufakat dan gotong-royong serentak mengungkapkan nilai utama dan hakiki dalam kebudayaan NTT, yaitu: nilai kehidupan keluarga. Dalam semangat kekeluargaan ini, setiap orang tahu posisi dan fungsinya dalam kehidupan bersama dan bertindak sesuai dengan itu, tahu bicara bersama dalam menyelesaikan kesulitan atau membuat rencana untuk kegiatan bersama, serta tahu bekerjasama demi kepentingan umum.
Menerima dan menghidupi nilai kekeluargaan berarti bahwa para pelayan Gereja berani menempatkan diri sebagai anggota-anggota dari suatu keluarga. “Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegorlah dia sebagai Bapa. Tegorlah orang-orang muda sebagai saudaramu, perempuan-perempuan tua sebagai ibu dan perempuan-perempuan muda sebagai adikmu dengan penuh kemuridan” (1 Tim 5:1-2). Dengan demikian para pelayan Gereja dapat memanggil orang-orang lain dengan nama keluarga mereka masing-masing dan melaksanakan musyawarah-mufakat atau gotong-royong dengan mereka secara seimbang. Dengan melaksanakan semua ini, mereka dapat mengubah kehidupan keluarga umat dari dalam untuk menjadi lebih terbuka terhadap koinonia semua orang dengan Allah.


V. PENUTUP
5. 1. Catatan Kritis
            Setelah mempelajari konsep Teologi Keluarga Maurice dan memakainya sebagai pendekatan utama dalam mengupayakan Gereja Mandiri di regio Gerejani Nusa Tenggara berdasarkan berbagai kemungkinan spiritualitas pastoral di atas, maka ada beberapa catatan kritis yang masih perlu kami beberkan lagi:
a.       Maurice berbicara tentang keluarga dari latar belakang pemikiran Barat. Keluarga yang dimaksudkan dalam teologinya adalah keluarga inti. Namun dalam konsep keluarga NTT, keluarga tidak hanya dipahami sebagai keluarga inti melainkan keluarga dalam arti yang lebih luas, yaitu keluarga kekerabatan. Pada satu sisi, konsep keluarga di NTT sebenarnya lebih menggambarkan ciri Eklesiologis. Namun dalam prakteknya, pada sisi lain, justru asas kekeluargaan kekerabatan seperti ini cenderung konsumtif dan tidak mendukung kemandirian finansial keluarga untuk berpartisipasi dalam mengupayakan kemandirian Gereja. Misalnya, dalam budaya belis dan pesta komuni pertama, Imam Baru, dan lain-lain. Sebab itu, untuk mengupayakan Gereja Mandiri, maka keluarga-keluarga Kristen perlu dilatih untuk membuat perencanaan keuangan yang baik, seperti tabungan. Bertumbuhnya koperasi-koperasi, baik itu yang digalakkan oleh pemerintah maupun Gereja, merupakan gerakan akar rumput/umat yang seharusnya ditanggapi secara positif oleh keluarga-keluarga demi memberdayakan kemandirian finansial.
b.      Di bidang personal, teologi keluarga yang ditawarkan oleh Maurice semestinya menumbuhkan kesadaran dalam keluarga-keluarga untuk menjadi agen-agen pastoral awam yang partisipatif. Gereja Nusa Tenggara termasuk salah satu Gereja yang menyumbang cukup banyak tenaga pastoral, baik klerus maupun awam, melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti seminari-seminari dan sekolah-sekolah tinggi pastoral. Akan tetapi, realitas ini juga membentuk mentalitas ketergantungan dalam diri umat. Misalnya, untuk kebutuhan menanggung koor di paroki-paroki, para frater selalu diminta untuk menggantikan barisan Tenor dan Bas dari koor umat. Hal ini tanpa sadar melemahkan partisipasi para pemuda awam untuk terlibat dalam koor-koor umat itu selanjutnya.
c.       Di bidang iman, kehadiran seminari-seminari dan sekolah-sekolah tinggi pastoral semestinya menghasilkan refleksi-refleksi teologis yang kontekstual sebagai sumbangan untuk menambah khazanah teologi Gereja Universal. Salah satu bahan yang telah tersedia saat ini adalah realitas kehidupan keluarga-keluarga di wilayah kita sendiri yang berguna untuk menghasilkan refleksi teologis keluarga di NTT.         


5. 2. Kesimpulan
Institusi keluarga sebagai suatu pranata sosial memiliki seperangkat nilai dan sejumlah kontribusi yang amat mencolok. Menakar institusi keluarga dalam konteks ini setidaknya muncul suatu kenyataan riil yang menggugah secara umum keluarga-keluarga Kristen: keluarga sebagai pranata pertama pertumbuhan dan perkembangan seseorang baik secara fisik, mental, maupun secara spiritual. Jika keluarga runtuh, maka runtuh juga moralitas, karena keluarga sangat substansial di mana seorang anak manusia memulai hidupnya, membentuk hidup intelektual, emosional, sosial, religius dan membatinkan semua nilai itu menuju pembentukan pribadinya yang integral. Sekurang-kurangnya aspek-aspek inilah yang ditekankan oleh Maurice Eminyan dalam “Teologi Keluarganya. Hemat kami teologi ini sangat kontekstual bila dihadapkan dengan situasi dan latar belakang kultur masyarakat NTT pada umumnya – sangat kental dengan sistem kekerabatannya – dan menjangkau arah dasar perjuangan Gereja Mandiri di wilayah NUSRA. Arah karya misioner ke dalam (ad intra) menjadi titik tolak perwujudan Gereja Mandiri yang sejati (mandiri dalam hal iman, personal dan finansial). Pembenahan ad intra menjadikan keluarga sebagai basis refleksi untuk membangun kehidupan Gereja Mandiri yang seimbang, berwawasan musyawarah-mufakat dan gotong-royong serta memiliki ikatan Kristianitas yang sejati sebagaimana jemaat perdana dan keluarga kudus Nazareth (kekeluargaan dalam Allah).





[1]Tesis ini merupakan hasil analisis sosial yang disepakati sebagai masalah utama di berbagai paroki bertolak dari sharing pengalaman TOP kami pada kesempatan bimbingan Novisiat Kekal di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, tanggal 18 - 29 Januari 2011.
[2]KWI, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, Cet. ke-12, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p. 332.
[3]Ibid., pp. 333-337.             
[4]Ibid., pp. 338-342.
[5]Ibid., p. 339.
[6]J. S. Badudu dan S. M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011), p. 857.
[7]F. Hasto Rosariyanto (Ed.), Bercermin pada wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indoensia, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), pp. 151-152.
[8]LAI, Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi Pastoral Katolik, (Jakarta: Obor, 2002), pp. 288.291.  
[9]Blog Larantuka, “Profil Keuskupan Larantuka”, (Online), (http://larantuka2009.blogspot.com/2010/06/profil-keuskupan-larantuka.html). Diakses, tanggal 21 November 2011. 
[10]Huub J. W. M. Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Cet. Ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 104. 
[11]Ibid. 
[12]KWI, “Surat Konferensi Waligereja Indonesia, Syukur Atas Lima Puluh Tahun Hirarki Gereja Katolik di Indonesia”, Mingguan Hidup, No. 01. Tahun ke-65, 2 Januari 2011, p. 11.
[13]Huub J. W. M. Boelaars adalah seorang biarawan OFM Cap., kelahiran Nijmegen, Nederland. Sebagai misionaris, beliau berkarya di Indonesia selama 12 tahun. Dari tahun 1974 sampai akhir tahun 1982, ia mengetuai bagian penelitian sosial-gerejawi Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta. Sejak tahun 1984, ia bertugas sebagai prukorator misi Kapusin di Belanda, untuk melayani hubungan-hubungan dengan para misionaris beserta para pengganti mereka di Indonesia, Tanzania dan Chile. Karya monumentalnya tentang sejarah Gereja di Indonesia ini merupakan intisari penelitian desertasi doktoratnya yang ditulis dalam basaha Belanda dan baru diterbitkan dalam terjemahan Indonesia pada tahun 2005.     
[14]KWI, “Pembagian Menurut Regio”, (Online), (http://www.kawali.org/viewPage.php?aid=24). Diakses tanggal, 20 November 2011.
[15]F. Hasto Rosariyanto, Op. Cit., p. 38.
[16]Ibid., pp. 151-152.
[17]Ibid., p. 158.
[18]R. Hardawiryana (Penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II, cet. ke- 6, (Jakarta: Obor, 2002), p. 422.
[19]Paroki-paroki dan lembaga formasi yang dimaksud adalah Paroki Sta. Theresia Kefamenanu, Keuskupan Atambua (Fr. Yohanes Paulus Robin); Paroki Borong, Keuskupan Ruteng (Fr. Servinus Nahak); Paroki Elar, Keuskupan Ruteng (Fr. Yohanes Timo); Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga Rejeng, Keuskupan Ruteng (Fr. Matias A. L. Da Costa); Paroki Hendrikus Melolo, Keuskupan Weetebula (Fr. Kanisius Rano); Paroki Sang Sabda Lewa, Keuskupan Weetebula (Fr. Antonius Binsasi); Komunitas St. Yosef Freinademetz-Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng (Fr. Januarius Watu Basa).  
[20]Klasifikasi masalah ini sengaja dibuat untuk memudahkan pengetahuan kita tentang kendala yang masih dihadapi dalam mengusahakan Gereja Mandiri di beberapa paroki keuskupan dalam regio Gerejani Nusa Tenggara.  
[21]“Prof. Maurice Eminyan Passes Away”, (Online), (http://www.timesofmalta.com/articles/view/20101215/local/prof-maurice-eminyan-passes-away.341082). Diakses, tanggal 28 Desember 2011.
[22]Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 19.
[23]Ibid., pp. 19-20.
[24]Ibid., pp. 25-44.
[25]Ibid., pp 48-50.
[26]Ibid., p. 63.(Bdk. juga, pp. 197-202).
[27]Ibid., pp. 65-83.
[28]R. Hardawiryana (Peterj.), Familiaris Consortio (Keluarga), Seri Dokumen Gerejawi no. 30, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), pp. 29-30.  
[29]R. Hardawiryana (Penterj.), Op. Cit., pp. 569-570.
[30]Ibid., 50.
[31]Charles P. Kindregan, A Theology of Marriage (Milwaukee: Bruce, 1967), p. 97.
[32]Maurice Eminyan, Op..Cit., p. 101.
[33]Ibid., pp. 177-204.  
[34]Ibid., pp. 205-242.
[35]Ibid., pp. 243-265.
[36]Sebagaimana yang dikutip oleh Lukas Batmomolin, “Keluarga: Payung Tradisional”, VOX, Seri 34/3, 1989, pp. 51-52.   
[37]Alfonsus M. Gatum, “Banalitas Korupsi dan Masalah Keluarga”, VOX, Seri 54/02, 2010, p. 75.
[38]J. Dykstra, “People’s Life Rhythm of Musyawarah-Mufakat Gotong Royong”, dalam Impact, XVII, 2, 1982, p. 45.  
[39]George Kent, “Community-Based Development Planning”, dalam Third Word Planning Review, III, 3, 1981, p. 313.
[40]Yosep S. Hayon, “Pelayanan di Propinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Suatu Spiritualitas Inkulturatif”, Jurnal Ledalero, Vol. 5, No. 1, Juni 2006, p. 41.
[41]Maurice Eminyan, Op. Cit., p. 222. 0