Selasa, 19 Maret 2013

STUDI HUKUM GEREJA: “PEMBATALAN PERKAWINAN KANONIK” Dengan Sebuah Contoh Kasus dan Prosedur Penyelesaiannya



I. PENDAHULUAN
        Dewasa ini, kasus perceraian terus meningkat.[1] Kuat disinyalir bahwa hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, yang bisa saja tidak pernah mengemuka sebelumnya dalam proses persiapan perkawinan atau setelah tata peneguhan perkawinan itu dilangsungkan; yang bersumber pada pihak suami atau isteri, atau dari “pihak ketiga” lainnya yang mencampuri urusan perkawinan kedua pasangan tersebut. Namun bagaimanapun, fakta adanya perceraiaan seperti ini tetap memprihatinkan. Logikanya bahwa ternyata perkawinan yang telah diteguhkan dan diakui, baik secara adat, agama, sipil dan sosial, dianggap hanya sekadar kontrak yang punya masa berlaku tertentu sehingga bisa diputuskan kapan saja tanpa beban moril.
            Di dalam Gereja Katolik sendiri, yang meskipun sangat menentang adanya perceraian, kasus ini pun tak kunjung sepi dihadapi. Walaupun menolak peristilahan umum yang biasa dipakai, yaitu “perceraian”, Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanoniknya mengenal istilah “pembatalan” perkawinan kanonik atau nullitas matrimonii. Dalam konteks studi Hukum Gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan.[2] Sebab itu, meskipun sebuah perkawinan secara kanonik telah dilangsungkan, namun dalam perkembangan selanjutnya bisa ditinjau kembali apabila ada pihak-pihak tertentu yang menggugat dengan mengemukakan adanya halangan-halangan perkawinan.[3]
            Dalam paper ini, penulis hanya ingin menggumuli arti dari pembatalan perkawinan kanonik tersebut dengan sebuah contoh kasus dan prosedur penyelesaiannya sebagai arahan. Dengan demikian, tujuan yang mau dicapai dari pembahasan ini adalah memperluas pemahaman tentang bagaimana mengurus proses pembatalan perkawinan kanonik tersebut berdasarkan rujukannya pada Kitab Hukum Kanonik yang menjadi bahan utama studi Hukum Gereja.

II. MEMAHAMI ARTI “PEMBATALAN PERKAWINAN KANONIK”
         Di dalam Kitab Hukum Kanonik tahun 1983, secara khusus diatur mengenai “Proses Perkara Perkawinan” dalam buku VII, bagian III, judul I, atau kanon 1671 - 1707. Ada 4 macam “Proses Perkara Perkawinan” yang disebutkan, yaitu:
a.       Perkara-perkara pernyataan tidak sahnya perkawinan (Bab I, Kan. 1671-1691)
b.      Perkara-perkara perpisahan suami-isteri (Bab II, Kan. 1692-1696)
c.     Proses untuk mohon dispensasi atas perkawinan yang belum disempurnakan dengan persetubuhan (Bab III, Kan. 1697-1706)
d.      Proses tentang pengandaian kematian suami atau isteri (Bab IV, Kan. 1707).[4]
Selain keempat macam proses perkara perkawinan di atas, ada juga satu proses perkara perkawinan lain yang tidak diatur dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, tetapi diatur oleh instruksi dari Kongregasi Ajaran Iman, Ut notum, 6 Desember 1973, Prot. No. 2717/68, yaitu tentang proses pemutusan ikatan nikah demi iman (in favorem fidei).[5]
            Namun bukan bermaksud untuk menjelaskan secara mendetail seluruh proses perkara perkawinan di atas, pada bagian ini penulis hanya ingin memusatkan perhatian pada “perkara-perkara pernyataan tidak sahnya perkawinan” (Bab I, Kan. 1671-1691). Menurut penulis, keberadaan kanon-kanon tersebut sebenarnya mengatur tentang “pembatalan perkawinan kanonik”, yang sejak awal sudah dilangsungkan secara tidak sah; bukannya mengatur tentang “perceraian suami-isteri” dari perkawinan mereka yang sebelumnya sudah dilangsungkan secara sah tanpa halangan nikah.
            Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Gereja Katolik pada dasarnya menentang “perceraian suami-isteri” dari perkawinan mereka yang sebelumnya sudah dilangsungkan secara sah! Hal ini merujuk pada sifat-sifat perkawinan Katolik itu sendiri, yaitu satu (unity) dan tak terceraikan (indissolubility), serta memperoleh pengukuhannya dalam sakramen.[6] Sebab itu, yang sebenarnya diselidiki dalam “perkara-perkara tidak sahnya perkawinan” adalah halangan-halangan tertentu yang menyebabkan sebuah perkawinan itu secara Katolik dianggap tidak sah sehingga bisa dibatalkan. Mungkin proses perkara perkawinan seperti ini terkesan sama saja dengan mendukung perceraian suami-isteri. Namun jika dipahami betul, maka logika “perceraian” dan “pembatalan” perkawinan itu sungguh berbeda.
        Pada dasarnya istilah “perceraian” mengandung pengertian bahwa otoritas yang menceraikan perkawinan sekadar memenuhi prosedur hukum yang sudah ditetapkan untuk menyatakan fakta bahwa relasi suami-isteri sudah retak, pecah dan bubar, serta tidak mungkin dipersatukan kembali. Atau dengan kata lain, logika “perceraian” bisa dirumuskan sebagai kenyataan faktual dijadikan formal dan legal secara yuridis melalui putusan cerai pengadilan.[7]
            Sedangkan dalam Gereja Katolik, proses “pembatalan” perkawinan hanya bisa dilakukan apabila sudah melalui proses atau jalur yudisial, yang bukan sebagai putusan atau kebijakan dari pemegang kuasa eksekutif atau administratif, juga bukan melalui proses perdata lisan (Bdk. Kan. 1690), melainkan melalui putusan tribunal Gerejawi yang berwenang. Sebab itu, “membatalkan perkawinan” berarti tribunal Gerejawi telah menyelidiki dan menemukan kebenaran obyektif, untuk kemudian menyatakan bahwa perkawinan itu telah diteguhkan secara tidak sah, misalnya karena ada cacat kesepakatan, dan lain-lain.[8]
Dengan demikian, maka logika “pembatalan” perkawinan kanonik adalah perkawinan itu terbukti tidak sah dari dalam dirinya sendiri, dan hakim sekadar membuat putusan deklaratif yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang tidak sah sejak semula atas dasar cacat hukum tertentu. Berdasarkan deklarasi pembatalan (declaratio nullitatis) tersebut, tribunal Gerejawi sebenarnya mencari, mengabdi dengan rendah hati dan menegaskan kebenaran substansial mengenai “awal” perkawinan yang sudah dilangsungkan secara tidak sah, bukan mengenai “akhir” perkawinan ketika suami-isteri berselisih, “pisah ranjang”, dan akhirnya bercerai.[9] Jadi, proses pembatalan perkawinan kanonik tidak boleh dilakukan sekadar untuk “meresmikan” status suami-isteri yang de facto telah bercerai, melainkan justru untuk menunjukkan bahwa sekali kesepakatan nikah itu dibuat secara sah, ikatan perkawinan itu harus dipertahankan dan dibela.[10]           
III. SEBUAH CONTOH KASUS DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA
            Setelah memahami arti dari pembatalan perkawinan kanonik seperti yang dijelaskan di atas, maka pada bagian ini penulis ingin menelaah sebuah contoh kasus yang meminta prosedur penyelesaiannya. Namun sebelum masuk ke dalam substansi pembahasan tersebut, penulis hanya mau menekankan bahwa jalan pikiran yang akan dikemukakan lebih sebagai arahan menyangkut proses penanganan kasus tersebut. Kapasitas penulis di sini tak lain adalah menerapkan kanon-kanon yang relevan dari perspektif hukum Gereja demi penyelesaian kasus tersebut.

3. 1. Contoh Kasus
        Berikut ini adalah kutipan kasus yang disadur dari internet, www.hukumonline.com. Saya baru menikah 3 bulan yang lalu. Saat ini saya hendak menceraikan suami saya karena pernikahan saya terjadi atas paksaan dari orang tua. Mohon bantuannya, apa saja yang harus saya siapkan? Karena suami saya bekerja di luar negeri, apakah prosesnya akan memakan waktu yang lama? Thanks, Sazya”.[11]

3. 2. Status Questionis
            Berdasarkan kasus di atas, memang tidak disebutkan secara jelas proses perkara pekawinan macam mana yang mau ditempuh oleh Sazya. Namun penulis merasa tertarik untuk mendalami kasus tersebut, terutama dari konteks studi Hukum Gereja yang membahas tentang “perkara-perkara pernyataan tidak sahnya perkawinan”. Status questionis kasus ini bisa dirumuskan sebagai berikut:
a.       Apakah kasus yang diangkat memiliki alasan yang mencukupi untuk diproses dalam tribunal Gerejawi?
b.      Tribunal Gerejawi macam mana yang harus dihadapi oleh penggugat?
c.       Bagaimana penggugat seharusnya mengurus gugatannya?
d.      Apakah proses gugatannya memakan waktu yang lama karena si tergugat masih bekerja di luar negeri?

3. 3. Penerapan Hukum Kanonik Terhadap Kasus dan Prosedur Yudisialnya
            Bertolak dari status questionis yang sudah dirumuskan di atas, maka penulis coba menimbang alasan kasus yang dikemukakan dari sudut pandang hukum kanonik dan prosedur yudisial yang harus ditempuh oleh penggugat untuk memperoleh pelayanan kasusnya.

3. 3. 1. Menimbang Alasan
          Seperti yang sudah dikemukakan dalam kasus tersebut, bahwa yang menjadi inti permasalahan dalam perkawinan Sazya adalah “perkawinannya terjadi karena paksaan dari orang tua”. Sebab itu, untuk menimbang apakah alasan ini mencukupi sebagai pernyataan tidak sahnya perkawinan, maka perlu diterapkan beberapa kanon yang mengatur tentang kodrat fundamental perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan, konsensus perkawinan, dan hak perkawinan, untuk membuktikan atau menegaskan alasan ini sebagai halangan perkawinan atau tidak.
a.                            Mengenai kodrat fundamental perkawinan dalam kanon 1055,[12] dijelaskan bahwa perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (convenant/foedus) berdasarkan pilihan bebas dari suami-isteri (tanpa paksaan!); bahwa dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan atau persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae) yang menyatukan hidup suami-isteri secara utuh hingga akhir hayat (bukan hanya 3 bulan seperti contoh kasus!); bahwa dari kodratnya tujuan dari suatu perkawinan adalah kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis); dan bahwa dari kodratnya perkawinan Kristiani bersifat sakramental.[13]
b.                          Mengenai sifat-sifat hakiki perkawinan dalam kanon 1056,[14] digaris-bawahi tentang kesatuan atau monogam (unity/unitas) yang berarti seseorang hanya boleh mempunyai seorang istri atau seorang suami; dan tak terceraikan (indissolubility) yang berarti sekali terjadi perkawinan, sifatnya permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami-isteri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Namun sehubungan dengan sifat tak terceraikan ini, Hukum Gereja masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri, seperti perkawinan putativum (Bdk. Kan. 1060-§3), legitimum antara dua orang non-baptis, legitimum antara seorang baptis dan seorang non-baptis, ratum (et non consummatum), ratum et consummatum.[15]
c.          Mengenai konsensus perkawinan dalam kanon 1057,[16] ditegaskan bahwa konsensuslah yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fiery/marriage in the making); pada saat para pihak saling memberi konsensus dalam perjanjian perkawinan, pada saat itu pula dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse); para pihak harus tahu hukum atau mampu menurut hukum untuk memberi konsensus perkawinan. Itu berarti mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Bdk. Kan. 1095); konsensus harus dinyatakan secara legitim, menurut norma hukum yang berlaku; dan konsensus tidak dapat diganti dengan kuasa manusiawi manapun. Itu berarti tidak ada kuasa apapun atau pribadi manapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.[17]    
d.                           Mengenai hak perkawinan dalam kanon 1058,[18] secara eksplisit dikemukakan bahwa semua orang diandaikan mempunyai hak untuk menikah, asalkan bebas dari halangan nikah dan secara implisit, otoritas Gerejawi yang berwenang memiliki hak untuk melarang suatu perkawinan bila ada dasar hukumnya serta berhak pula untuk menentukan syarat-syarat, yang jika tidak ditaati dapat meniadakan perkawinan; karena hak, maka ada kebebasan untuk memilih perkawinan atau tidak (Bdk. Kan. 219); hak untuk menikah merupakan hak asasi manusia yang ditanam Sang Pencipta dalam diri setiap orang sehingga tak ada kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa seseorang untuk memasuki suatu perkawinan (Kan. 1103); meski demikian, hak tersebut harus dilaksanakan menurut norma hukum yang berlaku, baik sipil maupun Gereja; bila ada alasan-alasan yang kuat, maka hukum sipil dan hukum Gereja dapat menentukan larangan-larangan tertentu yang dapat menyebabkan suatu perkawinan tidak sah atau tidak halal (Kan. 1075-1077).[19]   
Berdasarkan penerapan hukum kanonik yang relevan di atas, maka secara intuitif bisa langsung ditegaskan bahwa gugatan yang dikemukan oleh Sazya yang menyebut perkawinannya terjadi karena paksaan dari orang tua pada hakikatnya memiliki alasan yang mencukupi sebagai pernyataan tidak sahnya perkawinan.
Beberapa hal yang penulis catat sebagai pembuktian atau penegasan melawan Hukum Perkawinan Katolik, yaitu melawan kodrat fundamental perkawinan itu sendiri sebagai suatu perjanjian berdasarkan pilihan bebas dari suami-isteri. Dalam kasus Sazya, perkawinan yang terjadi bukan berdasarkan pilihan bebasnya, melainkan karena paksaan dari orang tua. Akibatnya, baru 3 bulan berumah tangga ia menuntut kembali “pembatalan” atas perkawinan tersebut.
Dari sudut pandang sifat-sifat perkawinan, kategori kekukuhan perkawinan Sazya adalah putativum (putatif). Artinya perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Bdk. Kan. 1061-§3). Secara hukum, perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali. Atau dengan kata lain, jenis perkawinan ini masih bisa digugat atau dinyatakan tidak sah apabila ada bukti-bukti yang sah dan meyakinkan. Forum resmi untuk pembuktian itu dalam Hukum Gereja adalah Tribunal Perkawinan. Di dalam tribunal inilah segala bukti akan diuji dan dievaluasi berdasarkan norma hukum yang berlaku.[20]   
       Dari segi konsensus perkawinan, Sazya sebenarnya hanya membuat simulasi (Bdk. Kan. 1101). Simulasi berarti ketidakcocokan antara pernyataan lahiriah dengan kehendak sebenarnya di dalam batin. Memang dalam hubungan dengan konsensus perkawinan, Gereja mengandaikan bahwa kehendak yang dinyatakan atau nampak dalam kata dan perbuatan sungguh-sungguh merupakan pengungkapan kehendak batiniah. Namun jika hal yang diandaikan Gereja tersebut tidak ada, maka terjadilah apa yang disebut simulasi atau kesemuan. Dalam kasus Sazya, simulasi yang membuat perkawinannya tidak sah adalah simulasi lengkap karena dirinya tidak menghendaki perkawinan itu sendiri, melainkan hanya terpaksa karena nama baik keluarga atau orang tua.[21] Selain itu, yang lebih hakiki berkaitan dengan tidak adanya konsensus dalam perkawinan Sazya, yaitu karena paksaan dari orang tua (Bdk. Kan. 1103) sehingga menyebabkan hilangnya atau ketiadaan kehendak bebas dalam diri Sazya untuk melangsungkan perkawinan. Padahal kehendak bebas itulah yang justru diperlukan untuk memulai suatu perkawinan secara sah. Sebab itu, paksaan orang tua kepada Sazya menyebabkan konsensus menjadi cacat, perkawinannya menjadi tidak sah.
            Sedangkan dari perspektif hak perkawinan, kebebasan memilih perkawinan (Bdk. Kan. 219) dalam diri Sazya sudah dibatasi oleh kehendak orang tua. Padahal hak untuk menikah merupakan hak asasi manusia, yang ditanam Sang Pencipta dalam diri setiap orang, sehingga tak ada kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa seseorang untuk memasuki suatu perkawinan (Bdk. Kan. 1103). Dengan demikian, perkawinan yang sudah dilangsungkan Sazya dengan sendirinya cacat pula karena bukan bersumber dari haknya, melainkan kewajiban belaka atas paksaan orang tua.
          Jadi, alasan Sazya sudah mencukupi untuk diproses di Tribunal Gerejewi yang berwenang, yaitu Tribunal Perkawinan Instansi Pertama di tingkat keuskupan (Bdk. Kan. 1419-§1).[22] Namun, patut dicamkan lagi bahwa fungsi tribunal ini bukanlah untuk menceraikan atau membubarkan perkawinan Sazya, melainkan untuk memproses dan menyelidiki secara saksama suatu perkawinan yang sudah terlanjur hancur di masa lampau, seturut Hukum Perkawinan Gereja yang berlaku, untuk melihat apakah perkawinan tersebut memang tidak sah karena adanya suatu halangan kanonik atau cacat konsensus atau ketiadaan “forma canonica”. Sebab itu, gugatan Sazya masih perlu diperkuat lagi dengan bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang bisa dipercaya. Jika belum atau tidak ada bukti dan kesaksian yang mendukung alasan Sazya, maka keabsahan perkawinan yang sudah terjadi harus tetap dipegang teguh sampai ada bukti kebalikannya (Bdk. Kan. 1060).[23]      

3. 3. 2. Prosedur Yudisial
            Setelah menimbang alasan gugatan Sazya di atas, maka prosedur yudisial yang harus ditempuh untuk proses perkara anulasi perkawinan tersebut meliputi beberapa tahap berikut:

Tahap I: Pembukaan Perkara (Kan. 1501-1525)
            Tahap ini terdiri dari beberapa sub tahapan penting, yaitu:
a.       Libellus” atau surat gugat atau surat permohonan (Kan. 1501-1506)
Yaitu, surat yang berisikan permohonan resmi oleh seseorang kepada Pengadilan Gerejawi (Tribunal Perkawinan) agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya dengan suami atau isterinya tidak sah sejak permulaan. Kanon 1504 mencatat, “Surat gugat yang membuka pokok sengketa harus:
menyatakan perkara itu diajukan ke hadapan hakim yang mana, apa yang dimohon dan kepada siapa permohonan itu ditujukan;
menunjukkan atas hukum mana penggugat bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum fakta dan pembuktian mana yang membenarkan apa yang dinyatakan;
ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya, dengan disebutkan hari, bulan dan tahun, serta tempat di mana penggugat atau kuasa hukumnya bertempat tinggal, atau mengatakan di mana alamat untuk menerima akta;
menunjukkan domisili atau kuasi-domisili pihak tergugat.”
b.      Citatio” atau pemanggilan (Kan. 1507-1512;1677)
Pemanggilan biasanya dibuat dalam bentuk sepucuk surat dari tribunal atau hakim, yang dilayangkan kepada Responden atau Tergugat (atau Wali atau Kuratornya) dengan permintaan agar menjawab secara tertulis, atau secara pribadi menghadap ke tribunal untuk menjawab gugatan Pemohon atau Penggugat. Hakim dapat mengatur cara pemanggilan itu menurut norma Kan. 1508-1511. Dengan pemanggilan itu, maka peradilan resmi dibuka dan perkara jatuh di tangan hakim yang menerima pengaduan yang diajukan kepadanya. Akan tetapi apabila panggilan tidak dijawab oleh pihak tergugat, maka secara hukum dianggap telah dipanggil secara legitim (Bdk. Kan. 1510) dan karena itu, setelah 25 hari proses perkara bisa diteruskan (Bdk. Kan. 1677-§2).   
c.       Contestatio litis” atau penentuan pokok sengketa (Kan. 1513-1516;1677-§2-4)
Penentuan pokok sengketa adalah perumusan butir-butir perselisihan oleh hakim melalui suatu dekret berdasarkan “libellus” pemohon dan pernyataan-pernyataan atau jawaban-jawaban kedua pihak yang berperkara. Ada 2 cara yang biasa dipakai untuk menentukan pokok sengketa, yaitu cara biasa oleh hakim dengan mendasarkan dekretnya pada permohonan pemohon serta hasil wawancaranya dengan pemohon dan responden, dan cara luar biasa di mana hakim memanggil kedua pihak yang bersengketa untuk menghadap agar sama-sama berdiskusi hingga mencapai kesepakatan tentang perumusan pokok sengketa.[24]

Tahap II: Pengumpulan Bukti-Bukti (Kan. 1526-1600)
            Pada tahap ini, dibicarakan mengenai bagaimana memperoleh bukti-bukti itu sendiri, pengumuman akta perkara dan “conclusio in causa” atau penutupan perkara berdasarkan input animadversiones defensor vinculi.
a.       Bukti-bukti (Kan. 1526-1586;1678-1680)
Dalam hukum kanonik, bukti adalah pengajuan segala argumen yang legitim kepada seorang hakim Gerejawi untuk memperlihatkan kebenaran dari suatu hal atau fakta yang dipertentangkan, dengan tujuan membantu hakim untuk mencapai kepastian moril sebelum menjatuhkan putusan. Ada 2 macam bukti menurut hukum kanonik, yaitu bukti penuh (full proof) yang tak memerlukan unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya (Bdk. Kan. 1536-§1; 1541; 1573; 1585), dan bukti semi penuh (semi full proof) yang masih memerlukan unsur-unsur lain untuk menguatkan kebenarannya (Bdk. Kan. 1536-§2; 1542; 1549; 1579-§1; 1586). Selain itu juga, ada 6 sumber bukti yang dibicarakan dalam hukum kanonik, yaitu pernyataan dan pengakuan para pihak yang berperkara (Kan. 1530-1538); dokumen-dokumen (Kan. 1539-1546); para saksi dan kesaksiannya (Kan. 1547-1573); saksi ahli (Kan. 1574-1581;1680); kunjungan dan inspeksi pengadilan (Kan. 1582-1583); presumsi dan pengandaian (Kan. 1584-1586).  
b.      Pengumuman akta perkara (Kan. 1598)
Pada tahap ini, para pihak yang berperkara atau yang berkepentingan diberitahu dengan suatu dekret bahwa untuk sementara pengumpulan bukti-bukti telah selesai dan akta perkara boleh dilihat di Kantor Tribunal menurut petunjuk hakim. Pengumuman ini dituntut oleh hukum demi sahnya akta dan proses perkara selanjutnya. Kemudian pihak yang berperkara boleh mengajukan lagi bukti-bukti tambahan selama batas waktu yang ditentukan dalam dekret pengumuman akta tersebut. Sesudahnya, hakim boleh sekali lagi membuat dekret pengumuman seperti tersebut di atas.
c.       Conclusio in causa” atau penutupan perkara (Kan. 1599-1600)
Penutupan perkara merupakan tahap terakhir dari pengumpulan bukti-bukti. Kan. 1599-§1 menegaskan, “Selesai segala sesuatu yang menyangkut pengumpulan bukti, sampailah pada penutupan perkara”; Kan. 1599-§3, “Mengenai penutupan perkara itu, bagaimanapun terjadinya, hendaklah hakim membuat satu dekret”; Kan. 1600, “Sesudah penutupan perkara, hakim masih dapat memanggil saksi-saksi yang sama atau yang lain, atau mempertimbangkan bukti-bukti lain yang sebelumnya tidak diminta, . . . “.
d.      Animadversiones defensor vinculi (Kan. 1606)
Tugas defensor vinculi adalah membuat catatan-catatan pembelaan dalam bentuk seperti putusan hakim, yakni uraian fakta (in facto), uraian hukum yang relevan (in iure), dan pembahasan fakta berdasarkan hukum (argumentatio) hingga kesimpulan (conclusio). Defensor vinculi juga berkewajiban memperingatkan hakim agar putusan affirmative baru boleh dijatuhkan setelah mencapai kepastian moril (moral certitude).[25]
 
Tahap III: Pembahasan Perkara (Kan. 1601-1606)
Pada awal tahap ini, hakim harus memberi waktu secukupnya kepada para pihak yang berperkara atau lewat kuasa hukum masing-masing untuk membuat pembelaan atau memberikan catatan-catatan mereka (Bdk. Kan. 1601). Pembelaan, pengamatan atau catatan-catatan selalu dibuat tertulis, kecuali hakim menilai cukup melalui perdebatan lisan saja (Bdk. Kan. 1602-§1). Namun kadang-kadang bisa dilaksanakan kedua-duanya, yakni tulisan dan lisan (Bdk. Kan. 1604-§2). Jika pihak-pihak terkait lalai mempersiapkan atau membuat pembelaan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan setelah mendengar promotor iustitiae dan atau defensor vinculi seturut norma kanon 1606.[26]

Tahap IV: Putusan Hakim (Kan. 1607-1655; 1681-1685)
Inilah tahap terakhir dari proses, yang meliputi putusan definitif hakim, sanggahan terhadap putusan hakim itu, mandatory review (tinjauan wajib) demi hukum oleh Tribunal Instansi (Tingkat) II sebagai pengadilan banding (Bdk. Kan. 1682), dan eksekusi (pelaksanaan) putusan. Apabila dalam pengadilan Tingkat II itu tidak ditemukan kekeliruan, maka pengadilan Tingkat II dapat mengukuhkan putusan affirmative pengadilan tingkat I dengan sebuah putusan baru lagi atau cukup dengan suatu dekret pengukuhan atau konfirmasi. Dengan demikian, para pihak yang berperkara dibebaskan dari ikatan perkawinan tersebut dan bebas pula untuk memasuki perkawinan baru kalau tidak dilarang hukum (Kan. 1684).[27]    

3. 3. 3. Titik Simpul
            Setelah menyimak seluruh pembahasan di atas, mulai dari menimbang masalah hingga prosedur yudisialnya, maka bisa dilihat betapa rumitnya proses pembatalan perkawinan kanonik dalam konteks Hukum Gereja Katolik. Kerumitan tersebut dengan sendirinya menegaskan bahwa diperlukan waktu yang lama untuk mengurus proses pembatalan tersebut. Selain itu, biaya finansial pun sangat dibutuhkan. Apalagi dalam kasus Sazya, sang suami sedang bekerja di luar negeri, maka sangat diperlukan biaya perjalanan bagi hakim untuk mengunjungi pihak tergugat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk dimintai keterangan terkait pernyataan tidak sahnya perkawinan seperti yang dikemukakan dalam alasan permohonan perkara perkawinan. Dengan demikian, kesabaran dalam urusan semacam ini merupakan sebuah keniscayaan karena pengakuan Gereja atas tidak sahnya perkawinan yang sudah dilangsungkan sebelumnya mesti dilihat sebagai “rahmat Allah” yang dianugerahkan, bukannya sebagai “hak” yang secara instant bisa dituntut atau diperoleh dari Gereja.     

IV. CATATAN KRITIS
            Kasus pembatalan perkawinan kanonik sebagaimana yang sudah dibahas merupakan kasus khusus dalam proses perkara perkawinan Katolik. Pembatalan atau anulasi tersebut lebih dikarenakan oleh adanya halangan atau pernyataan tidak sahnya perkawinan sejak awal, bukan pada akhir setelah terjadinya percecokan suami istri.
          Belajar dari kasus Sazya yang meminta cerai karena menganggap perkawinannya terjadi atas paksaan orang tua, maka bisa dicatat beberapa hal berikut yang patut diperhatikan oleh para agen pastoral dalam membimbing proses persiapan perkawinan Katolik atau pun “mengawalnya” setelah perkawinan Katolik itu dilangsungkan secara sah.
Pertama, hendaknya para agen pastoral secara serius memberikan kursus persiapan perkawinan Katolik kepada calon suami-isteri, dengan membeberkan segala hal praktis yang berhubungan dengan Hukum Perkawinan Katolik seperti tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik. Baik pula jika ditegaskan sejak awal kepada calon suami-isteri bahwa perkawinan Katolik yang sudah dilangsungkan secara sah menurut hukum kanonik tidak bisa diceraikan atau dibatalkan lagi sesudahnya. Hal ini tentu mengandaikan pula bahwa para agen pastoral memiliki pemahaman yang memadai tentang Hukum Perkawinan Katolik sehingga mampu menjelaskannya secara kredibel.
Kedua, para agen pastoral juga harus serius dalam melakukan penyelidikan kanonik untuk menyatakan bahwa calon suami-isteri bebas dari halangan apapun untuk melangsungkan perkawinan secara Katolik. Atau jika yang ditemukan adalah hal sebaliknya, maka sejak dini para agen pastoral perlu mencegah bahaya terjadinya perkawinan yang tidak sah.
Ketiga, selain menuntut para agen pastoral di lapangan agar serius menangani urusan persiapan perkawinan Katolik, sangat diharapkan pula bahwa para hakim Tribunal Gerejawi, khususnya Tribunal Perkawinan, memiliki kerelaan hati untuk turun ke lapangan pada  kesempatan-kesempatan kursus persiapan perkawinan untuk menjelaskan hal-hal fundamental menyangkut Hukum Perkawinan Katolik. Para hakim tribunal juga bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mensharingkan pengalamannya sehubungan dengan penanganan proses perkara perkawinan yang terjadi, serta memberikan masukan atau arahan seperlunya bagi para agen pastoral di lapangan agar melakukan tindakan pencegahan terhadap bahaya terjadinya perkawinan yang tidak sah menurut Hukum Gereja.
Keempat, akhirnya sangat mendesak bagi setiap paroki untuk membentuk sebuah seksi atau panitia rujuk kembali bagi suami-isteri yang bermasalah atau mengalami keretakan dalam hidup rumah tangga. Seksi atau panitia ini harus berkapasitas untuk membela dan mempertahankan perkawinan Katolik dari bahaya tuntutan perceraian atau pembatalan yang akhir-akhir ini marak terjadi di kalangan pasangan muda suami-isteri. Seksi atau panitia ini sebaiknya diketuai oleh seorang imam dan beranggotakan beberapa pasangan suami-isteri yang memiliki peri hidup baik di dalam masyarakat. Dengan demikian, tindakan pencegahan terhadap terjadinya perceraian atau pembatalan perkawinan kanonik menjadi tanggung jawab semua pihak, imam atau agen pastoral dan seluruh umat yang telah memilih hidup perkawinan secara Katolik.
           Itulah beberapa sari penting pemikiran yang kiranya bisa menjadi input bernilai bagi semua pihak yang berkepentingan, demi membela dan mendukung terciptanya perkawinan Katolik yang sah dan konsekuen sesuai hukum kanonik yang berlaku.   

V. PENUTUP
          Membaca seluruh alur paper ini, maka sebagai kesimpulan penulis hanya mau menegaskan insight yang diperoleh bahwa kehendak pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan secara Katolik semestinya dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang, terutama demi sahnya perkawinan yang monogam dan tak terceraikan lagi. Itu berarti, secara fundamental sangat dituntut agar calon suami-isteri memiliki kehendak bebas untuk mengadakan perjanjian demi kesejahteraan hidup perkawinan mereka sendiri yang dikukuhkan dengan sakramen; calon pasangan nikah semestinya menyadari kelayakan bahwa mereka “bebas dari” halangan-halangan nikah sebagaimana yang diatur dalam hukum kanonik sehingga “bebas untuk” memperoleh pula peneguhan perkawinan secara kanonik.
Jadi, belajar dari kasus Sazya yang menuntut pembatalan perkawinan kanoniknya, penulis berpendapat bahwa sebenarnya juga yang menggagalkan atau membuat tidak sahnya perkawinan tersebut adalah dirinya sendiri yang tidak berkehendak bebas untuk mengadakan penjanjian perkawinan; meskipun disebutkan alasan yang mengemuka kemudian adalah karena paksaan dari orang tua. Sebab itu, memahami rumitnya proses pembatalan perkawinan kanonik seperti yang diuraikan, beserta lamanya waktu dan membutuhkan biaya finansial yang begitu banyak untuk mengurusnya, maka kasus ini bisa dijadikan contoh oleh para agen pastoral dalam menyadarkan para calon pasangan suami-isteri untuk mempersiapkan diri secara matang sebelum melangsungkan perkawinan secara Katolik.


[1]Menurut statistik PBB, 60% perkawinan di Indonesia diceraikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Teks dan Komentar (Malang: Dioma, 2005), p. 163.
[2]Jalan Allah Jakarta, “Hukum Gereja, Kasus-Kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik (Nullitas Matrimonii), (Online), (http://www.jalanallah.com/berita-1502-hukum-gereja-kasuskasus-pembatalan-perkawinan-kanonik-nullitas-matrimonii.html?PHPSESSID=8309bde181fc0970145c2c9d34c31075), diakses tanggal 25 Mei 2012.  
[3]“Halangan perkawinan atau nikah” adalah halangan yang membuat perkawinan menjadi tidak sah, menjadikan seorang tidak mampu melangsungkan pernikahan secara sah (Bdk. Kan. 1073). Halangan-halangan itu bisa bersifat publik, artinya dapat dibuktikan dalam tata lahir dengan kesaksian atau dokumen, dan bersifat tersembunyi, artinya tidak bisa dibuktikan dengan dokumen atau kesaksian, namun pada akhirnya bisa menjadi publik apabila ditemukan adanya kesaksian (Bdk. Kan. 1074). Sebagaimana dikutip oleh Piet Go, Op. Cit., pp. 56-57.
[4]FXS. Purwaharsanto, Pedoman dan Perangkat Pelayanan Kasus Perkawinan Gerejawi (Yogyakarta: Kanisius, 1995), p. 9. Bdk. juga V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Kitab Hukum Kanonik-Codex Iuris Canonici (Jakarta: Obor, 1991), pp. 458-468.   
[5]Ibid., p. 21.
[6]Bdk. Kan. 1056, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Op. Cit., p. 304.
[7]Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006), p. 107.
[8]Ibid.
[9]Ibid., p. 108.
[10]Mengutip pernyataan Paus Yohanes Paulus II, dalam Ibid.  
[11]Klinik Hukum Online, “Menikah Karena Paksaan Orang Tua”, (Online), (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d2bd7b8089b6/menikah-karena-paksaan-orang-tua), diakses tanggal 25 Mei 2012.
[12]Bdk. Kan. 1055, “§1. Dengan perjanjian perkawinan, pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dbaptis diangkat ke martabat Sakramen; §2. Karena itu, antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.
[13]Bdk. Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Kajian dan Penerapannya, Edisi Revisi (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2010), pp. 39-40.  
[14]Bdk. Kan. 1056, “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.   
[15]Bdk. Benyamin Yosef Bria, Op. Cit., pp. 40-41.
[16]Bdk. Kan. 1057, “§1. Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; §2. Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.    
[17]Bdk. Benyamin Yosef Bria, Op. Cit., pp. 42.  
[18]Bdk. Kan. 1058, “Semua orang yang tidak dilarang hukum dapat menikah”, dalam V. Kartosiswoyo, dkk. (Tim Penterj.), Loc. Cit.   
 [19]Bdk. Benyamin Yosef Bria, Op. Cit., pp. 43.   
[20]Ibid., pp. 44-45.
[21]Ibid., p.69.
[22]Ibid., p. 160.
[23]Ibid., p. 161.
[24]Ibid., pp. 162-170.
[25]Ibid., pp. 171-181.
[26]Ibid., pp. 182-183.
[27]Ibid., pp. 183-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar