I.
PENDAHULUAN
Gagasan, “Memilih untuk mengutamakan
kaum miskin” atau preferential option for
and with the poor pada hakikatnya telah dimatangkan melalui berbagai refleksi
selama beberapa dasawarsa terakhir dalam diri Gereja. Misalnya, paus Yohanes
XXIII, sebulan sebelum Konsili (medio November 1962) memakai bahasa, “Gereja
bagi semua orang, terutama Gereja kaum miskin”. Ungkapan ini kemudian diperluas
lagi dalam Gaudium et Spes (1965),
No. 1, “Terutama mereka yang miskin atau menderita dengan cara apapun”. Selanjutnya,
Federasi Konferensi-konferensi Waligereja se-Amerika Latin (CELAM) dalam Sidang
Paripurnanya yang ke-2 di Medelin, Colombia, pada tahun 1968, juga mempertajam gagasan
yang sama dengan mengatakan, “Mengutamakan yang termiskin dan sektor-sektor
yang paling ada kebutuhan dan mereka yang disingkirkan dengan alasan apapun”
(Pernyataan Akhir, Bagian Kemiskinan, No. 9). Dan sejak diterbitkannya surat
edaran sollicitudo rei socialis
(1987), semboyan memihak terutama kaum
miskin telah dibilang masuk ajaran sosial Kepausan, yaitu “pilihan atau
cinta kasih untuk mengutamakan kaum miskin . . . terutama orang yang tiada
pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik” (SRS 1987, No. 42).[1]
Memang sebagai
bagian dari komunitas dunia ini, Gereja seharusnya tidak tinggal diam ketika
melihat realitas kemiskinan membelenggu begitu banyak orang. Hakikatnya sebagai
misi, membuat Gereja wajib sadar akan tugas misionernya dalam lingkungan di
mana ia berada,[2]
terutama mengutamakan kaum miskin yang oleh berbagai faktor telah menyebabkan
mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok agar hidup layak dan
bermartabat sebagai manusia.
Dalam makalah ini, kami mencoba
untuk memperlihatkan tanggung jawab Gereja di Indonesia-NTT, terutama misinya
untuk mengutamakan kaum miskin yang berada di sekitarnya. Tujuannya jelas bukan
menuntut Gereja Indonesia-NTT sesegera mungkin mengentaskan atau menghapus
kemiskinan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, melainkan untuk memperlihatkan
misi Allah sendiri, yang datang ke dunia, menjadi daging dan “diam di antara
kita”, agar yang kaya dan berkuasa tidak menjadi tawanan dari sikap cinta diri
yang sempit dan buta terhadap kepentingan orang lain dan ciptaan, serta yang
miskin tidak tenggelam di dalam ketidakberdayaan dan buta terhadap
peluang-peluang untuk membangun hidup.[3]
Atau dengan kata lain, melalui makalah ini kami ingin mempresentasikan misi
pembebasan yang harus diemban Gereja sebagai bentuk partisipasinya dalam solidaritas
Allah sendiri yang berpihak kepada kaum miskin.
II.
TERMINOLOGI DAN FAKTA KEMISKINAN DI INDONESIA-NTT
Salah satu persoalan yang senantiasa
menghimpit hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di NTT, adalah
”kemiskinan”. Namun berbicara tentang realitas ini tentunya menyadarkan kita akan
berbagai hal yang masih perlu dijelaskan, antara lain menyangkut definisi
kemiskinan, sebab-sebab kemiskinan dan data survey yang relevan.
2.
1. Apa Itu Kemiskinan?
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda;
serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Sedangkan kemiskinan adalah
hal miskin; keadaan miskin; kemelaratan; kepapaan.[4]
Sedangkan dalam Encyclopedia Britannica,
sebagaimana yang dikutip oleh Godlif, dijelaskan bahwa kemiskinan adalah ”The state of one who lacks an usual or
socially acceptable amount of money or material possessions”.[5]
Dari sudut pandang ekonomi, batasan kemiskinan lebih diukur
pada soal pendapatan, konsumsi, atau secara luas menyangkut kesejahteraan hidup.
Selanjutnya, dari sudut pandang sosial, kemiskinan dilihat sebagai kurang
berfungsinya kemampuan-kemampuan individu, seperti pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain untuk memperoleh tingkat dasar kesejahteraan hidup. Dengan demikian,
isolasi atau kesenjangan sosial pun dipandang sebagai faktor penujuk kemiskinan.[6]
Berdasarkan
batasan-batasan di atas, maka bisa dipahami bahwa pada hakikatnya kemiskinan
membawa orang kepada situasi di mana mereka tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang disimak di sini adalah
kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup, atau secara luas direfleksikan
sebagai standar umum dari kebutuhan hidup di dalam komunitas. Sebab itu, ketika
orang gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya demi mempertahankan hidupnya,
mereka dapat dikelompokkan sebagai orang miskin.
2.
2. Sebab-Sebab Kemiskinan
Secara khusus dari
berbagai hasil pertemuan terbatas dalam lingkup Gereja yang mendiskusikan soal
kemiskinan di Indonesia-NTT, bisa dikutip dua dokumen berikut sebagai rujukan
untuk memahami sebab-sebab atau akar-akar masalah kemiskinan yang terjadi di
wilayah ini (dalam konteks nasional dan regional)
Dalam konteks nasional,
Nota Pastoral KWI tahun 2006, bagian III, No. 14. menyebutkan ada beberapa
sebab pokok masalah yang memperlihatkan wajah buram kondisi sosio-ekonomi di
negara ini sehingga mempermiskin penduduknya.
a. Komersialisasi yang semakin meluas.
Hal ini terutama berhubungan dengan mekanisme pasar (pertukaran atau
perdagangan) yang mulai merambah ke segala bidang kehidupan manusia; bukan lagi
terbatas di bidang ekonomi saja, melainkan merasuki pula bidang lainnya,
seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Akibatnya, mekanisme pasar tak
lagi membantu pencapaian kesejahteraan bersama, dan bahkan memperkecil
kemungkinan terjadinya kesejahteraan bersama. Untuk itu, kaum miskin dan lemah
adalah mereka yang paling berat menanggung dampaknya.
b. Masalah kebijakan publik.
Masih terkait dengan penyebab pertama di atas, yang semakin menggelisahkan
adalah kuatnya kecenderungan kolusi antara mereka yang memiliki sumberdaya
ekonomi besar dan penentu kebijakan publik atau pemerintah. Dengan demikian,
mereka yang memiliki daya beli tinggi dapat lebih menentukan arah kebijakan
publik, sedangkan mereka yang miskin tidak mempunyai suara apapun untuk
mengupayakan kesejahteraannya.
c. Ciri mendua globalisasi.
Yang dimaksudkan dengan pokok masalah ini bahwa akses kemudahan-kemudahan yang
muncul dalam proses globalisasi untuk sebagian besar ditentukan oleh tingkat
daya beli yang tinggi. Akibatnya, kaum miskin yang nota bene memiliki daya beli
rendah menjadi rentan untuk dieksploitasi tenaga dan potensi ekonominya demi
kepentingan asing (investor).
d. Kesenjangan budaya.
Hal ini terutama terjadi apabila masyarakat menghayati suatu kebiasaan hidup
dan pola berpikir serta bertindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Kesenjangan itu tampak seperti dalam orientasi waktu dan relasi
dengan orang lain: ada kebiasaan hidup dan pola berpikir yang terarah pada
kepentingan jangka pendek, kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk
keperluan pesta mewah, judi, korupsi waktu, uang dan jabatan, serta kemalasan
dalam berusaha dan lain-lain.[7]
Sedangkan dalam konteks
regional, kami mengutip Rumusan Akhir Kapitel Provinsi SVD Ende XXI (Ledalero,
20-25 Februari 2012), yang secara umum mengkategorikan akar-akar masalah
kemiskinan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Akar
mentalitas dan pengetahuan: malas, serakah, bergantung pada alam, santai,
boros, pendidikan kurang, tidak tahu mengelola ekonomi rumah tangga, tidak ada
mental wirausaha, informasi kurang, dan pengetahuan minim.
b. Akar-akar
struktural; struktur budaya: pesta-pesta adat dan belis yang mempermiskin; struktur politik: kebijakan politik ekonomi
yang tidak pro rakyat kecil, lemahnya penegakkan hukum dalam pemberantasan
korupsi; struktur ekonomi: sistem ekonomi yang merugikan para petani dan
nelayan serta terbatasnya akses terhadap lahan pertanian. Hal ini semakin
diperburuk oleh bertambahnya jumlah penduduk.
c. Akar
ekologi fisik: wilayah tandus dan rentan terhadap bencana alam.[8]
2.
3. Potret Kemiskinan Di Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS), pada tanggal 2 Januari 2012
lalu mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2011
mencapai 29,89 juta orang atau 12,36% dari total penduduk 240-an juta. Angka
dan prosentase ini menurun sebesar 0,13% atau 0,13 juta orang dibandingkan
dengan keadaan per Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang atau 12,49%. Indikator
yang digunakan untuk mengukur penduduk miskin adalah penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.[9]
Selama periode Maret – September 2011, penduduk miskin di
daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret
2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah
pedesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada maret 2011
menjadi 18,94 juta orang pada September 2011). Penduduk miskin di daerah
perkotaan padea maret 2011 sebesar 9,23% menurun menjadi 9.09% pada September
2011. Penduduk miskin di daerah pedesaan pada Maret 2011 sebesar 15,72% menurun
menjadi 15,59% pada September 2011[10].
Tabel 1
Perkembangan
Kemiskinan di Indonesia[11]
Periode
|
Frekuensi
Penduduk Miskin
(dalam
juta)
|
Prosentase
Penduduk Miskin
|
Februari 2004
|
36,10
|
16,66
|
Februari 2005
|
35,10
|
15,97
|
Maret 2006
|
39,30
|
17,75
|
Maret 2007
|
37,17
|
16,58
|
Maret 2008
|
34,96
|
15,42
|
Maret 2009
|
32,53
|
14,15
|
Maret 2010
|
31,02
|
13,33
|
Maret 2011
|
30,02
|
12,49
|
September 2011
|
29,89
|
12,36
|
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs approach). Dengan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidak-mampuan
dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis
kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan
(GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). GKM adalah nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per
hari dari 52 jenis komiditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan.
Tabel 2
Sebaran Penduduk Miskin di
Indonesia[12]
PULAU/WILAYAH
|
JUMLAH ( X 1000)
|
PROSENTASE (%)
|
Sumatera
|
6.318,87
|
12,20
|
Jawa
|
16.744,41
|
12,09
|
Bali dan Nusra
|
2.065,82
|
15,46
|
Kalimantan
|
971,68
|
6,88
|
Sulawesi
|
2.152,15
|
12,17
|
Maluku dan Papua
|
1.637,00
|
25,25
|
Dalam
konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), menurut laporan BPS, jumlah penduduk miskin
mencapai 1,8 juta penduduk pada tahun 2010. Jumlah itu menurun menjadi 1 juta
pada tahun 2011, suatu angka penurunan yang sangat mencolok yakni sebesar 0,8
juta penduduk. Jumlah penduduk miskin itu tersebar di seluruh wilayah NTT baik
perkotaan maupun perdesaan.
Tabel 3
Jumlah Penduduk Miskin di NTT
(2005-2011) Menurut Tempat Tinggal[13]
THN
|
JML PEND.MISKIN
|
PROSENTASE (%)
|
GARIS KEMISKINAN
|
||||||
KOTA
|
DESA
|
JML
|
DESA
|
KOTA
|
JML
|
KOTA
|
DESA
|
JML
|
|
2005
|
133,5
|
1037,7
|
1171,2
|
17,85
|
30,46
|
28,19
|
148,168
|
89.764
|
98.263
|
2006
|
148,0
|
1125,9
|
1273,9
|
18,77
|
31,68
|
29,34
|
163,374
|
104.221
|
114.982
|
2007
|
124,9
|
1038,7
|
1163,6
|
16,41
|
29,95
|
27,51
|
185,975
|
113.310
|
126.389
|
2008
|
119,3
|
979,1
|
1098,3
|
15,50
|
27,88
|
25,65
|
199,006
|
126.746
|
139.731
|
2009
|
109,4
|
903,7
|
1013,1
|
14,01
|
25,35
|
23,31
|
218,279
|
142.478
|
156.191
|
2010
|
107,4
|
906,7
|
1014,1
|
13,57
|
25,10
|
23,03
|
241,807
|
160.743
|
175.308
|
2011
|
117,04
|
895,9
|
1012,9
|
12,50
|
23,36
|
21,23
|
267,67
|
181.68
|
198.55
|
III.
“MEMILIH UNTUK MENGUTAMAKAN KAUM MISKIN”: SEBUAH KONTEKSTUALISASI MISI DI
INDONESIA-NTT
Bagi
Gereja, pilihan untuk mengutamakan kaum miskin atau preferential option for and with the poor adalah sebuah keniscayaan
yang sejalan dengan misi Allah sendiri. Ada berbagai kutipan biblis yang meneguhkan
tekad semacam ini, antara lain seperti termuat dalam intisari injil Lukas,
4:16-30. Di sana dikisahkan bagaimana Yesus membacakan penggalan dari Kitab
Yesaya, “Roh Tuhan ada atas-Ku. Dia telah
mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia
telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan
penglihatan bagi orang-orang buta; untuk membebaskan orang-orang yang tertindas”
(Yes. 61:1-2; Luk. 4:18-19).
Dalam
ensiklik Evangelii Nuntiandi (1974),
telah dinyatakan pula kewajiban Gereja untuk “membantu lahirnya pembebasan,
memberi kesaksian tentang pembebasan dan menjamin supaya pembebasan mencapai
pemenuhannya” sebagai bagian integral dari evangelisasi Gereja. Sebab itu, ikhtiar
memilih untuk mengutamakan kaum miskin sudah merupakan bagian dari keprihatinan
sosial Gereja yang perlu diperjuangkan dengan pola pendekatan pembebasan.[14]
3.
1. Misi Dalam Konteks Kemiskinan
Melihat realitas
kemiskinan di Indonesia-NTT dalam konteks iman tentunya membangkitkan kesadaran
dalam diri untuk memandang misi sebagai sebuah harapan yang aktif, yaitu mewartakan
masa depan dan bekerja demi masa depan itu mulai dari sekarang. Itulah hakikat
misi dalam konteksnya yang bertujuan untuk menciptakan sebuah kemanusiaan yang
baru, sekaligus sebagai antisipasi kepenuhan eskatologis. Karakter misi seperti
ini merupakan suatu tanda harapan bagi kaum miskin dan tertindas.[15]
Sebenarnya sudah sejak
lama, Gereja-Gereja Lokal di mana saja terlibat aktif dalam memperjuangkan kemanusiaan,
berpihak kepada kaum miskin dan yang tertindas serta membantu mereka di jalan
menuju kemajuan dan pembebasan. Namun baru pada abad ke-20, kesadaran tersebut terasa
memuncak dalam diri Gereja dan ditegaskan untuk memilih mengutamakan kaum miskin.[16] Gereja
menyadari bahwa kesadaran semacam ini merupakan suatu rahmat bagi pembaruan
komitmen Kristen pada injil, yaitu dengan bertobat kepada dunia orang miskin.
Artinya Gereja mesti terbuka untuk diinjili oleh keberadaan kaum miskin
sendiri. Hanya dengan pertobatan itu Gereja dapat menjalankan fungsinya untuk
menyadarkan kaum miskin menyiapkan diri mereka menyambut kedatangan kerajaan
keadilan dan perdamaian.[17]
Akan
tetapi usaha pembaharuan Gereja ini menjadi semakin sulit di hadapan arus yang
sedang menguasai manusia-manusia modern, di tengah zaman globalisasi dan kapitalisme
yang cenderung melupakan kaum miskin. Bahaya kemenduaan globalisasi dewasa ini
ialah bahwa orang miskin tidak dibutuhkan, bahwa mereka merupakan beban,
dianggap sebagai halangan sehingga perlu didepak dari segala bidang kehidupan
manusia karena tak mampu bersaing. Menanggapi situasi demikian, maka dalam
Konsili Vatikan II sangat ditekankan keberpihakan terhadap kaum miskin. Sebab di
tengah konteks kemiskinan dan ketersingkiran manusia, Gereja harus mengembangkan
budaya solidaritas sebagai jaminan bahwa martabat dan kesejahteraan kaum miskin
dan tersingkir tetap dihargai di dalam masyarakat. Untuk itu, semua pihak perlu
disadarkan dan digerakkan agar mengungkapkan solidaritasnya dengan kaum miskin
dan tak beruntung; solidaritas yang terarah kepada mereka yang tak berkuasa,
tidak bisa berpartisipasi dalam keuntungan bersama, mengalami kekurangan dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya.
Akhirnya, komitmen
radikal untuk berpihak kepada kaum miskin, di samping pertobatan membutuhkan
juga kesaksian hidup. Hal ini menghantar kita kepada sebuah permenungan, “Bila
orang Kristen mengatakan bahwa sampai dewasa ini mereka merasakan sakratul maut
Kristus di atas salib, setiap kali umat menderita, - dan memang demikian halnya
- maka keterlibatan mereka harus dibuktikan dalam tindakan bukan melalui
pernyataan”.[18]
3.
2. Solidaritas Sebagai Pendekatan Misi Gaya Pembebasan
Memilih
untuk mengutamakan kaum miskin atau tersisih berarti bersedia berbela rasa
dengan mereka dan membiarkan diri saling menginjili satu lain. Disposisi seperti
ini secara radikal meniscayakan bahwa melalui solidaritas, orang secara
sukarela ingin turut serta dalam kemiskinan materiil kaum miskin, yang
merupakan akibat dari ketidakadilan, dan dalam pendekatan tersebut memberikan
kekuatan kepada kaum miskin agar berkanjang dalam perjuangan untuk mengatasi kemiskinan
dan membebaskan diri dari situasi penindasan.[19]
Itulah makna dari solidaritas sebagai pendekatan misi gaya pembebasan yang
beroperasi dalam dua tataran berikut:
Pertama,
mengusahakan penyadaran bagi kaum miskin. Artinya, orang yang hidup bersama
kaum miskin dalam solidaritas dengan mereka, harus berusaha agar orang miskin
sendiri menjadi sadar akan situasi mereka dan dapat mencari serta mengusahakan
jalan keluar untuk mengatasi kondisi hidupnya. Atau dengan kata lain, melalui
penyadaran tersebut orang miskin harus mengalami bahwa mereka adalah subyek
yang mampu bertindak, bersuara, dan membuat rencana untuk memperbaiki nasib
hidup mereka sendiri.[20]
Kedua, memberikan
pendampingan bagi mereka dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari
penindasan. Artinya, setelah mengusahan penyadaran bagi kaum miskin akan
kondisi hidupnya, siapa saja yang solider dengan kaum miskin harus tetap
terlibat, memberikan pendampingan terhadap mereka dalam segala usaha untuk
membebaskan diri dari sistem atau struktur sosio-ekonomi-politik-budaya yang
menindas. Tentang hal ini, seringkali solidaritas Gereja menuai kontroversi dan
perbedaan pendapat mengenai cara yang halal dan tidak halal, mengenai apa yang
perlu dan apa yang tidak diperbolehkan dalam perjuangan demi pembebasan ini.
Namun yang pasti bahwa karena pembebasan kaum miskin menyebabkan penghapusan
berbagai privilese dan kemudahan pada pihak kaum penguasa, maka mereka yang
kaya dan berkuasa itu dengan segala macam cara akan berusaha menghindarkan
keterlibatan Gereja demi pembebasan kaum tertindas. Untuk itu, solidaritas
Gereja harus tetap dipertahankan atas suatu maksud mulia yang hendak dicapai,
yaitu menciptakan dunia di mana semua orang dapat saling menghadap sebagai
saudara dan saudari Yesus Kristus.[21]
IV.
PENUTUP
“Memilih untuk mengutamakan kaum miskin” memang sepatutnya
menjadi opsi dasar misi Gereja apabila Gereja sungguh sadar akan identitasnya
sebagai Gereja kaum miskin. Di samping itu komitmen pribadi pun sangat
diharapkan untuk memperteguh totalitas keberpihakan semacam ini. Sebab
solidaritas dengan kaum miskin menuntut bukan hanya sekadar bela rasa,
melainkan juga kesediaan untuk membiarkan diri saling menginjili. Hanya dengan
itu, maka usaha penyadaran dan pendampingan terhadap mereka bisa berdaya guna,
membebaskan mereka dari kondisi hidupnya dan dari ketertindasan akibat sistem
atau struktur yang tidak adil. Dengan demikian, sama seperti sikap Yesus yang
selalu mendekati dan berpihak kepada kaum miskin tanpa syarat, kita pun boleh
berbangga dalam iman karena berhasil mengambil bagian dalam misi pembebasan
Allah sendiri.
[1]John Prior, “Kesetiakawanan Dengan Kaum Tersisih”,
dalam Bimbingan Masa Novisiat Kekal di Seminari Tinggi St. Paulus
Ledalero, 2011.
[2]Wilhelm C.
Djulei, Teologi Misi Milenium Baru
(Maumere: Ledalero, 2007), p. 39.
[3]KWI,
“Habitus Baru: Ekonomi Yang Berkeadilan”, Nota
Pastoral 2006, Pernyataan No. 23.
[4]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), p.
961.
[5] Mengutip Fidel Wotan, “Keberpihakan
Kepada Kaum Miskin Sebagai Pilihan Utama. Sebuah Upaya Untuk Berdiri di Pihak
Kaum Miskin”, (Online), (http://wwwfidelsmmindohtm.blogspot.com/2010/06/keberpihakan-kepada-orang-miskin.html),
diakses tanggal 5 November 2012. Dalam
Godlif, J.
Sianipar, ”Poverty and Global Capitalism”, Studia
Philosophica et Theologica Vol 8 No. 1 Maret 2008, Malang: STFT Widya
Sasana, 2008.
[6]Ibid.
[7]KWI, Loc.
Cit.
[8]Provinsi SVD Ende, “Rumusan Akhir Kapitel Provinsi
Ende XXI, Ledalero, 20-25 Februari 2012”, (Ende: Komisi Komunikasi Sosial,
2012), p. 18.
[10]BPS, “Profil Kemiskinan
di Indonesia September 2011, Jumlah Penduduk Miskin September 2011 Mencapai
29,89 juta orang”, No.06/01/Th.XV, 2 Januari 2012, (Online), (www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan.pdf),
diakses tanggal 5
November
2012.
[11]Ibid
[12] http://www.bisnis.com/articles/data kemiskinan, diakses, 8 Juni
2012.
[13] www.ntt.bps.go.id, diakses, 7 Juni 2012.
[14]Pendekatan
ini memandang orang miskin sebagai korban dari struktur sosial dan ekonomi yang
tidak adil, yang menguntungkan kelompok kuat dan berkuasa sambil merugikan
mereka yang lemah dan tidak bisa menang dalam persaingan. Atau dengan kata
lain, pendekatan ini mengeritik struktur yang tidak adil dan berusaha untuk
mengubahnya sekian supaya mereka yang sekarang disingkirkan juga diberikan
peluang yang adil untuk turut menikmati hasil kekayaan dunia. Georg
Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah
Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), pp. 744-745.
[15]Kurt Piskaty, “Motif-Motif Karya Misioner
Kristen”, dalam Georg Kirchberger (Ed.), Misi-Evangelisasi-Penghayatan Iman (Maumere: Ledalero,
2004), pp. 24-25.
[16]Felix Wilfred, “Keprihatinan Gereja Bagi Kaum
Miskin Pada Jaman Globalisasi”,
dalam Ibid., p. 112.
[17]Aloysius Pires, “Evengelisasi Baru: Quo Vadis?”, dalam Georg Kirchberger
dan John Mansford Prior (Eds.), Antara Bahtera Nuh dan Kapal Karam Paulus. Dialog Antaragama,
Jilid
II, (Ende: Nusa Indah, 1997), p. 326.
[19]Georg
Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah
Dogmatik Kristiani, Op.Cit., p.
748.
[21]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar