Wacana
untuk membangun kembali keadaban publik dalam hidup berbangsa yang sebelumnya
bobrok memang bukanlah perkara mudah. Wacana ini layaknya “pernyataan” yang
berani diumbar, namun benarkah akan tercapai sinkronitasnya dengan “kenyataan”?
Dalam nota pastoral KWI tahun 2004, kuat
dipikirkan solusi untuk mengupayakan keadaban publik tersebut melalui pendekatan
sosio-budaya. Fokus perhatiannya, yaitu menciptakan “budaya tanding” sebagai pembalikkan
atas “budaya umum” yang sudah tidak beradab lagi dan sedang merajalela dalam
bangsa ini. Terutama berhadapan dengan masalah-masalah pokok, seperti korupsi,
kekerasan dan kehancuran lingkungan, perlunya “budaya tanding” merupakan optio fundamentalis yang tepat guna untuk
memecahkan kebuntuan cara mencitrakan kembali keadaban publik seperti yang
dicita-citakan.
Bagi saya, opsi dasariah tersebut adalah
sebuah radikalisme pembaruan yang bukan saja bermain dalam tataran teoritis
sebagai pernyataan, melainkan harus mendarat dalam praksis sebagai kenyataan. Memang
tak termungkiri Gereja telah mengambil sikap untuk mengayunkan langkah-langkah nyata
menciptakan “budaya tanding” tersebut seperti terikhtiar pada bagian akhir nota
pastoral ini. Namun kesan saya, pernyataan sikap yang sudah ditelurkan tersebut
belum menampakkan hasil yang menggembirakan hingga saat ini. Korupsi, kekerasan
dan soal kehancuran lingkungan masih tetap menjadi isu aktual. Menurut saya, kelemahan
dari pernyataan sikap dalam nota pastoral ini adalah ketiadaan evaluasi
berlanjut untuk mengawal penciptaan “budaya tanding” tersebut. Gereja masih
bermain dalam tataran pernyataan-pernyataan sikap yang simpatik, berkhayal
tentang sebuah pembaruan yang radikal, namun lemah dalam upaya mewujud-nyatakannya.
Seharusnya kesadaran eksistensial seperti tertuang dalam nota pastoral ini
bukan sekadar dibahas selesai untuk jangka waktu tertentu saja, melainkan secara
periodik harus terus dievaluasi untuk mengukur sejauh mana realisasinya, kekuatan
dan kelemahan yang dirasakan dari upaya penciptaan “budaya tanding” tersebut. Untuk
itu, dari pihak Gereja sangat dituntut konsistensi antara pernyataan dan
kenyataan sehingga idealisme pembaruan yang diharapkan bisa tercapai.
Akhirnya, belajar dari Niphot
Thienvihram dan timnya di Chiang Mai, Thailand, yang mengusahakan keberakaran
Injil dalam nilai-nilai budaya penduduk setempat sehingga menghasilkan
kehidupan yang berkeadilan bagi semua, maka hendaknya Gereja di Indonesia juga mengusahakan
penciptaan “budaya tanding” yang diidealkan melalui pengakaran injil dalam nilai-nilai
budaya setempat, di mana saja Gereja Lokal berada. Dengan demikian, revitalisasi
nilai-nilai budaya yang luhur dan baik itu diharapkan bisa membentuk kembali jati
diri bangsa yang berkeadaban, yang berorientasi pada tujuan hakiki mengusahakan
kesejahteraan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar