Sabtu, 30 Maret 2013

REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA dan JATI DIRI BANGSA (Penciptaan Budaya Tanding Menuju Keadaban Publik)



         Wacana untuk membangun kembali keadaban publik dalam hidup berbangsa yang sebelumnya bobrok memang bukanlah perkara mudah. Wacana ini layaknya “pernyataan” yang berani diumbar, namun benarkah akan tercapai sinkronitasnya dengan “kenyataan”?
        Dalam nota pastoral KWI tahun 2004, kuat dipikirkan solusi untuk mengupayakan keadaban publik tersebut melalui pendekatan sosio-budaya. Fokus perhatiannya, yaitu menciptakan “budaya tanding” sebagai pembalikkan atas “budaya umum” yang sudah tidak beradab lagi dan sedang merajalela dalam bangsa ini. Terutama berhadapan dengan masalah-masalah pokok, seperti korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan, perlunya “budaya tanding” merupakan optio fundamentalis yang tepat guna untuk memecahkan kebuntuan cara mencitrakan kembali keadaban publik seperti yang dicita-citakan.
         Bagi saya, opsi dasariah tersebut adalah sebuah radikalisme pembaruan yang bukan saja bermain dalam tataran teoritis sebagai pernyataan, melainkan harus mendarat dalam praksis sebagai kenyataan. Memang tak termungkiri Gereja telah mengambil sikap untuk mengayunkan langkah-langkah nyata menciptakan “budaya tanding” tersebut seperti terikhtiar pada bagian akhir nota pastoral ini. Namun kesan saya, pernyataan sikap yang sudah ditelurkan tersebut belum menampakkan hasil yang menggembirakan hingga saat ini. Korupsi, kekerasan dan soal kehancuran lingkungan masih tetap menjadi isu aktual. Menurut saya, kelemahan dari pernyataan sikap dalam nota pastoral ini adalah ketiadaan evaluasi berlanjut untuk mengawal penciptaan “budaya tanding” tersebut. Gereja masih bermain dalam tataran pernyataan-pernyataan sikap yang simpatik, berkhayal tentang sebuah pembaruan yang radikal, namun lemah dalam upaya mewujud-nyatakannya. Seharusnya kesadaran eksistensial seperti tertuang dalam nota pastoral ini bukan sekadar dibahas selesai untuk jangka waktu tertentu saja, melainkan secara periodik harus terus dievaluasi untuk mengukur sejauh mana realisasinya, kekuatan dan kelemahan yang dirasakan dari upaya penciptaan “budaya tanding” tersebut. Untuk itu, dari pihak Gereja sangat dituntut konsistensi antara pernyataan dan kenyataan sehingga idealisme pembaruan yang diharapkan bisa tercapai.
            Akhirnya, belajar dari Niphot Thienvihram dan timnya di Chiang Mai, Thailand, yang mengusahakan keberakaran Injil dalam nilai-nilai budaya penduduk setempat sehingga menghasilkan kehidupan yang berkeadilan bagi semua, maka hendaknya Gereja di Indonesia juga mengusahakan penciptaan “budaya tanding” yang diidealkan melalui pengakaran injil dalam nilai-nilai budaya setempat, di mana saja Gereja Lokal berada. Dengan demikian, revitalisasi nilai-nilai budaya yang luhur dan baik itu diharapkan bisa membentuk kembali jati diri bangsa yang berkeadaban, yang berorientasi pada tujuan hakiki mengusahakan kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar