Selasa, 19 Maret 2013

TUJUAN MENGHALALKAN CARA DAN BAHAYA LEGITIMASI KEKUASAAN


1. PENDAHULUAN
Aforisma “Tujuan Menghalalkan Cara” dalam doktrin politik Niccollo Machiavelli pada hakikatnya memperguncingkan sebuah strategi “jitu” yang bisa dipakai oleh para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Aforisma ini mengandung di dalam dirinya benih-benih legitimasi terhadap segala bentuk penggunaan cara untuk menggapai suatu tujuan. Tetapi dalam tataran ini apabila kita mau berpikir lebih interogatif, maka kita akan menuai di sana suatu kenyataan yang ambiguitif. Maksudnya bahwa di satu sisi, penguasa dengan segala hak preoregatif serta privelesenya bisa saja memaksakan suatu tujuan yang baik dengan menggunakan cara yang buruk, atau sebaliknya penguasa bisa memaksakan suatu tujuan yang buruk dengan menggunakan cara yang baik untuk mengelabui opini publik sehingga tidak mempersoalkan tujuan yang buruk itu. Dalam hal ini, secara intuitif kita bisa saja memajukan sebuah tese negatif tentang pengaruh aforisma ini bagi para penguasa yang mengusungnya dalam menjalankan kekuasaan, yaitu bahwa mereka akan bertindak semena-mena demi suatu tujuan yang mereka gagaskan untuk digapai. “Tujuan” dan “cara” itu bisa saja baik dan juga bisa saja buruk sesuai selera penguasa itu sendiri.
Namun, untuk tidak melenceng jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Niccollo Machiavelli tentang doktrin politiknya itu, maka dalam bahasan berikut penulis akan mengetengahkan terlebih dahulu ide pokok Machiavelli tentang apa itu “Tujuan Menghalalkan Cara”. Dengan memahami inti pikiran pokoknya, maka akan lebih mudah bagi kita untuk merekomendasikan kritik sebagai bahan pertimbangan terhadap aforisma ini dalam dunia kehidupan berpolitik dewasa ini.    


2. IDE POKOK “TUJUAN MENGHALALKAN CARA” DALAM DOKTRIN POLITIK NICCOLLO MACHIAVELLI
Niccollo Machiavelli dalam bukunya The Prince (Sang Penguasa) menggariskan suatu preskripsi untuk para penguasa tentang bagaimana seharusnya menata sebuah negara dengan sukses sebagai upaya untuk mendapatkan kekuasaan. Machiavelli sangat kasar dalam menerapkan strategi-strategi yang bisa dipakai oleh penguasa. Baginya kekejaman bisa dilakukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Penguasa tidak harus memakai keimanannya ketika melakukan hal itu karena akan menghancurkan kepentingannya dan Ia juga tidak harus belajar menjadi baik.[1] Sebab itu, Machiavelli juga menambahkan bahwa “seorang penguasa tidak perlu khawatir jika ia dibenci karena kekejamannya, selama ia membuat rakyatnya bersatu dan tunduk…”.[2] 
Praksis politik Niccollo Machiavelli ini secara umum disebut sebagai Machiavellisme, yaitu mentalitas yang diarahkan kepada perebutan dan pelestarian kekuasaan demi kekuasaan melalui penggunaan sarana apa saja, dan melalui kekuasaan yang sewenang-wenang atas manusia dan situasi.[3] Machiavelli lebih berminat pada tindakan-tindakan nyata dengan pedoman-pedoman operasional yang langsung dapat diterapkan secara spontan karena sense of urgency (desakan keadaan). Dengan demikian, bagi Machiavelli “persoalan kekuasaan yang diutamakan bukannya soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari”. Ia meyakini bahwa kekuasaan itu baik dan bahwa kekuasaan harus dicari dan dinikmati, bersama dengan kemasyuran, reputasi dan kehormatan.[4]  
Inilah garis besar pemikiran Niccollo Machiaveli dalam bidang politik yang melahirkan aforisma paradoksal “Tujuan Menghalalkan Cara” yang bisa diterapkan oleh para penguasa pada masanya dan juga dapat digeneralisir hingga zaman ini sebagai sebuah doktrin politik yang arogan.

3. KRITIK ATAS AFORISMA “TUJUAN MENGHALALKAN CARA” ALA NICCOLLO MACHIAVELLI SEBAGAI SEBUAH DOKTRIN POLITIK YANG AROGAN UNTUK DUNIA KEHIDUPAN DEWASA INI
Aforisma “Tujuan Menghalalkan Cara” dalam doktrin politik Niccollo Machiavelli seyogyanya harus dikritisi oleh setiap orang, terutama oleh para penguasa yang ingin mengusungnya sebagai visi dasar dalam menjalankan kekuasaannya. Alasan mendasar yang bisa dimajukan sebagai bahan kritik, yaitu bahwa aforisma ini mengandung di dalam dirinya benih-benih legitimasi terhadap segala bentuk “tujuan” dan penggunaan “cara” yang bisa dipaksakan oleh para penguasa secara semena-mena terhadap rakyatnya. Kebenaran dari bahan kritik ini secara sederhana bisa terbaca dalam tataran makna hurufiah di mana sangat ambiguitif karena in se tidak memiliki preferensi yang jelas tentang “tujuan” dan “cara” yang dimaksudkan. Oleh karena itu tentu saja dalam “kaca mata awam” kita, aforisma ini sangat membingungkan dan bisa ditafsir negatif sebagaimana yang sudah penulis paparkan dalam pendahuluan tentang kontradiktorisitas aforisma ini.
Namun terlepas dari tafsiran subyektif-intuitif di atas dan setelah menyelami ide pemikiran Niccollo Machiavelli tentang gagasan dasar “Tujuan Menghalalkan Cara” yang direkomendasikan sebagai doktrin politiknya itu, maka semakin menjadi jelas bagi kita bahwa aforisma ini hakikatnya bertendensi sangat negatif. Mengapa? Karena jelas di sana, Niccollo Machiavelli sangat mendukung penggunaan media “kekejaman” untuk memuluskan upaya menggapai sebuah tujuan. Para penguasa seakan-akan dianjurkan untuk tidak “malu-malu” menggunakan kekuasaannya dalam memerintah. Kekejaman dihalalkan asalkan menurut selera penguasa kekejaman itu baik adanya demi mempertahankan atau melestarikan kekuasaannya. Sebab itu, aforisma ini boleh dikatakan hanya didasarkan atas aktus spontanitas tanpa suatu pertimbangan akal yang sehat berdasarkan prinsip kebijaksanaan yang adil, benar dan beradab.
Berhadapan dengan kesadaran manusia yang semakin maju dengan tingkat peradaban yang tinggi dalam segala aspek esensil kehidupan dewasa ini, maka secara khusus nilai etis aforisma ini sebenarnya sudah out of date. Kita juga tentu terheran-heran bila mengingat kembali ungkapan Romawi Kuno yang berbunyi si vis pacem para bellum, bila anda ingin damai bersiaplah untuk perang. Ungkapan ini sebenarnya tidak jauh dari praksis politik Niccollo Machiavelli yang berusaha menghalalkan cara melalui kekuasaan secara semena-mena terhadap manusia dan situasi untuk menggapai suatu tujuan. Kita tahu bahwa jalan perang atau kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk memecahkan setiap perselisihan atau konflik. Bukankah jalan kekerasan atau kekejaman justru hanya akan menimbulkan banyak korban dan terus mengundang rasa benci dan dendam, permusuhan terus-menerus yang berujung pada kehancuran? Hal ini sudah jelas tak bisa disangkal lagi karena kita bisa menemukan bukti-buktinya dan sejarah telah mencatatnya.[5] Misalnya, pemerintahan rezim Orde Baru yang pernah berkuasa di Indonesia secara militeristik dan arogan sehingga akhirnya “ditumbangkan” oleh warga negaranya sendiri karena tidak sesuai lagi dengan semangat global yang anti kekerasan.
Lebih lanjut, aforisma paradoksal Niccollo Machiavelli ini pun patut diantisipasi apabila masih ada orang yang begitu bergairah mau mengusungnya sebagai visi dasar dalam hidupnya. Barangkali tidaklah berlebihan bila penulis sedikit mencerca doktrin politik ini sebab di sana jelas dianjurkan oleh Machiavelli bahwa dalam bertindak seorang penguasa tidak perlu memakai keimanannya dan legitimasi moral atas perbuatannya. Hal ini sangat arogan dan menakutkan karena sang penguasa tentu saja bisa sangat brutal dalam menjalankan kekuasaannya. Penguasa seakan dianjurkan untuk menuruti selera pribadinya dan instink spontanitasnya seperti binatang karena tanpa pertimbangan akal sehat dan perhelatan refleksi tentang baik atau buruk tindakannya. Dalam tataran ini, penulis sependapat dengan gagasan St. Thomas Aquinas yang berusaha menggariskan penilaian dasariah tentang tanggung jawab manusia. Manusia seharusnya bertindak ke arah yang baik dan tidak bertindak ke arah yang jahat. Perintah moral paling dasar yang perlu dicamkan oleh manusia adalah “lakukan yang baik dan jangan lakukan yang jahat!” (Bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum).[6] Dengan demikian, manusia secara global, khususnya para penguasa seharusnya memajukan dalam skala prioritas tindakannnya pertimbangan moral yang bersumber pada keimanannya tentang apa yang baik dan apa yang buruk secara obyektif. Dengan mengusung perintah moral paling dasar ini, maka aforisma “tujuan menghalalkan cara” ala Niccollo Machiavelli ini bisa dianulir, diabrogasi sebagai aforisma paradoksal yang terlampau arogan dalam dunia kehidupan dewasa ini.


4. PENUTUP
            Aforisma “Tujuan Menghalalkan Cara” a la Niccollo Machiavelli sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan kritik yang sudah penulis majukan sebagai bahan pertimbangan tentunya merupakan sebuah telaah yang bermain dalam tataran kecemasan tentang bahaya aforisma ini. Penulis secara gamblang memajukan tese bahwa aforisma ini mengandung dalam dirinya benih-benih legitimasi terhadap segala bentuk “tujuan” dan penggunaan “cara” yang bisa saja melahirkan aneka penyimpangan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat global dewasa ini. Di sini ada bahaya yang signifikan bahwa para pengusung aforisma ini akan sangat arogan dalam kehidupannya. Segala bentuk pertimbangan akal sehat direduksi kepada aktus spontanitas berdasarkan selera pribadi. Ironis bila hal ini masih terjadi dalam dunia kehidupan kita dewasa ini.
            Akhir kata, sebagai bahan perhelatan refleksi lebih lanjut, maka adalah baik bagi kita untuk menyadari kenyataan tentang “kekuasaan tanpa kekerasan” yang pernah direkomendasikan dan dipraktekkan dengan sukses oleh Mahatma Gandhi (1869-1948) ketika menghadapi penjajahan Inggris. Bila banyak orang mempunyai pandangan dan sikap seperti yang dimiliki oleh Gandhi, maka bukanlah mustahil segala bentuk penderitaan akan semakin berkurang. Atau sekurang-kurangnya, kita berharap semoga semakin banyak orang, khususnya orang-orang yang memegang puncuk pimpinan mengikuti jejak Gandhi dengan “satyagrahanya”. Satyagraha, ahimsa untuk jaman sekarang masih tetap relevan sebagai kekuasaan moral, kekuasaan tandingan untuk membendung segala jenis dan cara kekuasaan yang menghancurkan.[7]    

 











    


       [1]Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Yang Menggerakkan, penterj. I. Ma’mur dan M. Ali (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), p. 62. 
       [2]Ibid. Mengutip Machiavelli, The Prince, Bab 17.
       [3]F. Ceunfin, Sejarah Pemikiran Modern I (Maumere: Ledalero, 2003), p. 33. 
       [4]N. Machiavelli, Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik, red. M. Sastrapratedja dan F. M. Parera (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), p. xxix-xxx.
       [5]I. M. Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p. 97.
       [6]F. Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  p. 86. Mengutip Summa Theologiae I/II, 94, 2.
       [7]I. M. Windhu, Op. Cit., p. 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar