Selasa, 19 Maret 2013

“MEMILIH UNTUK MENGUTAMAKAN KAUM MISKIN”: SEBUAH KONTEKSTUALISASI MISI DI INDONESIA-NTT



I. PENDAHULUAN
Gagasan, “Memilih untuk mengutamakan kaum miskin” atau preferential option for and with the poor pada hakikatnya telah dimatangkan melalui berbagai refleksi selama beberapa dasawarsa terakhir dalam diri Gereja. Misalnya, paus Yohanes XXIII, sebulan sebelum Konsili (medio November 1962) memakai bahasa, “Gereja bagi semua orang, terutama Gereja kaum miskin”. Ungkapan ini kemudian diperluas lagi dalam Gaudium et Spes (1965), No. 1, “Terutama mereka yang miskin atau menderita dengan cara apapun”. Selanjutnya, Federasi Konferensi-konferensi Waligereja se-Amerika Latin (CELAM) dalam Sidang Paripurnanya yang ke-2 di Medelin, Colombia, pada tahun 1968, juga mempertajam gagasan yang sama dengan mengatakan, “Mengutamakan yang termiskin dan sektor-sektor yang paling ada kebutuhan dan mereka yang disingkirkan dengan alasan apapun” (Pernyataan Akhir, Bagian Kemiskinan, No. 9). Dan sejak diterbitkannya surat edaran sollicitudo rei socialis (1987), semboyan memihak terutama kaum miskin telah dibilang masuk ajaran sosial Kepausan, yaitu “pilihan atau cinta kasih untuk mengutamakan kaum miskin . . . terutama orang yang tiada pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik” (SRS 1987, No. 42).[1]    
 Memang sebagai bagian dari komunitas dunia ini, Gereja seharusnya tidak tinggal diam ketika melihat realitas kemiskinan membelenggu begitu banyak orang. Hakikatnya sebagai misi, membuat Gereja wajib sadar akan tugas misionernya dalam lingkungan di mana ia berada,[2] terutama mengutamakan kaum miskin yang oleh berbagai faktor telah menyebabkan mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok agar hidup layak dan bermartabat sebagai manusia.
Dalam makalah ini, kami mencoba untuk memperlihatkan tanggung jawab Gereja di Indonesia-NTT, terutama misinya untuk mengutamakan kaum miskin yang berada di sekitarnya. Tujuannya jelas bukan menuntut Gereja Indonesia-NTT sesegera mungkin mengentaskan atau menghapus kemiskinan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, melainkan untuk memperlihatkan misi Allah sendiri, yang datang ke dunia, menjadi daging dan “diam di antara kita”, agar yang kaya dan berkuasa tidak menjadi tawanan dari sikap cinta diri yang sempit dan buta terhadap kepentingan orang lain dan ciptaan, serta yang miskin tidak tenggelam di dalam ketidakberdayaan dan buta terhadap peluang-peluang untuk membangun hidup.[3] Atau dengan kata lain, melalui makalah ini kami ingin mempresentasikan misi pembebasan yang harus diemban Gereja sebagai bentuk partisipasinya dalam solidaritas Allah sendiri yang berpihak kepada kaum miskin.

II. TERMINOLOGI DAN FAKTA KEMISKINAN DI INDONESIA-NTT
Salah satu persoalan yang senantiasa menghimpit hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di NTT, adalah ”kemiskinan”. Namun berbicara tentang realitas ini tentunya menyadarkan kita akan berbagai hal yang masih perlu dijelaskan, antara lain menyangkut definisi kemiskinan, sebab-sebab kemiskinan dan data survey yang relevan.

2. 1. Apa Itu Kemiskinan?
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Sedangkan kemiskinan adalah hal miskin; keadaan miskin; kemelaratan; kepapaan.[4] Sedangkan dalam Encyclopedia Britannica, sebagaimana yang dikutip oleh Godlif, dijelaskan bahwa kemiskinan adalah ”The state of one who lacks an usual or socially acceptable amount of money or material possessions”.[5]
Dari sudut pandang ekonomi, batasan kemiskinan lebih diukur pada soal pendapatan, konsumsi, atau secara luas menyangkut kesejahteraan hidup. Selanjutnya, dari sudut pandang sosial, kemiskinan dilihat sebagai kurang berfungsinya kemampuan-kemampuan individu, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain untuk memperoleh tingkat dasar kesejahteraan hidup. Dengan demikian, isolasi atau kesenjangan sosial pun dipandang sebagai faktor penujuk kemiskinan.[6]
Berdasarkan batasan-batasan di atas, maka bisa dipahami bahwa pada hakikatnya kemiskinan membawa orang kepada situasi di mana mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang disimak di sini adalah kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup, atau secara luas direfleksikan sebagai standar umum dari kebutuhan hidup di dalam komunitas. Sebab itu, ketika orang gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya demi mempertahankan hidupnya, mereka dapat dikelompokkan sebagai orang miskin.
 
2. 2. Sebab-Sebab Kemiskinan
Secara khusus dari berbagai hasil pertemuan terbatas dalam lingkup Gereja yang mendiskusikan soal kemiskinan di Indonesia-NTT, bisa dikutip dua dokumen berikut sebagai rujukan untuk memahami sebab-sebab atau akar-akar masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah ini (dalam konteks nasional dan regional)
Dalam konteks nasional, Nota Pastoral KWI tahun 2006, bagian III, No. 14. menyebutkan ada beberapa sebab pokok masalah yang memperlihatkan wajah buram kondisi sosio-ekonomi di negara ini sehingga mempermiskin penduduknya.  
a.       Komersialisasi yang semakin meluas. Hal ini terutama berhubungan dengan mekanisme pasar (pertukaran atau perdagangan) yang mulai merambah ke segala bidang kehidupan manusia; bukan lagi terbatas di bidang ekonomi saja, melainkan merasuki pula bidang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Akibatnya, mekanisme pasar tak lagi membantu pencapaian kesejahteraan bersama, dan bahkan memperkecil kemungkinan terjadinya kesejahteraan bersama. Untuk itu, kaum miskin dan lemah adalah mereka yang paling berat menanggung dampaknya.
b.      Masalah kebijakan publik. Masih terkait dengan penyebab pertama di atas, yang semakin menggelisahkan adalah kuatnya kecenderungan kolusi antara mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi besar dan penentu kebijakan publik atau pemerintah. Dengan demikian, mereka yang memiliki daya beli tinggi dapat lebih menentukan arah kebijakan publik, sedangkan mereka yang miskin tidak mempunyai suara apapun untuk mengupayakan kesejahteraannya.
c.  Ciri mendua globalisasi. Yang dimaksudkan dengan pokok masalah ini bahwa akses kemudahan-kemudahan yang muncul dalam proses globalisasi untuk sebagian besar ditentukan oleh tingkat daya beli yang tinggi. Akibatnya, kaum miskin yang nota bene memiliki daya beli rendah menjadi rentan untuk dieksploitasi tenaga dan potensi ekonominya demi kepentingan asing (investor).
d.      Kesenjangan budaya. Hal ini terutama terjadi apabila masyarakat menghayati suatu kebiasaan hidup dan pola berpikir serta bertindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kesenjangan itu tampak seperti dalam orientasi waktu dan relasi dengan orang lain: ada kebiasaan hidup dan pola berpikir yang terarah pada kepentingan jangka pendek, kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk keperluan pesta mewah, judi, korupsi waktu, uang dan jabatan, serta kemalasan dalam berusaha dan lain-lain.[7]

Sedangkan dalam konteks regional, kami mengutip Rumusan Akhir Kapitel Provinsi SVD Ende XXI (Ledalero, 20-25 Februari 2012), yang secara umum mengkategorikan akar-akar masalah kemiskinan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a.  Akar mentalitas dan pengetahuan: malas, serakah, bergantung pada alam, santai, boros, pendidikan kurang, tidak tahu mengelola ekonomi rumah tangga, tidak ada mental wirausaha, informasi kurang, dan pengetahuan minim.
b.      Akar-akar struktural; struktur budaya: pesta-pesta adat dan belis yang mempermiskin;  struktur politik: kebijakan politik ekonomi yang tidak pro rakyat kecil, lemahnya penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi; struktur ekonomi: sistem ekonomi yang merugikan para petani dan nelayan serta terbatasnya akses terhadap lahan pertanian. Hal ini semakin diperburuk oleh bertambahnya jumlah penduduk.
c.       Akar ekologi fisik: wilayah tandus dan rentan terhadap bencana alam.[8]

2. 3. Potret Kemiskinan Di Indonesia
            Badan Pusat Statistik (BPS), pada tanggal 2 Januari 2012 lalu mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau 12,36% dari total penduduk 240-an juta. Angka dan prosentase ini menurun sebesar 0,13% atau 0,13 juta orang dibandingkan dengan keadaan per Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang atau 12,49%. Indikator yang digunakan untuk mengukur penduduk miskin adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.[9] 
            Selama periode Maret – September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah pedesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011). Penduduk miskin di daerah perkotaan padea maret 2011 sebesar 9,23% menurun menjadi 9.09% pada September 2011. Penduduk miskin di daerah pedesaan pada Maret 2011 sebesar 15,72% menurun menjadi 15,59% pada September 2011[10].        


Tabel 1
Perkembangan Kemiskinan di Indonesia[11]
Periode
Frekuensi Penduduk Miskin
(dalam juta)
Prosentase Penduduk Miskin
Februari 2004
36,10
16,66
Februari 2005
35,10
15,97
Maret 2006
39,30
17,75
Maret 2007
37,17
16,58
Maret 2008
34,96
15,42
Maret 2009
32,53
14,15
Maret 2010
31,02
13,33
Maret 2011
30,02
12,49
September 2011
29,89
12,36

            Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidak-mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari dari 52 jenis komiditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. 
           
Tabel 2
Sebaran Penduduk Miskin di Indonesia[12]
PULAU/WILAYAH
JUMLAH ( X 1000)
PROSENTASE (%)
Sumatera
6.318,87
12,20
Jawa
16.744,41
12,09
Bali dan Nusra
2.065,82
15,46
Kalimantan
971,68
6,88
Sulawesi
2.152,15
12,17
Maluku dan Papua
1.637,00
25,25
        
       Dalam konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), menurut laporan BPS, jumlah penduduk miskin mencapai 1,8 juta penduduk pada tahun 2010. Jumlah itu menurun menjadi 1 juta pada tahun 2011, suatu angka penurunan yang sangat mencolok yakni sebesar 0,8 juta penduduk. Jumlah penduduk miskin itu tersebar di seluruh wilayah NTT baik perkotaan maupun perdesaan.

Tabel 3
Jumlah Penduduk Miskin di NTT (2005-2011) Menurut Tempat Tinggal[13]

THN
JML PEND.MISKIN
PROSENTASE (%)
GARIS KEMISKINAN
KOTA
DESA
JML
DESA
KOTA
JML
KOTA
DESA
JML
2005
133,5
1037,7
1171,2
17,85
30,46
28,19
148,168
89.764
98.263
2006
148,0
1125,9
1273,9
18,77
31,68
29,34
163,374
104.221
114.982
2007
124,9
1038,7
1163,6
16,41
29,95
27,51
185,975
113.310
126.389
2008
119,3
979,1
1098,3
15,50
27,88
25,65
199,006
126.746
139.731
2009
109,4
903,7
1013,1
14,01
25,35
23,31
218,279
142.478
156.191
2010
107,4
906,7
1014,1
13,57
25,10
23,03
241,807
160.743
175.308
2011
117,04
895,9
1012,9
12,50
23,36
21,23
267,67
181.68
198.55


III. “MEMILIH UNTUK MENGUTAMAKAN KAUM MISKIN”: SEBUAH KONTEKSTUALISASI MISI DI INDONESIA-NTT
            Bagi Gereja, pilihan untuk mengutamakan kaum miskin atau preferential option for and with the poor adalah sebuah keniscayaan yang sejalan dengan misi Allah sendiri. Ada berbagai kutipan biblis yang meneguhkan tekad semacam ini, antara lain seperti termuat dalam intisari injil Lukas, 4:16-30. Di sana dikisahkan bagaimana Yesus membacakan penggalan dari Kitab Yesaya, “Roh Tuhan ada atas-Ku. Dia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta; untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (Yes. 61:1-2; Luk. 4:18-19).
         Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi (1974), telah dinyatakan pula kewajiban Gereja untuk “membantu lahirnya pembebasan, memberi kesaksian tentang pembebasan dan menjamin supaya pembebasan mencapai pemenuhannya” sebagai bagian integral dari evangelisasi Gereja. Sebab itu, ikhtiar memilih untuk mengutamakan kaum miskin sudah merupakan bagian dari keprihatinan sosial Gereja yang perlu diperjuangkan dengan pola pendekatan pembebasan.[14]

3. 1. Misi Dalam Konteks Kemiskinan
Melihat realitas kemiskinan di Indonesia-NTT dalam konteks iman tentunya membangkitkan kesadaran dalam diri untuk memandang misi sebagai sebuah harapan yang aktif, yaitu mewartakan masa depan dan bekerja demi masa depan itu mulai dari sekarang. Itulah hakikat misi dalam konteksnya yang bertujuan untuk menciptakan sebuah kemanusiaan yang baru, sekaligus sebagai antisipasi kepenuhan eskatologis. Karakter misi seperti ini merupakan suatu tanda harapan bagi kaum miskin dan tertindas.[15]
Sebenarnya sudah sejak lama, Gereja-Gereja Lokal di mana saja terlibat aktif dalam memperjuangkan kemanusiaan, berpihak kepada kaum miskin dan yang tertindas serta membantu mereka di jalan menuju kemajuan dan pembebasan. Namun baru pada abad ke-20, kesadaran tersebut terasa memuncak dalam diri Gereja dan ditegaskan untuk memilih mengutamakan kaum miskin.[16] Gereja menyadari bahwa kesadaran semacam ini merupakan suatu rahmat bagi pembaruan komitmen Kristen pada injil, yaitu dengan bertobat kepada dunia orang miskin. Artinya Gereja mesti terbuka untuk diinjili oleh keberadaan kaum miskin sendiri. Hanya dengan pertobatan itu Gereja dapat menjalankan fungsinya untuk menyadarkan kaum miskin menyiapkan diri mereka menyambut kedatangan kerajaan keadilan dan perdamaian.[17]
        Akan tetapi usaha pembaharuan Gereja ini menjadi semakin sulit di hadapan arus yang sedang menguasai manusia-manusia modern, di tengah zaman globalisasi dan kapitalisme yang cenderung melupakan kaum miskin. Bahaya kemenduaan globalisasi dewasa ini ialah bahwa orang miskin tidak dibutuhkan, bahwa mereka merupakan beban, dianggap sebagai halangan sehingga perlu didepak dari segala bidang kehidupan manusia karena tak mampu bersaing. Menanggapi situasi demikian, maka dalam Konsili Vatikan II sangat ditekankan keberpihakan terhadap kaum miskin. Sebab di tengah konteks kemiskinan dan ketersingkiran manusia, Gereja harus mengembangkan budaya solidaritas sebagai jaminan bahwa martabat dan kesejahteraan kaum miskin dan tersingkir tetap dihargai di dalam masyarakat. Untuk itu, semua pihak perlu disadarkan dan digerakkan agar mengungkapkan solidaritasnya dengan kaum miskin dan tak beruntung; solidaritas yang terarah kepada mereka yang tak berkuasa, tidak bisa berpartisipasi dalam keuntungan bersama, mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. 
Akhirnya, komitmen radikal untuk berpihak kepada kaum miskin, di samping pertobatan membutuhkan juga kesaksian hidup. Hal ini menghantar kita kepada sebuah permenungan, “Bila orang Kristen mengatakan bahwa sampai dewasa ini mereka merasakan sakratul maut Kristus di atas salib, setiap kali umat menderita, - dan memang demikian halnya - maka keterlibatan mereka harus dibuktikan dalam tindakan bukan melalui pernyataan”.[18]

3. 2. Solidaritas Sebagai Pendekatan Misi Gaya Pembebasan
            Memilih untuk mengutamakan kaum miskin atau tersisih berarti bersedia berbela rasa dengan mereka dan membiarkan diri saling menginjili satu lain. Disposisi seperti ini secara radikal meniscayakan bahwa melalui solidaritas, orang secara sukarela ingin turut serta dalam kemiskinan materiil kaum miskin, yang merupakan akibat dari ketidakadilan, dan dalam pendekatan tersebut memberikan kekuatan kepada kaum miskin agar berkanjang dalam perjuangan untuk mengatasi kemiskinan dan membebaskan diri dari situasi penindasan.[19] Itulah makna dari solidaritas sebagai pendekatan misi gaya pembebasan yang beroperasi dalam dua tataran berikut:
Pertama, mengusahakan penyadaran bagi kaum miskin. Artinya, orang yang hidup bersama kaum miskin dalam solidaritas dengan mereka, harus berusaha agar orang miskin sendiri menjadi sadar akan situasi mereka dan dapat mencari serta mengusahakan jalan keluar untuk mengatasi kondisi hidupnya. Atau dengan kata lain, melalui penyadaran tersebut orang miskin harus mengalami bahwa mereka adalah subyek yang mampu bertindak, bersuara, dan membuat rencana untuk memperbaiki nasib hidup mereka sendiri.[20]
Kedua, memberikan pendampingan bagi mereka dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan. Artinya, setelah mengusahan penyadaran bagi kaum miskin akan kondisi hidupnya, siapa saja yang solider dengan kaum miskin harus tetap terlibat, memberikan pendampingan terhadap mereka dalam segala usaha untuk membebaskan diri dari sistem atau struktur sosio-ekonomi-politik-budaya yang menindas. Tentang hal ini, seringkali solidaritas Gereja menuai kontroversi dan perbedaan pendapat mengenai cara yang halal dan tidak halal, mengenai apa yang perlu dan apa yang tidak diperbolehkan dalam perjuangan demi pembebasan ini. Namun yang pasti bahwa karena pembebasan kaum miskin menyebabkan penghapusan berbagai privilese dan kemudahan pada pihak kaum penguasa, maka mereka yang kaya dan berkuasa itu dengan segala macam cara akan berusaha menghindarkan keterlibatan Gereja demi pembebasan kaum tertindas. Untuk itu, solidaritas Gereja harus tetap dipertahankan atas suatu maksud mulia yang hendak dicapai, yaitu menciptakan dunia di mana semua orang dapat saling menghadap sebagai saudara dan saudari Yesus Kristus.[21]       
           
IV. PENUTUP
“Memilih untuk mengutamakan kaum miskin” memang sepatutnya menjadi opsi dasar misi Gereja apabila Gereja sungguh sadar akan identitasnya sebagai Gereja kaum miskin. Di samping itu komitmen pribadi pun sangat diharapkan untuk memperteguh totalitas keberpihakan semacam ini. Sebab solidaritas dengan kaum miskin menuntut bukan hanya sekadar bela rasa, melainkan juga kesediaan untuk membiarkan diri saling menginjili. Hanya dengan itu, maka usaha penyadaran dan pendampingan terhadap mereka bisa berdaya guna, membebaskan mereka dari kondisi hidupnya dan dari ketertindasan akibat sistem atau struktur yang tidak adil. Dengan demikian, sama seperti sikap Yesus yang selalu mendekati dan berpihak kepada kaum miskin tanpa syarat, kita pun boleh berbangga dalam iman karena berhasil mengambil bagian dalam misi pembebasan Allah sendiri.






[1]John Prior, “Kesetiakawanan Dengan Kaum Tersisih”, dalam Bimbingan Masa Novisiat Kekal di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 2011.
[2]Wilhelm  C. Djulei, Teologi Misi Milenium Baru (Maumere: Ledalero, 2007), p. 39.
[3]KWI, “Habitus Baru: Ekonomi Yang Berkeadilan”, Nota Pastoral 2006, Pernyataan No. 23.
[4]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), p. 961.
[5] Mengutip Fidel Wotan, “Keberpihakan Kepada Kaum Miskin Sebagai Pilihan Utama. Sebuah Upaya Untuk Berdiri di Pihak Kaum Miskin”, (Online), (http://wwwfidelsmmindohtm.blogspot.com/2010/06/keberpihakan-kepada-orang-miskin.html), diakses tanggal 5 November 2012. Dalam Godlif, J. Sianipar, ”Poverty and Global Capitalism”, Studia Philosophica et Theologica Vol 8 No. 1 Maret 2008, Malang: STFT Widya Sasana, 2008.
[6]Ibid.
[7]KWI, Loc. Cit.
[8]Provinsi SVD Ende, “Rumusan Akhir Kapitel Provinsi Ende XXI, Ledalero, 20-25 Februari 2012”, (Ende: Komisi Komunikasi Sosial, 2012), p. 18.
[9]Bisnis Indonesia,  http://www.bisnis.com/articles/statistik kemiskinan, diakses, 8 Juni 2012.
[10]BPS, “Profil Kemiskinan di Indonesia September 2011, Jumlah Penduduk Miskin September 2011 Mencapai 29,89 juta orang”, No.06/01/Th.XV, 2 Januari 2012, (Online), (www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan.pdf), diakses tanggal 5 November 2012.
[11]Ibid
[12] http://www.bisnis.com/articles/data kemiskinan, diakses, 8 Juni 2012.
[13] www.ntt.bps.go.id, diakses, 7 Juni 2012.
[14]Pendekatan ini memandang orang miskin sebagai korban dari struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil, yang menguntungkan kelompok kuat dan berkuasa sambil merugikan mereka yang lemah dan tidak bisa menang dalam persaingan. Atau dengan kata lain, pendekatan ini mengeritik struktur yang tidak adil dan berusaha untuk mengubahnya sekian supaya mereka yang sekarang disingkirkan juga diberikan peluang yang adil untuk turut menikmati hasil kekayaan dunia. Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), pp. 744-745.  
[15]Kurt Piskaty, Motif-Motif Karya Misioner Kristen, dalam Georg Kirchberger (Ed.), Misi-Evangelisasi-Penghayatan Iman (Maumere: Ledalero, 2004), pp. 24-25.
[16]Felix Wilfred, Keprihatinan Gereja Bagi Kaum Miskin Pada Jaman Globalisasi, dalam Ibid., p. 112.
[17]Aloysius Pires, Evengelisasi Baru: Quo Vadis?”, dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (Eds.), Antara Bahtera Nuh dan Kapal Karam Paulus. Dialog Antaragama, Jilid II, (Ende: Nusa Indah, 1997), p. 326.
[18]Ibid., p. 135.  
[19]Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani, Op.Cit., p. 748.
[20]Ibid., p. 749.
[21]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar