Selasa, 19 Maret 2013

LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA (Sebuah Tinjauan Kultus Perkabungan Dalam Masyarakat Timor Leste)



I. PENDAHULUAN
Perkara cinta pada hakikatnya mengusung inklusivitas yang tak terperikan dalam hidup manusia. Ia bisa merembesi segala moment kehidupan, suka maupun duka, tidak dipilahnya. Ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia, menuntut pengungkapan dalam aneka cara dan bentuk yang unik untuk merepresentasikan dirinya.

Dalam realitas kedukaan karena kematian, misalnya, cinta hadir dan ada di sana untuk memampukan manusia bertindak dan bersikap secara tertentu. Cinta mengajak manusia masuk ke dalam permenungan eksistensial berhadapan dengan realitas kematian pribadi-pribadi tercinta, sambil mengupayakan bagi manusia itu sendiri suatu modus proporsional untuk menyatakan suasana batinnya. Dalam tataran ini, cinta adalah power (kekuatan) yang tak terperikan bagi manusia. Cinta mendukung suasana berkabung manusia secara kreatif dalam aneka bentuk pengkondisian diri, sikap yang dibuat secara sadar dan bertanggung jawab.
Bertalian dengan soal cinta sebagai power (kekuatan) dalam suasana perkabungan, maka melalui tulisan ini saya tertarik untuk mendalami sebuah kultus perkabungan yang diusung oleh masyarakat Timor Leste sebagai modus pembahasaan cinta. Saya mencoba mengetengahkan sisi original Lutu Metan dan Kore Metan untuk memperlihatkan manifestasi cinta sebagai kekuatan yang memampukan orang untuk bertindak dan bersikap secara tertentu selama hari-hari perkabungan dan post perkabungan. Di akhir pembahasan, saya juga akan merekomendasikan penilaian terhadap praktek perkabungan ini dalam terang keyakinan iman Kristen, untuk menguji apakah menyalahinya atau tidak. Untuk itu, keseluruhan uraian berikut sangat penting untuk membentuk pemahaman menyeluruh soal kultus perkabungan ini.


II. LUTU METAN DAN KORE METAN DALAM BATASAN MAKNA, SIMBOLISASI DAN RITUS
 2. 1. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Batasan Makna
                Masyarakat Timor Leste umumnya sangat akrab dengan istilah Lutu Metan dan Kore Metan dalam kehidupan mereka. Secara hurufiah, Lutu Metan berarti pagar hitam, dari kata Lutu yang berarti pagar dan Metan yang berarti hitam. Sedangkan Kore Metan berarti melepaskan hitam, dari kata Kore yang artinya melepaskan dan Metan yang berarti hitam. Kedua istilah ini adalah frasa yang sebenarnya mau merepresentasikan sesuatu makna yang lebih mendalam untuk dihayati.

            Lutu Metan dan Kore Metan dalam ranah praksis hakikatnya lebih berkenaan dengan moment perkabungan karena peristiwa kematian seseorang. Dalam arti ini, istilah Lutu Metan dan Kore Metan digunakan sebagai modus pembahasaan cinta, yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pengkondisian diri dan sikap tertentu.

2. 2. Simbolisasi Lutu Metan dan Kore Metan
            Lutu Metan dan Kore Metan sebagai istilah eksklusif masyarakat Timor Leste untuk membahasakan modus mencinta dalam suasana perkabungan pada dasarnya disertai pula dengan tanda lahiriah yang bisa dipersepsi kasat mata. Tanda lahiriah Lutu Metan berupa pengenaan selembar kain hitam yang biasanya dijepitkan pada saku baju atau lengan baju, umumnya oleh kaum pria, atau juga dalam versi lain, yaitu kerudung hitam yang biasa dikenakan oleh kaum wanita. Sedangkan Kore Metan sebagai puncak dari Lutu Metan, memiliki tanda lahiriahnya berupa penanggalan kain hitam atau kerudung hitam yang selama jangka waktu tertentu telah dikenakan. Kore Metan ini pada dasarnya menandai berakhirnya masa perkabungan.
            Tanda-tanda lahiriah sebagaimana yang telah disebutkan di atas umumnya dikondisikan bagi kerabat dekat pribadi yang telah “berpulang”, terutama keluarga inti almarhum/almarhuma.

2. 3. Lutu Metan dan Kore Metan Dalam Tataran Ritus   
2. 3. 1. Ritus Lutu Metan
            Ritus Lutu Metan biasanya dibuat pada hari kedelapan (pada malam hari) pasca kematian seseorang. Namun sebelum ritus ini dibuat, anggota keluarga yang berduka terlebih dahulu harus merampungkan dua ritus lainnya yang lazim disebut aifunan midar (bunga manis) dan taka odamatan (tutup pintu). Maksud kedua ritus tersebut, yaitu bahwa rumah harus dibersihkan dan kemudian anggota keluarga yang berduka membawa karangan bunga ke kuburan untuk ditempatkan pada makam pribadi yang telah “berpulang”. Kedua ritus ini dibuat pada sore hari, sebagai ungkapan kesiap-sediaan beralih kepada ritus Lutu Metan.

            Dalam ritus Lutu Metan itu akan dibagi-bagikan kain hitam untuk dikenakan, secara khusus kepada anggota keluarga inti dan anggota kerabat lain yang ingin berpartisipasi di dalamnya. Lutu Metan normalnya akan dikenakan selama satu tahun, namun itu tidak menutup kemungkinan juga bila ada anggota keluarga inti yang ingin memperpanjang masa Lutu Metannya hingga batas waktu maximum, yaitu tujuh tahun. Penghayatan untuk batas waktu maximum eksklusif dijalankan secara privat, sehingga pribadi yang bersangkutan akan dikecualikan pada saat Kore Metan yang diadakan setahun kemudian. Dalam arti bahwa pribadi tersebut tidak berpartisipasi dalam Kore Metan yang akan dibuat.

        Sehubungan dengan ritus ini, ada pula hal lain yang mesti diperhatikan, yaitu soal kelayakan umur untuk Lutu Metan. Khusus bagi orang dewasa, Lutu Metan wajib dikenakan selama satu tahun atau bisa lebih hingga batas waktu maximum. Sedangkan bagi anak di bawah umur, mereka hanya diwajibkan mengenakan Lutu Metan selama tiga bulan. Lutu Metan yang mereka kenakan kemudian dialihkan kepada orang dewasa, biasanya kepada orang tua mereka hingga batas waktu untuk Kore Metan.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka tidak ada lagi acara jaga malam atau mete. Masing-masing orang secara privat mulai menjalani hari-hari perkabungan mereka, dengan berbagai macam pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab.

2. 3. 2. Ritus Kore Metan
Setelah menjalani jangka waktu normal yang ditetapkan untuk Lutu Metan, maka pada klimaksnya ritus perkabungan berikut yang harus dirampungkan adalah Kore Metan. Ritus ini diawali dengan hader aifunan moruk (jaga malam bunga pahit) dan hader aifunan midar (jaga malam bunga manis). Kedua istilah ini dimaksudkan untuk mengenang kembali pribadi yang telah “berpulang” setahun yang lalu, semua pengalaman eksistensial yang pernah diukir bersama dengan almarhum. Untuk maksud ini, sidang perkabungan yang mengenakan Lutu Metan akan mengadakan acara mete bersama selama tiga hari berturut-turut, dengan intensi khusus mendoakan arwah almarhum supaya beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang” dan menjadi pendoa bagi anggota keluarga yang masih hidup. Pada hari ketiga itulah ritus Kore Metan harus dijalankan.

Ritus Kore Metan yang berarti melepaskan pagar hitam (Lutu Metan) dimaksudkan untuk melepaskan beban duka, perkabungan yang telah dijalani selama setahun yang lalu. Realitas ini mengartikulasikan juga disposisi batin untuk merelakan dengan tulus ikhlas kepergian pribadi yang telah “berpulang” selama-lamanya, meskipun fakta fisisnya sudah terjadi setahun yang lalu. Ritus ini ditandai dengan pengumpulan kembali kain hitam yang selama setahun sudah dikenakan oleh masing-masing orang sebagai tanda berkabung, dan kemudian disimpan oleh anggota keluarga inti. Kain-kain hitam itu akan disimpan di dalam oratori (ruangan atau lemari kecil tempat menyimpan barang-barang kudus: Salib Yesus, patung Bunda Maria, Kitab Suci, Rosario, dan barang kudus lainnya), di mana anggota keluarga biasa menjadikannya tempat berdoa.

Dengan berakhirnya ritus ini, maka masa perkabungan pun berakhir. Mereka yang selama setahun mengenakan Lutu Metan kini boleh memasuki kembali atmosfir kehidupan yang biasa, dengan keyakinan iman bahwa almarhum yang mereka cintai itu sudah beristirahat dengan tenteram di “dunia seberang”. Almarhum juga diyakini akan menjadi perantara doa antara mereka dengan Sang Khalik, yang bisa memohonkan rahmat Tuhan bagi anggota keluarga yang masih berziarah di dunia ini.

III. LUTU METAN DAN KORE METAN SEBAGAI MODUS PEMBAHASAAN CINTA
 3. 1. Mencintai Dalam Aneka Bentuk Pengkondisian Diri Selama Lutu Metan
      Mengenakan Lutu Metan sebagai tanda perkabungan pada hakikatnya membawa konsekuensi yang mesti ditanggung. Konsekuensi itu adalah macam-macam bentuk pengkondisian diri yang diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, yang akan mewarnai hari-hari hidup mereka sejak Lutu Metan efektif hingga diadakannya ritus Kore Metan setahun kemudian. Macam-macam bentuk pengkondisian diri tersebut antara lain bisa disebutkan sebagai berikut:
  • Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya dikondisikan untuk tidak bersenang-senang dalam keseharian hidupnya. Kenyataan seperti ini secara kasat mata bisa diamati tatkala mereka menghadiri acara-acara tertentu, sebagai misal dalam acara pesta pernikahan. Mereka yang mengenakan Lutu Metan biasanya tidak berlama-lama di tempat tersebut, apalagi berpartisipasi dalam acara “dansa” yang acapkali diklaim sebagai puncak dari acara pesta tersebut.
  • Khusus bagi suami atau istri yang pasangannya telah berpulang mendahuluinya, selama mengenakan Lutu Metan ia akan rela menjalani hari-hari kesendiriannya tanpa banyak berpikir untuk menikah lagi atau mencari pasangan hidup yang baru.
  • Mereka secara rutin akan mengunjungi makam almarhum untuk menabur bunga.
  • Mengadakan doa bersama dalam keluarga untuk memohon keselamatan arwah almarhum.
  • Menjauhi amarah dan pertengkaran. Dalam arti bahwa mereka harus selalu mengusahakan keharmonisan dalam hidup bersama, secara ke dalam maupun dengan orang lain.
Semua bentuk pengkondisian diri yang disebutkan ini selain diikhtiarkan secara sadar dan bertanggung jawab, namun serentak pula mengandung nilai keutamaan, yaitu sebagai modus pembahasaan rasa cinta mereka terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Mereka mengkondisikan diri sedemikian rupa selama hari-hari Lutu Metan karena cinta kasih yang menenun kebersamaan hidup dengan pribadi yang telah “berpulang” diakui tidak dapat dilupakan begitu saja dalam arus waktu yang bergulir.

3. 2. Mencintai Dengan Sikap Batin Dalam Upacara Kore Metan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa berbagai bentuk pengkondisian diri selama Lutu Metan dimotivisir oleh rasa cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, maka hal yang sama pun dihayati dalam Kore Metan. Kore Metan sedianya dilakukan juga sebagai ungkapan cinta yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”, yang dibahasakan secara unik dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai selama-lamanya, meskipun secara kasat mata telah terjadi setahun yang lalu. Mereka yang berpartisipasi dalam Lutu Metan ini, didorong oleh rasa cinta yang mendalam, meyakini bahwa suatu saat nanti akan ada penyatuan kembali antara mereka dan pribadi yang telah “berpulang” dalam suatu bentuk kehidupan definitif tanpa kematian sesudah kehidupan fana di dunia ini. Keyakinan ini akan membuat mereka senantiasa berkanjang dalam kerinduan dan pengharapan hingga ajal menjemput mereka untuk merealisir keyakinan tersebut.  

Hal yang diuraikan ini juga sebenarnya mau menegaskan bahwa Kore Metan yang dijalankan hakikatnya bukanlah upaya untuk memutuskan tali hubungan antara mereka yang masih hidup dengan pribadi yang sudah “berpulang”, melainkan suatu tahap di mana mereka yang masih hidup harus menerima realitas keberpisahan yang telah terjadi setahun yang lalu dengan lapang dada. Dengan dimungkinkan oleh cinta, Kore Metan pun serta merta akan menjadi ajang memupuk kerinduan dan harapan yang mengilhami penyatuan di masa depan, realitas kehidupan baru yang akan mereka alami  bersama di “dunia seberang”.

Sampai pada titik ini, jelaslah bahwa hal kematian bagi orang Timor Leste bukanlah sekedar situasi batas dramatis yang mengharukan, melainkan juga menginspirir keyakinan akan adanya kemungkinan kehidupan lain (iman akan kebangkitan) pasca kehidupan fana di muka bumi ini. Dalam tataran inilah Kore Metan memainkan peranan penting untuk menyadarkan mereka yang berkabung bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya.


IV. LUTU METAN DAN KORE METAN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KEYAKINAN IMAN KRISTEN
        Kultus perkabungan masyarakat Timor Leste yang diungkapkan dalam bentuk Lutu Metan dan Kore Metan pada dasarnya tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristen. Hal ini bisa dilihat dari dimensi utama yang mau ditekankan melalui kultus itu, yaitu sebagai modus pembahasaan cinta terhadap orang-orang yang telah meninggal.

           Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta tentunya proporsional dengan model mencinta yang luhur dalam keyakinan iman Kristen, yaitu “agape”. Secara teologis, kata ini pertama-tama dipakai untuk membahasakan cara mencinta yang dilakoni Tuhan dalam kerangka rencana penyelamatan-Nya, yang diwahyukan dalam hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Berdasarkan teladan mencinta Tuhan ini, maka manusia pun dituntut untuk berkanjang dalam cinta yang sama dalam relasi-relasinya, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama umat manusia.

Dalam tataran hidup manusiawi, “agape” itu sendiri sesungguhnya adalah kekuatan yang dapat memungkinkan dan mengubah bentuk dan cara hidup seseorang. Dengannya manusia akan dimampukan untuk bertindak secara bebas dan sengaja, dan bukan hanya merasa dalam cara tertentu saja. “Agape” ini adalah model mencinta tanpa kalkulasi untung dan rugi, diberikan secara bebas tanpa sehelai tali keterikatan dalam bentuk apa pun, penuh pengorbanan dan penyerahan diri.[1] Sebab itu, layaklah bila “agape” kemudian dilihat sebagai ikon dari segala model mencinta, yang mencontohi cara mencinta Tuhan sendiri dalam sejarah penyelamatan-Nya terhadap umat manusia.

Model mencinta seperti inilah yang kiranya juga diperlihatkan dalam kultus perkabungan masyarakat Timor Leste sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dalam aneka bentuk pengkondisian diri yang dilakoni selama Lutu Metan, mereka yang berkabung mencoba mengartikulasikan suasana batinnya, rasa cintanya yang mendalam terhadap pribadi yang telah “berpulang”. Bagi mereka, macam-macam bentuk pengkondisian diri seperti itu adalah media yang paling tepat untuk mencurahkan rasa cintanya, perasaan eksistensial yang menuntut pengungkapan terhadap orang yang dicintainya kendatipun maut telah memisahkan mereka.

Dalam sikap merelakan secara tulus ikhlas “kepergian” orang yang dicintai untuk selama-lamanya pada upacara Kore Metan, mereka yang berkabung juga sebenarnya mengungkapkan perasaan cinta yang sama dalam bentuk kesadaran, bahwa realitas “keberpisahan” itu sudah selayaknya diterima sebagai konsekuensi logis dari kefanaan hidup manusia di muka bumi ini. Dengan mengusung kesadaran semacam ini dan didorong oleh perasaan cinta, mereka juga akhirnya memaknai lebih lanjut bahwa kematian itu pada dasarnya bukanlah akhir dari segala-galanya. Atau tepatnya seperti yang acapkali diprefasikan dalam misa arwah bahwa dalam kematian “hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan”.[2] Karena itu, iman akan kebangkitan pun turut mewarnai sikap batin dalam Kore Metan. 

Berdasarkan tinjauan ini, maka bisa dikatakan bahwa Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta pada dasarnya masih mengikuti pola keyakinan iman Kristen, yaitu tentang model mencinta yang paling luhur, yaitu cinta agape dan juga keyakinan akan hidup sesudah mati sebagai “saat” beralih kepada kehidupan definitif.


V. PENUTUP
Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta dalam suasana perkabungan pada hakikatnya mau menampilkan inklusivitas cinta yang tak terbendung dalam totalitas hidup manusia. Cinta tak mengenal limit, ruang dan waktu, karena ia bermain dalam tataran kreatif eksistensi manusia. Ia hadir dan ada bersama manusia dalam keseluruhan suasana, suka maupun duka, sehingga memampukan manusia untuk bertindak dan bersikap secara tertentu.

Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta implisit tidak bertentangan dengan keyakinan iman Kristiani. Hal ini terungkap dalam dimensi yang mau ditekankan, yaitu soal pembahasaan cinta itu sendiri. Dalam Lutu Metan dan Kore Metan, masyarakat pengusung kultus perkabungan ini sebenarnya mempraktekkan model mencinta yang sangat luhur sebagaimana dihayati dalam keyakinan iman kristen, yaitu “cinta agape”. Dalam keyakinan iman Kristen, model mencinta ini sebenarnya mengikuti pola mencinta Tuhan sendiri kepada umat-Nya. “Cinta agape” itu adalah cinta yang lepas bebas, tanpa kalkulasi, dan akhirnya lebih sebagai penyerahan diri demi sesuatu nilai baik yang mau dikejar. Bermodalkan model mencinta ini, Lutu Metan dan Kore Metan pun akhirnya menginspirir iman akan kebangkitan bagi masyarakat Timor Leste sebagai saat beralih kepada kehidupan definitif, kerinduan dan harapan penyatuan di “dunia seberang”.

Demikianlah Lutu Metan dan Kore Metan sebagai modus pembahasaan cinta mewarnai praktek perkabungan dalam masyarakat Timor Leste, yang masih tetap lestari hingga kini karena jiwa utama penghayatannya terus ditradisikan dari generasi ke generasi.


       [1]W. Chang, Menggali Butir-Butir Keutamaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 89.
       [2]Konferensi Waligereja Indonesia, Tata Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar