Selasa, 19 Maret 2013

MEMAHAMI DE RE PUBLICA VERSI CICERO (Sebuah Tinjauan Pemikiran Politik Romawi Klasik)



I. PENDAHULUAN
            Politik dan kompleksitas permasalahan yang melingkupinya tentu senantiasa menjadi topik yang menarik untuk dibahas, ditelaah, bagi mereka yang memiliki interese di bidang ini. Sejak zaman Yunani dan Romawi klasik, misalnya, telah lahir begitu banyak pemikir yang mencoba mengeksplorasi ide, meramu gagasan, dan pada akhirnya menuangkan dalam tulisan telaah seputar dunia kehidupan berpolitik. Mereka adalah para filsuf maupun politikus yang berusaha menyumbang bagi zamannya gagasan aktual demi perkembangan negaranya.
            Sehubungan dengan interese di bidang ini, kita tentunya mengenal sederet “nama besar” yang bisa disebutkan sejak zaman Yunani dan Romawi klasik hingga zaman kontemporer ini. Namun dalam paper sederhana ini, saya lebih tertarik untuk mendalami salah satu ide dari pemikir zaman Romawi klasik yang menurut hemat saya sangat menarik untuk dibahas. Beliau adalah Marcus Tullius Cicero, yang dalam salah satu tulisannya menelaah term “Republik” sebagaimana yang pernah digagaskan sebelumnya oleh Plato dan dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles. Seperti apa dan bagaimana keunikan telaah “Republik” versi Cicero itu? Paparan berikut adalah upaya untuk menjawabi pertanyaan sederhana ini.


II. KONSEP UMUM CICERO TENTANG REPUBLIK
            Dalam telaah de Re Publicanya, Cicero sebenarnya banyak mempelajari ide-ide terdahulu yang pernah mengupas term ini, khususnya ide Republik dari Plato. Setelah membaca Republik karya Plato, Cicero akhirnya memahami bahwa konstitusi politik dalam sebuah negara ideal memang pada dasarnya tidak akan bertahan selamanya. Atau dengan kata lain bahwa negara ideal bisa juga mengalami kemunduran.[1] Hal ini diperkuat dengan kenyataan politik pada masanya di mana Republik Romawi tidak mungkin bertahan dalam perang sipil yang terus berulang, yang menandai tahun-tahun kedewasaan Cicero. Ia berpendapat bahwa konstitusi tradisional Republik secara intrinsik memang merupakan konstitusi yang paling stabil yang pernah ada. Namun lebih lanjut, ia menguraikan bahwa satu-satunya penyebab dari kelemahannya adalah korupsi dari kelas penguasa.[2] Kenyataan inilah yang kemudian membangkitkan gairah intelektual Cicero untuk menganalisa elemen-elemen konstitutif Republik yang memberi stabilitas dan perdamaian untuk kota, serta mendiagnosa kegagalannya, perihal sebab utama yang menjadikan Republik Romawi terjebak dalam kemunduran.

III. MEMAHAMI DE RE PUBLICA VERSI CICERO

3. 1. Pengaruh Plato Atas Cicero
            Telaah de Re Publica Cicero pada dasarnya masih mengikuti garis besar pemikiran Republic karya Plato, dengan menyediakan diskusi paralel tentang definisi keadilan, asal-usul kota terbaik, prinsip-prinsip politik dasar, pendidikan dan kehidupan setelah mati. Cicero juga mengadopsi dari Plato dua prinsip fundamental yang masing-masingnya memperguncingkan bahwa stabilitas adalah kriteria utama untuk keberhasilan Republik dan bahwa perkembangannya bergantung kepada pendidikan dari para pemimpinnya.[3]
            Meskipun ide Republic karya Plato sangat kuat mempengaruhi pemikiran Cicero, namun itu tidak berarti bahwa Cicero mengadopsi tanpa kritis semua hal yang ditandaskan oleh Plato. Sebagai misal, apabila menurut Plato pemerintahan suatu negara akan menjadi lebih baik dan mendatangkan kebahagiaan hanya jika kekuasaan dalam negara itu diserahkan kepada para filsuf (hanya filsuf yang paling tepat untuk menjadi raja)[4], maka konsep ini dikritisi oleh Cicero dengan menandaskan bahwa Republik yang baik dan berhasil sebenarnya lebih ditentukan oleh elemen campuran dalam pemerintahan, yakni kepemimpinan bersama oleh tiga konstitusi sekaligus: monarki, aristokrasi dan demokrasi.[5] Dalam tataran ini, Cicero selalu menitikberatkan perhatiannya kepada Republik Romawi yang menurutnya bisa mencapai masa kejayaan berkat elemen campuran dalam pemerintahan seperti itu.

3. 2. Tema-Tema Pokok Dalam De Re Publica Cicero
            De Re Publica Cicero pada dasarnya ditulis mengikuti gaya penulisan Republic karya Plato. Makdsudnya, telaah de Re Publica Cicero juga ditulis dalam bentuk dialog, dengan tokoh utamanya adalah Scipio, Laelius dan Philus, negarawan terbesar dan merupakan para pahlawan dalam Republik Romawi.
            Dalam dialog de Re Publica ini, Cicero coba menulis tentang Republik Romawi yang pernah mencapai puncak kejayaan berkat elemen konstitusinya yang merupakan pemerintahan campuran dari monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Cicero juga secara ringkas menggambarkan hal-hal pokok seputar pentingnya kebajikan aktif dalam hidup, yang merupakan dasar dari komunitas, aturan kepemerintahan, dan konsep hukum alam,[6] di mana elemen-elemen nilai ini sangat berpengaruh dalam menunjang keberhasilan sebuah Republik. Berikut ini adalah garis besar pemikiran Cicero tentang de Re publica sebagai “hasil olah pikir kritis-kreatif” dari ide Republik yang pernah ditulis sebelumnya.


3. 2. 1. Subyek Republik
            Subyek de Re Publica menurut Cicero adalah “tentang kondisi terbaik dari kota dan warga negara terbaik”.[7] Cicero menguraikan ide tentang subyek Republik ini dalam diskusi harian yang baginya atas beberapa tahap.
            Diskusi hari pertama difokuskan untuk menganalisa kondisi terbaik dari res publica. Diskusi ini kemudian diuraikan lebih lanjut dalam dua buku, yang masing-masing bukunya mengusung bahan diskusi tertentu.
            Buku pertama mendiskusikan kekuatan dan kelemahan tiga konstitusi sederhana Republik, yaitu demokrasi, aristokrasi dan monarki. Tokoh utama buku ini, yakni Scipio berkesimpulan bahwa stabilitas dapat dijamin dengan kuat bila ada campuran moderat dari ketiga tipe konstitusi tersebut. Maksud diskusi hari pertama dalam buku pertama ini mau mengangkat soal pembagian kekuasaan yang seimbang di antara ketiga institusi sederhana itu.
            Selanjutnya, buku kedua dari diskusi hari pertama menggambarkan sejarah pertumbuhan Roma sampai pada titik di mana Roma menjadi contoh dari konstitusi campuran yang terbaik. Dengan demikian Republik Romawi menyediakan bantuan visual untuk melengkapi analisa diskusi hari pertama dalam buku pertama dan kedua.
            Diskusi hari kedua secara spesifik mulai berkutat pada perihal membentuk fondasi bagi berkembangnya res publica dan para pemimpinnya, dan juga mendiskusikan soal keadilan dan sifat manusia.
            Diskusi hari ketiga, sebagai diskusi penutup, melengkapi penjelasan dari warga negara terbaik, yang meliputi topik pendidikan negarawan dan tindakannya yang tepat dalam masa krisis. [8]
            Uraian dalam diskusi-diskusi harian ini secara sederhana dapat dimengerti lebih lanjut dalam rangkuman berikut.

3. 2. 1. 1. Tentang Kondisi Terbaik Dari Kota
            Analisa tentang kondisi terbaik dari kota sebenarnya dapat ditemukan dalam diskusi hari pertama yang menekankan pentingnya konstitusi campuran yang moderat. Cicero sependapat dengan sejarawan Yunani, Polybius, yang dalam karyanya Histories memuat analisis tentang bentuk pemerintahan Romawi yang telah terbukti kemampuannya untuk bertahan lama. Dalam analisis itu, Polybius menguraikan tentang perihal pembagian kekuasaan, misalnya konsul memegang kontrol tertinggi atas perang; senat mengontrol keuangan; sedangkan kekuatan rakyat memberikan penghargaan dan menjatuhkan hukuman. Dengan analisis ini, maka dapat dilihat bahwa tiga bagian dari res publica bekerja sama satu sama lain. Oposisi dari dua kelompok akan mencegah setiap kelompok yang akan bertumbuh terlalu kuat dan terlalu arogan karena masing-masing bagian memerlukan persetujuan dari dua bagian lainnya agar berfungsi.[9]
            Cicero sangat meminati konstitusi campuran sebagaimana yang dianalisis oleh Polybius dan menambahkan pula bahwa agar bagian-bagian konstitusi campuran itu tetap stabil, maka masing-masing bagian harus memelihara elemen nilai yang menjadi kode etik tugasnya. Dalam tataran ini, Cicero memaksudkan bahwa setiap elemen konstitutif Republik hendaknya memperhatikan “porsi” kuasa masing-masing dan bertindak sambil memperhatikan azas keadilan dalam setiap kebijakan yang harus diambil. Dengan demikian, konsul memberikan Roma elemen kerajaan dengan melaksanakan kekuasaan eksekutif (imperium); senat menyediakan dewan aristokratik yang bijaksana untuk menawarkan nasihat atas kebijakan (consilium); sedangkan rakyat yang memilih mahkamah dan mengesahkan undang-undang. Rakyatlah yang menurut Cicero memiliki kebebasan yang sebenarnya (libertas).[10]
            Dari ringkasan sederhana ini, maka bisa dilihat bahwa pada dasarnya imperium, consilium dan libertas adalah elemen-elemen kunci yang menurut Cicero sangat penting dalam sebuah Republik. Dengan berpegang teguh pada elemen nilai yang menjadi kode etik tugas yang harus diemban dan azas keadilan yang menjadi motif utama dalam berpikir dan bertindak, maka sebenarnya masing-masing bagian konstitutif Republik itu telah menciptakan stabilitas kota yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan sebuah Republik. Itulah kondisi terbaik dari kota yang pernah diperlihatkan Republik Romawi pada masa kejayaannya.

3. 2. 1. 2. Tentang Warga Negara Terbaik
            Diskusi tentang warga negara terbaik, oleh para komentator lebih dititikberatkan pada diskusi tentang konstitusi karena hilangnya sebagian diskusi yang relevan. Dalam telaah ini, Cicero sangat menekankan etika politik di mana ia identikkan dengan sistem politik. Kelangsungan sistem politik sangat bergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan yang bijaksana dan contoh moral. Dialog ini ditulis dengan maksud untuk mempengaruhi para aristokrat yang menjadi sandaran stabilitas mores dan consilium Roma: moribus antiques res stat Romana virisque.[11]    
            Warga negara terbaik tentunya harus mengenal sepenuhnya prinsip-prinsip tertinggi dari keadilan. Fungsi keadilan dalam pemahaman Cicero adalah untuk memelihara masyarakat, khususnya masyarakat res publica. Sebab itu, obyek Cicero yang terpenting adalah bukan mendiskusikan konstitusi kota, tetapi tentang pendidikan dan etika dari para pemimpin de Re Publica. Bagi Cicero, segelintir orang berkuasa dengan terhormat bukan karena mereka adalah pejuang, atau bangsawan, atau bahkan karena orang kaya, melainkan terutama karena kebijaksanaan dan kebajikan.[12] 
Lebih lanjut, Cicero juga mengeksploitasi doktrin Plato tentang imortalitas jiwa untuk memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotik dalam Republik. Hal ini dilukiskan dalam “mimpi Scipio”, tokoh utama dialognya, di mana Scipio bertemu dengan kakeknya, Jenderal besar Scipio Africanus sang tetua, yang membawanya jalan-jalan ke langit. Hakikat dari mimpi pertemuan itu sebenarnya mau mengartikulasikan bahwa ganjaran bagi negarawan yang setia adalah surga sebagaimana yang sudah dialami oleh kakek Scipio.[13] Karena itu, pengabdian patriotik adalah opsi utama yang harus dimiliki oleh warga negara terbaik, terutama oleh para pemimpin de Re Publica.

3. 2. 2. Sifat Res Publica: Negara Hukum
            Arti terdalam dari res publica menurut Cicero adalah pemerintahan yang stabil, yang menghormati dan mengutamakan hukum. Negara pada dasarnya merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui suatu aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama. Untuk itu, dalam menjalankan hukum, negara harus berpedoman kepada hukum alam dalam memajukan kepentingan umum.
Menurut Cicero, hukum yang benar akan memuat tentang perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban dan berpaling dari perbuatan jahat dan larangan-larangan. Hukum itu bersifat abadi dan tak berubah, yang akan sesuai untuk semua bangsa dan setiap waktu. Dengan kata lain, hukum yang sejati adalah akal yang benar, sesuai dengan alam, sehingga ia dapat dipergunakan secara universal, tidak berubah-ubah dan kekal.[14]
Hukum alam dalam pemahaman Cicero juga berarti suatu partisipasi dalam budi Tuhan sendiri. Menurutnya, budi Tuhan menyatakan diri dalam hidup bersama manusia melalui hukum alam. Bila hukum alam ini merupakan pernyataan budi Tuhan, maka hukum alam bersifat menentukan apa yang adil dan apa yang tidak adil di antara manusia dan di antara sesama makhluk di dunia. Karena alasan yang sama, maka hukum alam itu harus bersifat abadi, yakni harus berlaku di mana-mana bagi semua orang atau bangsa dan setiap waktu.[15]

3. 2. 3. Korupsi Sebagai “Biang” Kemunduran Republik
            Menurut Cicero, kemunduran res publica pada dasarnya lebih disebabkan oleh korupsi sebagaimana nyata terlihat dalam kemunduran Republik Romawi. Cicero memperingatkan bahwa korupsi sebagai “biang” kemunduran res publica umumnya dilakoni oleh kelas penguasa di mana mereka tidak lagi memperhatikan elemen nilai kode etik tugas masing-masing dan cenderung kepada konspirasi atau arogansi dalam mengambil kebijakan publik.
            Berhubungan dengan hal ini, maka Cicero sangat menekankan nilai moralitas para penguasa, terutama moralitas golongan aristokratik. Tugas kelas ini pada hakikatnya adalah pelayanan publik, dan terutama sebagai dewan penasihat. Namun godaan besar bagi golongan ini, yaitu adanya upaya untuk mencari ketenaran dengan cara menghasut peperangan.[16] Godaan ini tentunya berimplikasi pada kemunduran res publica karena kebijakan publik didominasi oleh satu kelas penguasa dan cita-cita luhur pembagian kekuasaan yang moderat akhirnya tidak lagi diperhatikan. Sehingga dengan demikian, konspirasi dan arogansi dalam bertindak menyusup masuk dalam res publica, yang akhirnya dapat melenyapkan res publica itu sendiri.

IV. PENUTUP
            Telaah Republik atau de Re Publica atau res publica versi Cicero pada dasarnya merupakan suatu “hasil olah pikir kritis-kreatif” dari ide Republik sebelumnya, yang pernah digagaskan oleh Plato dan kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles. Berbeda dari Plato dan Aristoteles, Cicero dalam telaahnya lebih menekankan elemen campuran dalam pemerintahan dan menetapkan syarat-syarat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan Republik.
Telaah Republik versi Cicero tentunya juga lebih komprehensif bila dibandingkan dengan telaah-telaah Republik sebelumnya yang masih bersifat imajiner. Republik Romawi adalah bantual visual yang signifikan bagi Cicero karena menghadirkan image Republik terbaik yang pernah ada.





















[1]Sebagaimana dikutip oleh Y. Keladu, “Kuliah Mimbar Filsafat Politik” (ms), Maumere: STFK Ledalero, 2007.
[2]C. Rowe, et al., Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Terj. A. Ananda, et al.. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), p. 562.
[3]Ibid., p. 577.
[4]J. H. Rapar, Filsafat Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), p.40.
[5]“Cicero (106-43 B. C.)”, dalam  http://www.iep.utm.edu/c/cicero.htm. Diakses: tanggal 15 Oktober 2007.
[6]Ibid.
[7]C. Rowe, et al., Op. cit., p. 577.
[8]Ibid., p. 578.
[9]Ibid.
[10]Ibid., p. 579.
[11]Ibid., p. 584.
[12]Ibid., p. 586.
[13]Ibid., p. 585.
[14]“Aliran Hukum Alam (Natural Law), dalam http://palomes.blogster.com/natural_law.html. Diakses: tanggal 15 Oktober 2007.
[15]Ibid.
[16]C. Rowe, et al., Op. cit., p. 606.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar