Penggunaan
kata Rahmat dalam lingkup pembicaraan sehari-hari acapkali tidak disertai
dengan pemahaman yang memadai atasnya. Sebagai contoh, sebelum mengikuti
perkuliahan Teologi Rahmat, saya memahami Rahmat hanya sekadar kebaikan yang diterima;
setiap bentuk perbuatan baik yang dilakukan sesama terhadapku, itulah yang dinamakan
Rahmat dari Tuhan. Sedangkan penderitaan atau kesusahan, saya artikulasikan
sebagai situasi atau keadaan tanpa Rahmat. Dengan demikian, soal adanya Rahmat
atau tanpa Rahmat itu bergantung pada pengalaman pribadi yang dirasakan dalam
persentuhan dengan realitas.
Selain mengusung pemahaman di atas,
saya juga mengerti Rahmat sebagai imbalan jasa yang patut diterima dari Tuhan
karena perbuatan baik tertentu yang telah saya kerjakan. Dalam pengertian ini, saya
mengurung arti Rahmat seolah-olah sebagai hak tertentu yang wajib dibayar Tuhan
kepada saya berdasarkan kebaikan yang telah saya perbuat. Akibatnya, apabila
hak itu tidak diberikan, atau diganti dengan suasana lain, maka saya menganggap
adanya keburukan sedang menimpa diri saya. Tentu untuk memvonis Tuhan sebagai yang
tidak adil saya tak kuasa mengungkapkannya. Namun saya meyakini saja bahwa di
balik suasana tanpa Rahmat atau keburukan tersebut, Rahmat yang sesungguhnya tetap
ada dan pasti akan diperoleh pada suatu saat nanti.
Itulah sekilas alur pemahaman saya
tentang Rahmat yang pada satu sisi hanya menekankan soal kebaikan yang diterima
dan pada sisi lain menganggapnya sebagai hak yang patut diberikan Tuhan karena
perbuatan baik tertentu yang telah saya kerjakan.
Namun setelah menggumuli banyak
bahan bacaan dan terutama belajar memahami apa itu Rahmat menurut para Teolog Kristen
serta menurut ajaran Gereja, saya akhirnya memurnikan pemahaman bahwa Rahmat
itu sebenarnya adalah perkara sikap Allah yang positif terhadap manusia tanpa mengandaikan
terlebih dahulu kebaikan atau keburukan yang dikandung dalam diri umatNya. Dalam
tataran ini, Rahmat itu ada bukan karena laku baik atau buruk manusia sehingga
Allah perlu membalasnya secara setimpal, melainkan dari keabadian merupakan
anugerah cuma-cuma (gratuitas) dari
Allah; Allah sendirilah yang berinisiatif untuk memberikan Rahmat itu kepada
manusia tanpa perhitungan. Dengan demikian, jelaslah di sini bahwa kategori
Rahmat adalah bagian dari pemenuhan janji Allah sendiri, yaitu kasihNya yang
tak berhingga atas manusia untuk “mengampuni”, “menyembuhkan”, “mengangkat” dan
“membebaskan”. Sebab itu sebagai subyek penerima Rahmat, manusia sebenarnya
hanya bisa mensyukuri anugerah gratis tersebut untuk membarui diri; bukannya
mempersoalkan Rahmat sebagai hak atau jasa yang harus dibayar Allah atas
sejumlah perbuatan baiknya.
Dengan
menyadari hakikat Rahmat yang berasal utama dari Allah seperti ini, maka saya
pun menepis prapemahaman yang diusung dan mulai berbicara tentang bahasa Rahmat
dalam koridor imperatif kategoris untuk mentransformasi sikap Allah yang
positif itu dalam sosialitas hidup. Bagi saya, aksentuasi penting di sini
adalah “karena Allah terlebih dahulu
menaruh sikap positif terhadap saya, maka saya pun berkewajiban untuk menaruh
sikap positif terhadap sesama dan lingkungan hidup di sekitar saya”. Atau dalam
bahasa permenungan ini saya rumuskan dalam kalimat, “Saya Dirahmati Supaya
Merahmati”. Penalaran logis atas kesadaran eksistensial semacam ini bisa
dipetakan sebagai berikut:.
Pertama, karena
Rahmat itu adalah anugerah cuma-cuma dari Allah, maka saya sebagai subyek penerima
Rahmat berkesadaran bahwa kodrat saya yang sebelumnya rapuh karena dosa telah “diampuni”,
“disembuhkan”, “diangkat”, dan “dibebaskan” oleh Allah sendiri sehingga saya tetap
layak disebut anak Allah. Dalam tataran ini saya memandang diri sebagai pribadi
yang sungguh “dirahmati” oleh sikap positif Allah.
Kedua, setelah
berkesadaran bahwa saya adalah pribadi yang sungguh “dirahmati”, maka imperatif
kategoris berikut adalah saya pun berkewajiban untuk “merahmati” yang lain. Dalam
pengertian ini, saya bukan lagi memahami diri sebagai pribadi yang hanya patut menerima
Rahmat saja, melainkan juga sebagai pribadi yang berkeharusan menyalurkan Rahmat
Allah itu kepada sesama dan lingkungan hidup di sekitar saya. Jadi, Rahmat
Allah yang telah saya terima tidak bisa tidak sekaligus berdaya “mengampuni”, “menyembuhkan”,
“mengangkat”, dan “membebaskan” dalam sosialitas hidup saya. Itulah akibat
Rahmat yang harus meresap ke dalam diri dan patut diekspresikan ke luar diri
sebagai tanda syukur atas sikap positif Allah yang terlebih dahulu mengasihi
saya.
Jadi, hasil pembelajaran yang saya
peroleh setelah menekuni perkuliahan Teologi Rahmat adalah berkesadaran
sebagai pribadi yang sungguh “Dirahmati Supaya Merahmati”. Itulah titik balik
pola pandang saya tentang Rahmat dan untuk selanjutnya berkewajiban
membahasakannya secara tepat dalam sosialitas hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar