Selasa, 19 Maret 2013

“DIRAHMATI SUPAYA MERAHMATI” (Sebuah Refleksi Atas Makna Rahmat Dalam Hidup)



Penggunaan kata Rahmat dalam lingkup pembicaraan sehari-hari acapkali tidak disertai dengan pemahaman yang memadai atasnya. Sebagai contoh, sebelum mengikuti perkuliahan Teologi Rahmat, saya memahami Rahmat hanya sekadar kebaikan yang diterima; setiap bentuk perbuatan baik yang dilakukan sesama terhadapku, itulah yang dinamakan Rahmat dari Tuhan. Sedangkan penderitaan atau kesusahan, saya artikulasikan sebagai situasi atau keadaan tanpa Rahmat. Dengan demikian, soal adanya Rahmat atau tanpa Rahmat itu bergantung pada pengalaman pribadi yang dirasakan dalam persentuhan dengan realitas.    
            Selain mengusung pemahaman di atas, saya juga mengerti Rahmat sebagai imbalan jasa yang patut diterima dari Tuhan karena perbuatan baik tertentu yang telah saya kerjakan. Dalam pengertian ini, saya mengurung arti Rahmat seolah-olah sebagai hak tertentu yang wajib dibayar Tuhan kepada saya berdasarkan kebaikan yang telah saya perbuat. Akibatnya, apabila hak itu tidak diberikan, atau diganti dengan suasana lain, maka saya menganggap adanya keburukan sedang menimpa diri saya. Tentu untuk memvonis Tuhan sebagai yang tidak adil saya tak kuasa mengungkapkannya. Namun saya meyakini saja bahwa di balik suasana tanpa Rahmat atau keburukan tersebut, Rahmat yang sesungguhnya tetap ada dan pasti akan diperoleh pada suatu saat nanti.
          Itulah sekilas alur pemahaman saya tentang Rahmat yang pada satu sisi hanya menekankan soal kebaikan yang diterima dan pada sisi lain menganggapnya sebagai hak yang patut diberikan Tuhan karena perbuatan baik tertentu yang telah saya kerjakan.
            Namun setelah menggumuli banyak bahan bacaan dan terutama belajar memahami apa itu Rahmat menurut para Teolog Kristen serta menurut ajaran Gereja, saya akhirnya memurnikan pemahaman bahwa Rahmat itu sebenarnya adalah perkara sikap Allah yang positif terhadap manusia tanpa mengandaikan terlebih dahulu kebaikan atau keburukan yang dikandung dalam diri umatNya. Dalam tataran ini, Rahmat itu ada bukan karena laku baik atau buruk manusia sehingga Allah perlu membalasnya secara setimpal, melainkan dari keabadian merupakan anugerah cuma-cuma (gratuitas) dari Allah; Allah sendirilah yang berinisiatif untuk memberikan Rahmat itu kepada manusia tanpa perhitungan. Dengan demikian, jelaslah di sini bahwa kategori Rahmat adalah bagian dari pemenuhan janji Allah sendiri, yaitu kasihNya yang tak berhingga atas manusia untuk “mengampuni”, “menyembuhkan”, “mengangkat” dan “membebaskan”. Sebab itu sebagai subyek penerima Rahmat, manusia sebenarnya hanya bisa mensyukuri anugerah gratis tersebut untuk membarui diri; bukannya mempersoalkan Rahmat sebagai hak atau jasa yang harus dibayar Allah atas sejumlah perbuatan baiknya.  
Dengan menyadari hakikat Rahmat yang berasal utama dari Allah seperti ini, maka saya pun menepis prapemahaman yang diusung dan mulai berbicara tentang bahasa Rahmat dalam koridor imperatif kategoris untuk mentransformasi sikap Allah yang positif itu dalam sosialitas hidup. Bagi saya, aksentuasi penting di sini adalah  “karena Allah terlebih dahulu menaruh sikap positif terhadap saya, maka saya pun berkewajiban untuk menaruh sikap positif terhadap sesama dan lingkungan hidup di sekitar saya”. Atau dalam bahasa permenungan ini saya rumuskan dalam kalimat, “Saya Dirahmati Supaya Merahmati”. Penalaran logis atas kesadaran eksistensial semacam ini bisa dipetakan sebagai berikut:.
Pertama, karena Rahmat itu adalah anugerah cuma-cuma dari Allah, maka saya sebagai subyek penerima Rahmat berkesadaran bahwa kodrat saya yang sebelumnya rapuh karena dosa telah “diampuni”, “disembuhkan”, “diangkat”, dan “dibebaskan” oleh Allah sendiri sehingga saya tetap layak disebut anak Allah. Dalam tataran ini saya memandang diri sebagai pribadi yang sungguh “dirahmati” oleh sikap positif Allah.
Kedua, setelah berkesadaran bahwa saya adalah pribadi yang sungguh “dirahmati”, maka imperatif kategoris berikut adalah saya pun berkewajiban untuk “merahmati” yang lain. Dalam pengertian ini, saya bukan lagi memahami diri sebagai pribadi yang hanya patut menerima Rahmat saja, melainkan juga sebagai pribadi yang berkeharusan menyalurkan Rahmat Allah itu kepada sesama dan lingkungan hidup di sekitar saya. Jadi, Rahmat Allah yang telah saya terima tidak bisa tidak sekaligus berdaya “mengampuni”, “menyembuhkan”, “mengangkat”, dan “membebaskan” dalam sosialitas hidup saya. Itulah akibat Rahmat yang harus meresap ke dalam diri dan patut diekspresikan ke luar diri sebagai tanda syukur atas sikap positif Allah yang terlebih dahulu mengasihi saya.
            Jadi, hasil pembelajaran yang saya peroleh setelah menekuni perkuliahan Teologi Rahmat adalah berkesadaran sebagai pribadi yang sungguh “Dirahmati Supaya Merahmati”. Itulah titik balik pola pandang saya tentang Rahmat dan untuk selanjutnya berkewajiban membahasakannya secara tepat dalam sosialitas hidup ini.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar