I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, kasus perceraian terus
meningkat.[1]
Kuat disinyalir bahwa hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, yang bisa saja
tidak pernah mengemuka sebelumnya dalam proses persiapan perkawinan atau setelah
tata peneguhan perkawinan itu dilangsungkan; yang bersumber pada pihak suami
atau isteri, atau dari “pihak ketiga” lainnya yang mencampuri urusan perkawinan
kedua pasangan tersebut. Namun bagaimanapun, fakta adanya perceraiaan seperti ini
tetap memprihatinkan. Logikanya bahwa ternyata perkawinan yang telah diteguhkan
dan diakui, baik secara adat, agama, sipil dan sosial, dianggap hanya sekadar
kontrak yang punya masa berlaku tertentu sehingga bisa diputuskan kapan saja tanpa
beban moril.
Di
dalam Gereja Katolik sendiri, yang meskipun sangat menentang adanya perceraian,
kasus ini pun tak kunjung sepi dihadapi. Walaupun menolak peristilahan umum
yang biasa dipakai, yaitu “perceraian”, Gereja Katolik dalam Kitab Hukum
Kanoniknya mengenal istilah “pembatalan” perkawinan kanonik atau nullitas matrimonii. Dalam konteks studi
Hukum Gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik adalah kasus di mana perjanjian
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu tidak sah sehingga
tidak tercipta sebuah perkawinan.[2]
Sebab itu, meskipun sebuah perkawinan secara kanonik telah dilangsungkan, namun
dalam perkembangan selanjutnya bisa ditinjau kembali apabila ada pihak-pihak
tertentu yang menggugat dengan mengemukakan adanya halangan-halangan perkawinan.[3]
Dalam
paper ini, penulis hanya ingin menggumuli arti dari pembatalan perkawinan kanonik
tersebut dengan sebuah contoh kasus dan prosedur penyelesaiannya sebagai arahan.
Dengan demikian, tujuan yang mau dicapai dari pembahasan ini adalah memperluas pemahaman
tentang bagaimana mengurus proses pembatalan perkawinan kanonik tersebut berdasarkan
rujukannya pada Kitab Hukum Kanonik yang menjadi bahan utama studi Hukum
Gereja.
II. MEMAHAMI
ARTI “PEMBATALAN PERKAWINAN KANONIK”
Di dalam Kitab Hukum Kanonik tahun
1983, secara khusus diatur mengenai “Proses Perkara Perkawinan” dalam buku VII,
bagian III, judul I, atau kanon 1671 - 1707. Ada 4 macam “Proses Perkara Perkawinan”
yang disebutkan, yaitu:
a. Perkara-perkara pernyataan tidak
sahnya perkawinan (Bab I, Kan. 1671-1691)
b. Perkara-perkara perpisahan suami-isteri
(Bab II, Kan. 1692-1696)
c. Proses untuk mohon dispensasi atas
perkawinan yang belum disempurnakan dengan persetubuhan (Bab III, Kan.
1697-1706)
d. Proses tentang pengandaian kematian suami
atau isteri (Bab IV, Kan. 1707).[4]
Selain keempat macam proses perkara
perkawinan di atas, ada juga satu proses perkara perkawinan lain yang tidak diatur
dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, tetapi diatur oleh instruksi dari Kongregasi Ajaran
Iman, Ut notum, 6 Desember 1973,
Prot. No. 2717/68, yaitu tentang proses pemutusan ikatan nikah demi iman (in favorem fidei).[5]
Namun
bukan bermaksud untuk menjelaskan secara mendetail seluruh proses perkara
perkawinan di atas, pada bagian ini penulis hanya ingin memusatkan perhatian
pada “perkara-perkara pernyataan tidak sahnya perkawinan” (Bab I, Kan.
1671-1691). Menurut penulis, keberadaan kanon-kanon tersebut sebenarnya mengatur
tentang “pembatalan perkawinan kanonik”, yang sejak awal sudah dilangsungkan
secara tidak sah; bukannya mengatur tentang “perceraian suami-isteri” dari perkawinan
mereka yang sebelumnya sudah dilangsungkan secara sah tanpa halangan nikah.
Sekali
lagi perlu ditegaskan bahwa Gereja Katolik pada dasarnya menentang “perceraian
suami-isteri” dari perkawinan mereka yang sebelumnya sudah dilangsungkan secara
sah! Hal ini merujuk pada sifat-sifat perkawinan Katolik itu sendiri, yaitu
satu (unity) dan tak terceraikan (indissolubility), serta memperoleh pengukuhannya
dalam sakramen.[6] Sebab
itu, yang sebenarnya diselidiki dalam “perkara-perkara tidak sahnya perkawinan”
adalah halangan-halangan tertentu yang menyebabkan sebuah perkawinan itu secara
Katolik dianggap tidak sah sehingga bisa dibatalkan. Mungkin proses perkara
perkawinan seperti ini terkesan sama saja dengan mendukung perceraian suami-isteri.
Namun jika dipahami betul, maka logika “perceraian” dan “pembatalan” perkawinan
itu sungguh berbeda.
Pada
dasarnya istilah “perceraian” mengandung pengertian bahwa otoritas yang
menceraikan perkawinan sekadar memenuhi prosedur hukum yang sudah ditetapkan untuk
menyatakan fakta bahwa relasi suami-isteri sudah retak, pecah dan bubar, serta
tidak mungkin dipersatukan kembali. Atau dengan kata lain, logika “perceraian” bisa
dirumuskan sebagai kenyataan faktual dijadikan formal dan legal secara yuridis
melalui putusan cerai pengadilan.[7]
Sedangkan
dalam Gereja Katolik, proses “pembatalan” perkawinan hanya bisa dilakukan apabila
sudah melalui proses atau jalur yudisial, yang bukan sebagai putusan atau
kebijakan dari pemegang kuasa eksekutif atau administratif, juga bukan melalui proses
perdata lisan (Bdk. Kan. 1690), melainkan melalui putusan tribunal Gerejawi
yang berwenang. Sebab itu, “membatalkan perkawinan” berarti tribunal Gerejawi telah
menyelidiki dan menemukan kebenaran obyektif, untuk kemudian menyatakan bahwa
perkawinan itu telah diteguhkan secara tidak sah, misalnya karena ada cacat
kesepakatan, dan lain-lain.[8]
Dengan demikian, maka logika “pembatalan”
perkawinan kanonik adalah perkawinan itu terbukti tidak sah dari dalam dirinya
sendiri, dan hakim sekadar membuat putusan deklaratif yang menyatakan bahwa
perkawinan itu memang tidak sah sejak semula atas dasar cacat hukum tertentu. Berdasarkan
deklarasi pembatalan (declaratio nullitatis)
tersebut, tribunal Gerejawi sebenarnya mencari, mengabdi dengan rendah hati dan
menegaskan kebenaran substansial mengenai “awal” perkawinan yang sudah dilangsungkan
secara tidak sah, bukan mengenai “akhir” perkawinan ketika suami-isteri berselisih,
“pisah ranjang”, dan akhirnya bercerai.[9]
Jadi, proses pembatalan perkawinan kanonik tidak boleh dilakukan sekadar untuk
“meresmikan” status suami-isteri yang de
facto telah bercerai, melainkan justru untuk menunjukkan bahwa sekali kesepakatan
nikah itu dibuat secara sah, ikatan perkawinan itu harus dipertahankan dan
dibela.[10]
III. SEBUAH
CONTOH KASUS DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA
Setelah memahami arti dari
pembatalan perkawinan kanonik seperti yang dijelaskan di atas, maka pada bagian
ini penulis ingin menelaah sebuah contoh kasus yang meminta prosedur
penyelesaiannya. Namun sebelum masuk ke dalam substansi pembahasan tersebut, penulis
hanya mau menekankan bahwa jalan pikiran yang akan dikemukakan lebih sebagai arahan
menyangkut proses penanganan kasus tersebut. Kapasitas penulis di sini tak lain
adalah menerapkan kanon-kanon yang relevan dari perspektif hukum Gereja demi
penyelesaian kasus tersebut.
3. 1. Contoh
Kasus
Berikut ini adalah kutipan kasus
yang disadur dari internet, www.hukumonline.com. “Saya baru
menikah 3 bulan yang lalu. Saat ini saya hendak menceraikan suami saya karena
pernikahan saya terjadi atas paksaan dari orang tua. Mohon bantuannya, apa saja
yang harus saya siapkan? Karena suami saya bekerja di luar negeri, apakah
prosesnya akan memakan waktu yang lama? Thanks, Sazya”.[11]
3. 2. Status Questionis
Berdasarkan kasus di atas, memang
tidak disebutkan secara jelas proses perkara pekawinan macam mana yang mau
ditempuh oleh Sazya. Namun penulis merasa tertarik untuk mendalami kasus
tersebut, terutama dari konteks studi Hukum Gereja yang membahas tentang “perkara-perkara
pernyataan tidak sahnya perkawinan”. Status
questionis kasus ini bisa dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah kasus yang diangkat memiliki
alasan yang mencukupi untuk diproses dalam tribunal Gerejawi?
b. Tribunal Gerejawi macam mana yang
harus dihadapi oleh penggugat?
c. Bagaimana penggugat seharusnya mengurus
gugatannya?
d. Apakah proses gugatannya memakan
waktu yang lama karena si tergugat masih bekerja di luar negeri?
3. 3. Penerapan
Hukum Kanonik Terhadap Kasus dan Prosedur Yudisialnya
Bertolak dari status questionis yang sudah dirumuskan di atas, maka penulis coba menimbang
alasan kasus yang dikemukakan dari sudut pandang hukum kanonik dan prosedur
yudisial yang harus ditempuh oleh penggugat untuk memperoleh pelayanan kasusnya.
3. 3. 1.
Menimbang Alasan
Seperti
yang sudah dikemukakan dalam kasus tersebut, bahwa yang menjadi inti permasalahan
dalam perkawinan Sazya adalah “perkawinannya terjadi karena paksaan dari orang
tua”. Sebab itu, untuk menimbang apakah alasan ini mencukupi sebagai pernyataan
tidak sahnya perkawinan, maka perlu diterapkan beberapa kanon yang mengatur
tentang kodrat fundamental perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan, konsensus
perkawinan, dan hak perkawinan, untuk membuktikan atau menegaskan alasan ini
sebagai halangan perkawinan atau tidak.
a. Mengenai kodrat fundamental
perkawinan dalam kanon 1055,[12]
dijelaskan bahwa perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (convenant/foedus) berdasarkan pilihan bebas dari suami-isteri (tanpa
paksaan!); bahwa dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan atau persekutuan
seluruh hidup (consortium totius vitae)
yang menyatukan hidup suami-isteri secara utuh hingga akhir hayat (bukan hanya
3 bulan seperti contoh kasus!); bahwa dari kodratnya tujuan dari suatu
perkawinan adalah kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis); dan bahwa dari kodratnya perkawinan
Kristiani bersifat sakramental.[13]
b. Mengenai sifat-sifat hakiki
perkawinan dalam kanon 1056,[14]
digaris-bawahi tentang kesatuan atau monogam (unity/unitas) yang berarti seseorang hanya boleh mempunyai seorang
istri atau seorang suami; dan tak terceraikan (indissolubility) yang berarti sekali terjadi perkawinan, sifatnya
permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami-isteri sendiri)
maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Namun sehubungan dengan sifat tak
terceraikan ini, Hukum Gereja masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam
perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri, seperti perkawinan putativum (Bdk. Kan. 1060-§3), legitimum antara dua orang non-baptis, legitimum antara seorang baptis dan
seorang non-baptis, ratum (et non
consummatum), ratum et consummatum.[15]
c. Mengenai konsensus perkawinan dalam
kanon 1057,[16] ditegaskan
bahwa konsensuslah yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada
(matrimonium in fiery/marriage in the
making); pada saat para pihak saling memberi konsensus dalam perjanjian
perkawinan, pada saat itu pula dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga
yang berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse); para pihak harus tahu hukum atau mampu
menurut hukum untuk memberi konsensus perkawinan. Itu berarti mereka tidak
terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus
perkawinan (Bdk. Kan. 1095); konsensus harus dinyatakan secara legitim, menurut
norma hukum yang berlaku; dan konsensus tidak dapat diganti dengan kuasa
manusiawi manapun. Itu berarti tidak ada kuasa apapun atau pribadi manapun yang
dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang
lain.[17]
d. Mengenai hak perkawinan dalam kanon
1058,[18]
secara eksplisit dikemukakan bahwa semua orang diandaikan mempunyai hak untuk
menikah, asalkan bebas dari halangan nikah dan secara implisit, otoritas
Gerejawi yang berwenang memiliki hak untuk melarang suatu perkawinan bila ada
dasar hukumnya serta berhak pula untuk menentukan syarat-syarat, yang jika
tidak ditaati dapat meniadakan perkawinan; karena hak, maka ada kebebasan untuk
memilih perkawinan atau tidak (Bdk. Kan. 219); hak untuk menikah merupakan hak
asasi manusia yang ditanam Sang Pencipta dalam diri setiap orang sehingga tak
ada kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa seseorang untuk memasuki suatu
perkawinan (Kan. 1103); meski demikian, hak tersebut harus dilaksanakan menurut
norma hukum yang berlaku, baik sipil maupun Gereja; bila ada alasan-alasan yang
kuat, maka hukum sipil dan hukum Gereja dapat menentukan larangan-larangan tertentu
yang dapat menyebabkan suatu perkawinan tidak sah atau tidak halal (Kan.
1075-1077).[19]
Berdasarkan penerapan hukum kanonik
yang relevan di atas, maka secara intuitif bisa langsung ditegaskan bahwa gugatan
yang dikemukan oleh Sazya yang menyebut perkawinannya terjadi karena paksaan dari
orang tua pada hakikatnya memiliki alasan yang mencukupi sebagai pernyataan tidak
sahnya perkawinan.
Beberapa hal yang penulis catat sebagai
pembuktian atau penegasan melawan Hukum Perkawinan Katolik, yaitu melawan
kodrat fundamental perkawinan itu sendiri sebagai suatu perjanjian berdasarkan
pilihan bebas dari suami-isteri. Dalam kasus Sazya, perkawinan yang terjadi
bukan berdasarkan pilihan bebasnya, melainkan karena paksaan dari orang tua.
Akibatnya, baru 3 bulan berumah tangga ia menuntut kembali “pembatalan” atas
perkawinan tersebut.
Dari sudut pandang sifat-sifat
perkawinan, kategori kekukuhan perkawinan Sazya adalah putativum (putatif). Artinya perkawinan tak sah yang diteguhkan
dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Bdk. Kan. 1061-§3).
Secara hukum, perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan
ketakterceraian sama sekali. Atau dengan kata lain, jenis perkawinan ini masih
bisa digugat atau dinyatakan tidak sah apabila ada bukti-bukti yang sah dan meyakinkan.
Forum resmi untuk pembuktian itu dalam Hukum Gereja adalah Tribunal Perkawinan.
Di dalam tribunal inilah segala bukti akan diuji dan dievaluasi berdasarkan
norma hukum yang berlaku.[20]
Dari
segi konsensus perkawinan, Sazya sebenarnya hanya membuat simulasi (Bdk. Kan.
1101). Simulasi berarti ketidakcocokan antara pernyataan lahiriah dengan
kehendak sebenarnya di dalam batin. Memang dalam hubungan dengan konsensus
perkawinan, Gereja mengandaikan bahwa kehendak yang dinyatakan atau nampak
dalam kata dan perbuatan sungguh-sungguh merupakan pengungkapan kehendak
batiniah. Namun jika hal yang diandaikan Gereja tersebut tidak ada, maka
terjadilah apa yang disebut simulasi atau kesemuan. Dalam kasus Sazya, simulasi
yang membuat perkawinannya tidak sah adalah simulasi lengkap karena dirinya tidak
menghendaki perkawinan itu sendiri, melainkan hanya terpaksa karena nama baik
keluarga atau orang tua.[21]
Selain itu, yang lebih hakiki berkaitan dengan tidak adanya konsensus dalam
perkawinan Sazya, yaitu karena paksaan dari orang tua (Bdk. Kan. 1103) sehingga
menyebabkan hilangnya atau ketiadaan kehendak bebas dalam diri Sazya untuk
melangsungkan perkawinan. Padahal kehendak bebas itulah yang justru diperlukan
untuk memulai suatu perkawinan secara sah. Sebab itu, paksaan orang tua kepada Sazya
menyebabkan konsensus menjadi cacat, perkawinannya menjadi tidak sah.
Sedangkan
dari perspektif hak perkawinan, kebebasan memilih perkawinan (Bdk. Kan. 219)
dalam diri Sazya sudah dibatasi oleh kehendak orang tua. Padahal hak untuk
menikah merupakan hak asasi manusia, yang ditanam Sang Pencipta dalam diri
setiap orang, sehingga tak ada kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa
seseorang untuk memasuki suatu perkawinan (Bdk. Kan. 1103). Dengan demikian, perkawinan
yang sudah dilangsungkan Sazya dengan sendirinya cacat pula karena bukan
bersumber dari haknya, melainkan kewajiban belaka atas paksaan orang tua.
Jadi,
alasan Sazya sudah mencukupi untuk diproses di Tribunal Gerejewi yang berwenang,
yaitu Tribunal Perkawinan Instansi Pertama di tingkat keuskupan (Bdk. Kan.
1419-§1).[22]
Namun, patut dicamkan lagi bahwa fungsi tribunal ini bukanlah untuk menceraikan
atau membubarkan perkawinan Sazya, melainkan untuk memproses dan menyelidiki secara
saksama suatu perkawinan yang sudah terlanjur hancur di masa lampau, seturut
Hukum Perkawinan Gereja yang berlaku, untuk melihat apakah perkawinan tersebut memang
tidak sah karena adanya suatu halangan kanonik atau cacat konsensus atau ketiadaan
“forma canonica”. Sebab itu, gugatan Sazya masih perlu diperkuat lagi dengan
bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang bisa dipercaya. Jika belum atau tidak
ada bukti dan kesaksian yang mendukung alasan Sazya, maka keabsahan perkawinan yang
sudah terjadi harus tetap dipegang teguh sampai ada bukti kebalikannya (Bdk.
Kan. 1060).[23]
3. 3. 2. Prosedur
Yudisial
Setelah
menimbang alasan gugatan Sazya di atas, maka prosedur yudisial yang harus ditempuh
untuk proses perkara anulasi perkawinan tersebut meliputi beberapa tahap berikut:
Tahap I: Pembukaan Perkara (Kan.
1501-1525)
Tahap
ini terdiri dari beberapa sub tahapan penting, yaitu:
a. “Libellus”
atau surat gugat atau surat permohonan (Kan. 1501-1506)
Yaitu,
surat yang berisikan permohonan resmi oleh seseorang kepada Pengadilan Gerejawi
(Tribunal Perkawinan) agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya
dengan suami atau isterinya tidak sah sejak permulaan. Kanon 1504 mencatat, “Surat
gugat yang membuka pokok sengketa harus:
1°
menyatakan perkara itu diajukan ke
hadapan hakim yang mana, apa yang dimohon dan kepada siapa permohonan itu
ditujukan;
2°
menunjukkan atas hukum mana penggugat
bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum fakta dan pembuktian mana yang
membenarkan apa yang dinyatakan;
3°
ditandatangani oleh penggugat atau kuasa
hukumnya, dengan disebutkan hari, bulan dan tahun, serta tempat di mana
penggugat atau kuasa hukumnya bertempat tinggal, atau mengatakan di mana alamat
untuk menerima akta;
4° menunjukkan domisili atau kuasi-domisili
pihak tergugat.”
b. “Citatio”
atau pemanggilan (Kan. 1507-1512;1677)
Pemanggilan
biasanya dibuat dalam bentuk sepucuk surat dari tribunal atau hakim, yang
dilayangkan kepada Responden atau Tergugat (atau Wali atau Kuratornya) dengan
permintaan agar menjawab secara tertulis, atau secara pribadi menghadap ke
tribunal untuk menjawab gugatan Pemohon atau Penggugat. Hakim dapat mengatur cara
pemanggilan itu menurut norma Kan. 1508-1511. Dengan pemanggilan itu, maka
peradilan resmi dibuka dan perkara jatuh di tangan hakim yang menerima pengaduan
yang diajukan kepadanya. Akan tetapi apabila panggilan tidak dijawab oleh pihak
tergugat, maka secara hukum dianggap telah dipanggil secara legitim (Bdk. Kan. 1510)
dan karena itu, setelah 25 hari proses perkara bisa diteruskan (Bdk. Kan. 1677-§2).
c. “Contestatio
litis” atau penentuan pokok sengketa (Kan. 1513-1516;1677-§2-4)
Penentuan
pokok sengketa adalah perumusan butir-butir perselisihan oleh hakim melalui
suatu dekret berdasarkan “libellus”
pemohon dan pernyataan-pernyataan atau jawaban-jawaban kedua pihak yang
berperkara. Ada 2 cara yang biasa dipakai untuk menentukan pokok sengketa,
yaitu cara biasa oleh hakim dengan mendasarkan dekretnya pada permohonan
pemohon serta hasil wawancaranya dengan pemohon dan responden, dan cara luar
biasa di mana hakim memanggil kedua pihak yang bersengketa untuk menghadap agar
sama-sama berdiskusi hingga mencapai kesepakatan tentang perumusan pokok
sengketa.[24]
Tahap II: Pengumpulan Bukti-Bukti (Kan.
1526-1600)
Pada
tahap ini, dibicarakan mengenai bagaimana memperoleh bukti-bukti itu sendiri,
pengumuman akta perkara dan “conclusio in
causa” atau penutupan perkara berdasarkan input animadversiones defensor vinculi.
a. Bukti-bukti (Kan.
1526-1586;1678-1680)
Dalam
hukum kanonik, bukti adalah pengajuan segala argumen yang legitim kepada seorang
hakim Gerejawi untuk memperlihatkan kebenaran dari suatu hal atau fakta yang dipertentangkan,
dengan tujuan membantu hakim untuk mencapai kepastian moril sebelum menjatuhkan
putusan. Ada 2 macam bukti menurut hukum kanonik, yaitu bukti penuh (full proof) yang tak memerlukan
unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya (Bdk. Kan. 1536-§1; 1541; 1573;
1585), dan bukti semi penuh (semi full
proof) yang masih memerlukan unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya
(Bdk. Kan. 1536-§2; 1542; 1549; 1579-§1; 1586). Selain itu juga, ada 6 sumber
bukti yang dibicarakan dalam hukum kanonik, yaitu pernyataan dan pengakuan para
pihak yang berperkara (Kan. 1530-1538); dokumen-dokumen (Kan. 1539-1546); para
saksi dan kesaksiannya (Kan. 1547-1573); saksi ahli (Kan. 1574-1581;1680); kunjungan
dan inspeksi pengadilan (Kan. 1582-1583); presumsi dan pengandaian (Kan.
1584-1586).
b. Pengumuman akta perkara (Kan. 1598)
Pada
tahap ini, para pihak yang berperkara atau yang berkepentingan diberitahu dengan
suatu dekret bahwa untuk sementara pengumpulan bukti-bukti telah selesai dan
akta perkara boleh dilihat di Kantor Tribunal menurut petunjuk hakim. Pengumuman
ini dituntut oleh hukum demi sahnya akta dan proses perkara selanjutnya. Kemudian
pihak yang berperkara boleh mengajukan lagi bukti-bukti tambahan selama batas
waktu yang ditentukan dalam dekret pengumuman akta tersebut. Sesudahnya, hakim
boleh sekali lagi membuat dekret pengumuman seperti tersebut di atas.
c. “Conclusio
in causa” atau penutupan perkara (Kan. 1599-1600)
Penutupan
perkara merupakan tahap terakhir dari pengumpulan bukti-bukti. Kan. 1599-§1
menegaskan, “Selesai segala sesuatu yang menyangkut pengumpulan bukti,
sampailah pada penutupan perkara”; Kan. 1599-§3, “Mengenai penutupan perkara
itu, bagaimanapun terjadinya, hendaklah hakim membuat satu dekret”; Kan. 1600, “Sesudah
penutupan perkara, hakim masih dapat memanggil saksi-saksi yang sama atau yang
lain, atau mempertimbangkan bukti-bukti lain yang sebelumnya tidak diminta, . .
. “.
d. Animadversiones defensor vinculi (Kan. 1606)
Tugas defensor vinculi adalah membuat
catatan-catatan pembelaan dalam bentuk seperti putusan hakim, yakni uraian
fakta (in facto), uraian hukum yang
relevan (in iure), dan pembahasan fakta
berdasarkan hukum (argumentatio)
hingga kesimpulan (conclusio). Defensor vinculi juga berkewajiban
memperingatkan hakim agar putusan affirmative
baru boleh dijatuhkan setelah mencapai kepastian moril (moral certitude).[25]
Tahap III: Pembahasan Perkara (Kan. 1601-1606)
Pada awal tahap ini, hakim harus
memberi waktu secukupnya kepada para pihak yang berperkara atau lewat kuasa
hukum masing-masing untuk membuat pembelaan atau memberikan catatan-catatan
mereka (Bdk. Kan. 1601). Pembelaan, pengamatan atau catatan-catatan selalu dibuat
tertulis, kecuali hakim menilai cukup melalui perdebatan lisan saja (Bdk. Kan.
1602-§1). Namun kadang-kadang bisa dilaksanakan kedua-duanya, yakni tulisan dan
lisan (Bdk. Kan. 1604-§2). Jika pihak-pihak terkait lalai mempersiapkan atau
membuat pembelaan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan setelah mendengar promotor iustitiae dan atau defensor vinculi seturut norma kanon
1606.[26]
Tahap IV: Putusan Hakim (Kan.
1607-1655; 1681-1685)
Inilah tahap terakhir dari proses,
yang meliputi putusan definitif hakim, sanggahan terhadap putusan hakim itu, mandatory review (tinjauan wajib) demi
hukum oleh Tribunal Instansi (Tingkat) II sebagai pengadilan banding (Bdk. Kan.
1682), dan eksekusi (pelaksanaan) putusan. Apabila dalam pengadilan Tingkat II
itu tidak ditemukan kekeliruan, maka pengadilan Tingkat II dapat mengukuhkan
putusan affirmative pengadilan
tingkat I dengan sebuah putusan baru lagi atau cukup dengan suatu dekret pengukuhan
atau konfirmasi. Dengan demikian, para pihak yang berperkara dibebaskan dari
ikatan perkawinan tersebut dan bebas pula untuk memasuki perkawinan baru kalau
tidak dilarang hukum (Kan. 1684).[27]
3. 3. 3.
Titik Simpul
Setelah menyimak seluruh pembahasan
di atas, mulai dari menimbang masalah hingga prosedur yudisialnya, maka bisa dilihat
betapa rumitnya proses pembatalan perkawinan kanonik dalam konteks Hukum Gereja
Katolik. Kerumitan tersebut dengan sendirinya menegaskan bahwa diperlukan waktu
yang lama untuk mengurus proses pembatalan tersebut. Selain itu, biaya
finansial pun sangat dibutuhkan. Apalagi dalam kasus Sazya, sang suami sedang
bekerja di luar negeri, maka sangat diperlukan biaya perjalanan bagi hakim untuk
mengunjungi pihak tergugat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk
dimintai keterangan terkait pernyataan tidak sahnya perkawinan seperti yang
dikemukakan dalam alasan permohonan perkara perkawinan. Dengan demikian, kesabaran
dalam urusan semacam ini merupakan sebuah keniscayaan karena pengakuan Gereja
atas tidak sahnya perkawinan yang sudah dilangsungkan sebelumnya mesti dilihat
sebagai “rahmat Allah” yang dianugerahkan, bukannya sebagai “hak” yang secara instant bisa dituntut atau diperoleh
dari Gereja.
IV. CATATAN
KRITIS
Kasus pembatalan perkawinan kanonik sebagaimana
yang sudah dibahas merupakan kasus khusus dalam proses perkara perkawinan
Katolik. Pembatalan atau anulasi tersebut lebih dikarenakan oleh adanya halangan
atau pernyataan tidak sahnya perkawinan sejak awal, bukan pada akhir setelah
terjadinya percecokan suami istri.
Belajar
dari kasus Sazya yang meminta cerai karena menganggap perkawinannya terjadi
atas paksaan orang tua, maka bisa dicatat beberapa hal berikut yang patut
diperhatikan oleh para agen pastoral dalam membimbing proses persiapan
perkawinan Katolik atau pun “mengawalnya” setelah perkawinan Katolik itu
dilangsungkan secara sah.
Pertama, hendaknya para agen pastoral secara serius memberikan
kursus persiapan perkawinan Katolik kepada calon suami-isteri, dengan
membeberkan segala hal praktis yang berhubungan dengan Hukum Perkawinan Katolik
seperti tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik. Baik pula jika ditegaskan sejak
awal kepada calon suami-isteri bahwa perkawinan Katolik yang sudah
dilangsungkan secara sah menurut hukum kanonik tidak bisa diceraikan atau
dibatalkan lagi sesudahnya. Hal ini tentu mengandaikan pula bahwa para agen
pastoral memiliki pemahaman yang memadai tentang Hukum Perkawinan Katolik sehingga
mampu menjelaskannya secara kredibel.
Kedua, para agen pastoral juga harus serius dalam melakukan
penyelidikan kanonik untuk menyatakan bahwa calon suami-isteri bebas dari
halangan apapun untuk melangsungkan perkawinan secara Katolik. Atau jika yang ditemukan
adalah hal sebaliknya, maka sejak dini para agen pastoral perlu mencegah bahaya
terjadinya perkawinan yang tidak sah.
Ketiga, selain menuntut para agen pastoral di lapangan agar serius
menangani urusan persiapan perkawinan Katolik, sangat diharapkan pula bahwa
para hakim Tribunal Gerejawi, khususnya Tribunal Perkawinan, memiliki kerelaan
hati untuk turun ke lapangan pada kesempatan-kesempatan kursus persiapan
perkawinan untuk menjelaskan hal-hal fundamental menyangkut Hukum Perkawinan
Katolik. Para hakim tribunal juga bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mensharingkan
pengalamannya sehubungan dengan penanganan proses perkara perkawinan yang terjadi,
serta memberikan masukan atau arahan seperlunya bagi para agen pastoral di lapangan
agar melakukan tindakan pencegahan terhadap bahaya terjadinya perkawinan yang
tidak sah menurut Hukum Gereja.
Keempat, akhirnya sangat mendesak bagi setiap paroki untuk membentuk
sebuah seksi atau panitia rujuk kembali bagi suami-isteri yang bermasalah atau
mengalami keretakan dalam hidup rumah tangga. Seksi atau panitia ini harus berkapasitas
untuk membela dan mempertahankan perkawinan Katolik dari bahaya tuntutan
perceraian atau pembatalan yang akhir-akhir ini marak terjadi di kalangan pasangan
muda suami-isteri. Seksi atau panitia ini sebaiknya diketuai oleh seorang imam
dan beranggotakan beberapa pasangan suami-isteri yang memiliki peri hidup baik di
dalam masyarakat. Dengan demikian, tindakan pencegahan terhadap terjadinya
perceraian atau pembatalan perkawinan kanonik menjadi tanggung jawab semua
pihak, imam atau agen pastoral dan seluruh umat yang telah memilih hidup
perkawinan secara Katolik.
Itulah
beberapa sari penting pemikiran yang kiranya bisa menjadi input bernilai bagi
semua pihak yang berkepentingan, demi membela dan mendukung terciptanya perkawinan
Katolik yang sah dan konsekuen sesuai hukum kanonik yang berlaku.
V. PENUTUP
Membaca seluruh alur paper ini, maka
sebagai kesimpulan penulis hanya mau menegaskan insight yang diperoleh bahwa kehendak pria dan wanita untuk
melangsungkan perkawinan secara Katolik semestinya dipertimbangkan dan dipersiapkan
secara matang, terutama demi sahnya perkawinan yang monogam dan tak terceraikan
lagi. Itu berarti, secara fundamental sangat dituntut agar calon suami-isteri memiliki
kehendak bebas untuk mengadakan perjanjian demi kesejahteraan hidup perkawinan mereka
sendiri yang dikukuhkan dengan sakramen; calon pasangan nikah semestinya menyadari
kelayakan bahwa mereka “bebas dari” halangan-halangan nikah sebagaimana yang
diatur dalam hukum kanonik sehingga “bebas untuk” memperoleh pula peneguhan
perkawinan secara kanonik.
Jadi, belajar dari kasus Sazya yang
menuntut pembatalan perkawinan kanoniknya, penulis berpendapat bahwa sebenarnya
juga yang menggagalkan atau membuat tidak sahnya perkawinan tersebut adalah dirinya
sendiri yang tidak berkehendak bebas untuk mengadakan penjanjian perkawinan;
meskipun disebutkan alasan yang mengemuka kemudian adalah karena paksaan dari
orang tua. Sebab itu, memahami rumitnya proses pembatalan perkawinan kanonik seperti
yang diuraikan, beserta lamanya waktu dan membutuhkan biaya finansial yang begitu
banyak untuk mengurusnya, maka kasus ini bisa dijadikan contoh oleh para agen
pastoral dalam menyadarkan para calon pasangan suami-isteri untuk mempersiapkan
diri secara matang sebelum melangsungkan perkawinan secara Katolik.
[1]Menurut statistik PBB,
60% perkawinan di Indonesia diceraikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Teks dan
Komentar (Malang: Dioma, 2005), p. 163.
[2]Jalan
Allah Jakarta, “Hukum Gereja, Kasus-Kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik (Nullitas Matrimonii), (Online), (http://www.jalanallah.com/berita-1502-hukum-gereja-kasuskasus-pembatalan-perkawinan-kanonik-nullitas-matrimonii.html?PHPSESSID=8309bde181fc0970145c2c9d34c31075), diakses tanggal 25 Mei
2012.
[3]“Halangan perkawinan
atau nikah” adalah halangan yang membuat perkawinan menjadi tidak sah,
menjadikan seorang tidak mampu melangsungkan pernikahan secara sah (Bdk. Kan.
1073). Halangan-halangan itu bisa bersifat publik, artinya dapat dibuktikan dalam
tata lahir dengan kesaksian atau dokumen, dan bersifat tersembunyi, artinya tidak
bisa dibuktikan dengan dokumen atau kesaksian, namun pada akhirnya bisa menjadi
publik apabila ditemukan adanya kesaksian (Bdk. Kan. 1074). Sebagaimana dikutip
oleh Piet Go, Op. Cit., pp. 56-57.
[4]FXS. Purwaharsanto, Pedoman dan Perangkat Pelayanan Kasus
Perkawinan Gerejawi (Yogyakarta: Kanisius, 1995), p. 9. Bdk. juga V. Kartosiswoyo,
dkk. (Tim Penterj.), Kitab Hukum
Kanonik-Codex Iuris Canonici (Jakarta: Obor, 1991), pp. 458-468.
[6]Bdk. Kan. 1056, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim
Penterj.), Op. Cit., p. 304.
[7]Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik
(Malang: Dioma, 2006), p. 107.
[10]Mengutip pernyataan Paus
Yohanes Paulus II, dalam Ibid.
[11]Klinik
Hukum Online, “Menikah Karena Paksaan Orang Tua”, (Online), (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d2bd7b8089b6/menikah-karena-paksaan-orang-tua),
diakses tanggal 25 Mei 2012.
[12]Bdk. Kan. 1055, Ҥ1. Dengan
perjanjian perkawinan, pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan
seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan
suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan,
perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dbaptis diangkat ke martabat
Sakramen; §2. Karena itu, antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada
kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim
Penterj.), Loc. Cit.
[13]Bdk. Benyamin Yosef
Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik
Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Kajian dan Penerapannya, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2010), pp. 39-40.
[14]Bdk. Kan. 1056, “Sifat-sifat
hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan
Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim
Penterj.), Loc. Cit.
[15]Bdk. Benyamin Yosef
Bria, Op. Cit., pp. 40-41.
[16]Bdk. Kan. 1057, Ҥ1. Kesepakatan
antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim
membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi
manapun; §2. Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan
wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan
perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”,
dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.
[17]Bdk. Benyamin Yosef
Bria, Op. Cit., pp. 42.
[18]Bdk. Kan. 1058, “Semua
orang yang tidak dilarang hukum dapat menikah”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar