I.
Pendahuluan
Persoalan
mengenai “Gereja mandiri” dewasa ini mulai hangat dibicarakan dalam berbagai
agenda pertemuan Gereja Lokal di Indonesia, baik itu di tingkat keuskupan,
paroki, stasi, lingkungan maupun di komunitas basis. Prioritas-prioritas yang
mau dicapai antara lain menyangkut kemandirian di bidang iman, personal dan
finansial.[1]
Pada tahun 2011 yang
lalu, Gereja di Indonesia memang telah merayakan pesta emas, 50 tahun, hirarki
episkopalnya. Itu berarti terhitung sejak tahun 1961, Gereja di Indonesia sudah
tidak bergantung lagi kepada “Gereja Misi”, yang sebelumnya dilayani oleh para
misionaris asing. Namun di penghujung refleksinya pada tahun 2011, Konferensi
Wali Gereja Indonesia masih menyisakan pertanyaan reflektif untuk dijawab oleh Gereja-Gerjea Lokal di
Indonesia, “Sudah sejauh mana kita memaknai pemberian wewenang ini untuk memacu
kemandirian kita sebagai Gereja Indonesia dalam segala segi kehidupan
menggereja di tanah air tercinta ini?”[2]
Bertolak dari latar belakang wacana dan pertanyaan reflektif
di atas, maka melalui tulisan ini saya coba membahas tentang realitas Gereja
Mandiri yang sudah diupayakan di Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng,
Keuskupan Ruteng. Kerangka pembahasan ini sesuai dengan pengalaman penulis saat
menjalankan praktek pastoral (TOP) di paroki tersebut pada tahun 2010, sambil
dibimbing dengan inspirasi biblis yang dikutip dari surat pertama rasul Paulus
kepada jemaat di Korintus, 12:12-26.
II.
Realitas Gereja Mandiri di Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng-Manggarai
2. 1. Riwayat Singkat Tentang Paroki
Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng
Paroki Sta. Maria
Diangkat ke Surga-Rejeng merupakan Gereja yang berada di wilayah ordinaris
keuskupan Ruteng. Wilayah paroki Rejeng meliputi bekas Hamente Lelak, kecuali
Wela, dan sebagian besar Hamente Pongkor, yaitu Perang, Cireng, Kenggu, Ruang,
Bola, Herokoe dan Nampe. Sejak tahun 1921, wilayah paroki ini mulai dikunjungi
oleh para misionaris.
Wilayah paroki Rejeng
bertahun-tahun lamanya hanya dilayani oleh seorang pastor yang bertempat tinggal
di Todo, atau oleh pastor-pastor lain yang kebetulan berkunjung ke tempat ini.
Baru pada tahun 1964, paroki ini dilayani secara tetap oleh seorang misionaris asal
Hungaria, P. Thomas Krump, SVD, yang masih aktif masa jabatannya sebagai pastor
paroki hingga sekarang (48 tahun).[3]
2. 2. Realitas Gereja Mandiri di Paroki
Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng
Pada
tahun 2011 yang lalu, paroki Rejeng telah merayakan pesta intan, 75 tahun
berdirinya. Itu berarti paroki ini sudah didirikan sejak tahun 1936, dengan
pastor paroki pertamanya, yaitu P. Verheijen, SVD.[4] Dalam
kurung waktu 75 tahun itu (74 tahun saat penulis menjalankan TOP) memang sudah
diupayakan berbagai bentuk kemandirian Gereja seperti yang diwacanakan di atas,
yaitu kemandirian di bidang iman, personal dan finansial. Namun menurut kesan
penulis, kemandirian yang belum maksimal disadari oleh seluruh umat di paroki
ini, yaitu di bidang kemandirian finansial.[5]
Secara
umum, bisa dikatakan bahwa sejak berdirinya hingga sekarang, paroki Rejeng
masih dilayani oleh misionaris asing.[6]
Sebab itu, sesuai pengamatan penulis pola pembiayaan hidup rumah tangga Gereja
di paroki ini masih bercorak “Gereja Misi”. Artinya, inisiatif pembangunan
fisik Gereja selalu bertumpu pada pastor paroki. Umat memang diajak juga untuk
terlibat aktif, menyumbang finansial sesuai kadar kemampuannya. Namun keluhan
yang sering terdengar bahwa “kami ini miskin” atau “pater saja yang cari
pendermanya”. Kurangnya partisipasi umat dalam mengusahakan kemandirian
finansial Gereja seperti ini akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan derma
dalam misa hari Minggu pun sangat minim dan tak mampu membiayai pengadaan
hostia dan anggur yang dipakai sebagai bahan utama perayaan ekaristi.[7]
Bertolak
dari masalah konkrit tersebut, maka saya lantas berpikir bahwa masa depan
paroki Rejeng mungkin akan menjadi rumit ketika terjadi pergantian pastor
paroki, dari misionaris asing kepada misionaris pribumi.[8] Sebab
itu, keprihatinan semacam ini perlu direfleksikan dan disikapi secara serius sehingga
tuntutan kemandirian finansial, yaitu pembangunan fisik Gereja, sungguh
disadari sebagai bagian dari tanggung jawab umat secara menyeluruh.
III.
Merefleksikan Kurangnya Kemandirian Finansial di Paroki Rejeng Dalam Terang Inspirasi
Surat Pertama Rasul Paulus Kepada Jemaat di Korintus, 12:12-26
3. 1. Komentar dan Tafsiran Eksegetis Atas
Perikop I Korintus, 12:12-26
Tema
pokok yang dibicarakan dalam perikop ini adalah “Tubuh dan anggota-anggotanya”
(The Body and its members). Pada
dasarnya perikop ini hanyalah sebuah ilustrasi yang diambil dari pemahaman umum
mengenai tubuh manusia untuk menjelaskan bahwa meskipun anugerah Roh Kudus itu
banyak dan bermacam-macam, tetapi siapa saja yang menerimanya harus membangun kebersatuan
secara menyeluruh di antara mereka. Ilustrasi semacam ini adalah sesuatu yang lazim
atau biasa dan dipergunakan beberapa kali oleh Paulus dalam surat-suratnya
seperti dalam Rm. 7:4-5; Ef. 4:16.30; Kol. 2:19.[9]
Secara
teologis, Paulus menggunakan ilustrasi tentang “Tubuh dan anggota-anggotanya”
untuk menunjukkan sebuah pemahaman mengenai Gereja sebagai Tubuh Kristus. Bahwa
melalui sakramen pembaptisan dan ekaristi, setiap orang kristen dimasukkan ke
dalam keanggotaan Tubuh Kristus yang satu. Kesatuan dengan Kristus dalam Roh
semacam ini mengandung juga sebuah tuntutan keniscayaan kebersatuan di antara
para pengikut Kristus. Dengan demikian, gambaran mengenai Gereja sebagai Tubuh
Kristus terutama untuk menekankan kesatuan umat yang harus mendasari keanekaan
fungsi dan karisma atau anugerah Roh Kudus yang diterima oleh masing-masing
orang.[10] Berikut
ini adalah tafsiran eksegetis atas perikop I Korintus, 12:12-26:
Ayat
12, “Karena seperti tubuh itu satu sekalipun mempunyai banyak anggota, dan
semua anggota tubuh, sekalipun banyak, membentuk satu tubuh, demikian juga Kristus”.
Dari satu sisi, kita memandang bahwa Kristus adalah Kepala (Bdk. Kol. 1:18.24),
tetapi hal itu bukanlah yang mau ditekankan dalam ayat ini. Di sini, Kristus
adalah Tubuh, yang berada untuk mempersatukan anggota-anggotaNya dan merangkum
mereka menjadi satu organ menyeluruh (melē).
Bagi Kristus atau Gereja hanya ada satu Tubuh dengan banyak anggota. Gambaran ini melahirkan
gagasan tentang kesatuan. Bahwa tubuh manusia (sōma) adalah sebuah ilustrasi yang unik tentang kesatuan dalam
keberbedaan. Dengan demikian, Gereja (umat) yang melayani Tuhan yang satu dan
sama, seharusnya hidup dalam persatuan.
Ayat
13, “Semua kita, baik Yahudi maupun Yunani, baik budak maupun orang merdeka,
telah dibaptis dalam Roh yang satu itu untuk membentuk satu tubuh dan semua
kita telah diberi minum dari Roh yang satu itu juga”. Roh adalah elemen terpenting
dalam pembaptisan dan satu tubuh merupakan akibat yang dihasilkan dari tindakan
Roh, yaitu mempersatukan yang banyak. Dalam pengertian ini, Paulus mau
menunjukkan aspek sosial dari pembaptisan dan ekaristi. Bahwa perbedaan rasial
antara Yahudi dan Yunani hanyalah merupakan produk alam atau distingsi
geografis, sedangkan perbedaan sosial antara budak dan orang merdeka hanyalah merupakan
produk dari kebiasaan masyarakat dan hukum. Namun kedua perbedaan itu telah
diatasi atau dihilangkan ketika mereka yang dibeda-bedakan tersebut menjadi
anggota-anggota Kristus.
Ayat
14, “Tubuh mempunyai tidak hanya satu, tetapi banyak anggota”. Ayat ini
hanyalah merupakan sebuah penegasan mengenai kebenaran tubuh. Bahwa tubuh yang
memiliki banyak anggota diciptakan untuk bekerjasama satu sama lain sehingga
prasangka bisa memperlawankan anggota-anggota tubuh tersebut merupakan sesuatu
yang tidak lazim atau alamiah.
Ayat
15, “Seandainya kaki berkata: ‘Aku tidak termasuk tubuh, sebab aku bukan
tangan’, benarkah bahwa ia tidak termasuk tubuh? Sesungguhnya ia bagian dari
tubuh!” Dalam ayat ini, sebenarnya lebih ditonjolkan argumentasi pesimistis
dari kaki daripada kenyataan bahwa ia memang bukanlah tangan. Mengapa? Karena
kaki merasa rendah diri dibandingkan dengan tangan yang bisa melakukan lebih
banyak hal bernilai. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Sebab kaki dan tangan
serta anggota tubuh lainnya memiliki fungsi masing-masing dan bekerjasama satu
sama lain untuk menghidupi tubuh.
Ayat
16, “Sekalipun telinga berkata: ‘Aku tidak termasuk tubuh, sebab aku bukan
mata’, ia tetap bagian dari tubuh”. Ayat ini merupakan pengulangan interogatif
sama seperti ayat sebelumnya.
Ayat
17, “Seandainya seluruh tubuh itu mata, bagaimana kita dapat mendengar? Dan
seandainya seluruh tubuh itu telinga, bagaimana kita dapat mencium?” Pada
hakikatnya, masing-masing anggota tubuh memiliki fungsinya masing-masing, yang
tidak tergantikan oleh yang lain, dan tidak ada organ tubuh yang boleh berpikir
bahwa keberfungsiannya lebih kecil dibandingkan dengan yang lain. Sebab
keberadaan organ-organ tubuh tersebut merupakan sebuah keteraturan yang
diperuntukkan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Ayat
18, “Allah telah mengatur semua anggota tubuh, menempatkan semua pada tempat
yang dikehendakiNya”. Seperti yang sudah ditegaskan bahwa Allah pada dasarnya
menciptakan persatuan di antara anggota-anggota tubuh, untuk saling melengkapi,
dan bukannya menyamakan mereka satu sama lain. Sejak semula, Allah sudah
mengaturnya demikian, sebagai bagian dari sebuah perencanaan. Oleh karena itu,
kata “menempatkan” lebih dari sekadar “menyediakan”. Setiap anggota tubuh tidak
dapat memiliki fungsi yang sama, dan sebab itu ada bermacam-macam keberfungsian
anggota tubuh sesuai dengan anugerah yang dimilikinya.
Ayat
19, “Jika semuanya satu anggota, di manakah tubuh?” Ayat ini merupakan
pertanyaan absurditas yang kedua setelah pertanyaan sebelumnya, “Di manakah
anggota tubuh yang lain?” Gagasan utama tentang tubuh selalu mengimplikasikan
adanya banyak anggota. Namun jika masing-masing anggota berlomba-lomba untuk
memperoleh kehormatan yang tertinggi dalam struktur tubuh, maka dengan
sendirinya tubuh itu akan hilang atau lenyap.
Ayat
20, “Memang ada banyak anggota, namun satu tubuh”. Ayat ini merupakan sebuah
penegasan. Paulus sengaja mengulang kembali kebenaran ini sehingga segala
sesuatu yang sudah dipertanyakan atau dipersoalkan dalam ayat-ayat sebelumnya
diakhiri. Bahwa hanya dalam kesatuan antarkeseluruhan anggota tubuh tersebut,
bisa tertata suatu kebergantungan mutualis antarbagian-bagian sesuai kadar
kepentingan masing-masing.
Ayat
21, “Mata tidak dapat berkata kepada tangan: ‘Aku tidak memerlukan engkau’, dan
kepala tidak dapat berkata kepada kaki: ‘Aku tidak memerlukan engkau’. Ayat ini
kembali menggambarkan sebuah pertentangan antara yang superior dan yang
inferior antarbagian-bagian tubuh. Paulus sengaja mengangkat lagi pertentangan
semacam ini untuk melukiskan keadaan umat di Korintus yang hidup dalam suasana saling
melecehkan. Keadaan umat Kristen semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Mata
tidak dapat berkata bahwa ia tidak memerlukan tangan, sebab jika demikian
bagaimana ia dapat meraba? Faktanya, tidak ada organ tubuh atau organisme dalam
masyarakat yang bisa hidup tertutup di dalam dirinya sendiri, melainkan selalu
bergantung kepada yang lain dan saling melengkapi.
Ayat
22, “Malahan anggota-anggota tubuh kita yang kelihatannya paling lemah ternyata
yang lebih kita butuhkan”. Paulus tidak menjelaskan anggota tubuh mana saja
yang kelihatannya paling lemah. Namun gambaran mengenai kenyataan ini bisa diterima
dan dapat pula diterapkan dalam kehidupan sosial. Misalnya, para pekerja di
peruahaan-perusahaan yang dianggap kurang berkedudukan atau memiliki jabatan
dibandingkan dengan para pebisnis atau pengusaha besar, namun sesungguhnya
merekalah yang sebenarnya lebih penting dalam menghidupi kegiatan perusahaan
dan perdagangan.
Ayat
23, “Bagian-bagian tubuh yang kita anggap kurang terhormat, kita perlakukan
penuh perhatian”. Sebenarnya ayat 23 dan ayat 24 merupakan satu kesatuan,
sehingga pembagian ayat ini kurang tepat, meskipun ada improvisasi pada ayat
24. Kita memperlakukan dengan penuh perhatian bagian-bagian tubuh yang dianggap
kurang terhormat dengan cara memberi pakaian (clothing) atau menutupinya. Pada prinsipnya tindakan ini
mengisyaratkan kepada kita untuk memberi penghormatan yang lebih besar terhadap
yang kurang dihormati. Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian, kita dituntut
untuk menghormati mereka yang miskin, lemah dan tersingkirkan, yang dianggap
sebagai “sampah” masyarakat atau kurang terhormat.
Ayat
24, “Dan kita menutupinya dengan baik sebab mereka kurang pantas diperlihatkan,
sedangkan bagian-bagian tubuh yang lebih pantas ditampilkan, tidak membutuhkan
perhatian yang sedemikian”. Pada ayat 23, Paulus menunjukkan bagaimana manusia,
yang dituntun oleh sebuah insting alamiah, seharusnya memperlakukan
bagian-bagian tubuhnya yang dianggap kurang terhormat. Pada ayat ini, sang
rasul menunjukkan secara lebih mendasar tentang karya Allah yang menciptakan
dan menyeimbangkan segala sesuatu, terutama dalam diri manusia dengan
menganugerahkannya “insting atau rasa kepantasan”. Sebab apa yang sesuai dengan
perasaan umum manusiawi adalah nyata mengenai apa yang benar.
Ayat
25, “Allah sendiri telah mengatur tubuh kita sedemikian rupa, memberikan
perhatian yang lebih besar kepada bagian yang kurang mulia, agar tubuh jangan
sampai terbagi-bagi, tetapi supaya semua anggota saling memperhatikan”. Ayat
ini menegaskan tentang pemeliharaan tubuh, bahwa meskipun ada banyak anggota di
dalamnya, namun anggota-anggota tersebut harus tetap saling memperhatikan,
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini untuk menghindari adanya gangguan
pemikiran di antara anggota tubuh bahwa mereka banyak dan dengan demikian
mereka terpisah-pisah.
Ayat
26, “Apabila satu anggota menderita, semuanya menderita, dan apabila satu
anggota mendapat penghormatan, semuanya bergembira”. Ayat ini menekankan
solidaritas atau kesamaan perasaan di antara anggota tubuh. Bahwa apa yang
dirasakan oleh satu anggota tubuh harus menjadi perasaan yang sama dari anggota
tubuh lainnya. Hal ini juga yang mendasari prinsip Kristianitas mengenai hukum
simpati. Bahwa keprihatinan dari semua individu, golongan dan bangsa
sesungguhnya sama, walaupun kita kadang-kadang kurang menghiraukannya. Tetapi
kita harus berusaha percaya akan hal ini. Kebaikan yang diperoleh seseorang
merupakan kebaikan bagi semua orang, dan tindakan yang salah terhadap seseorang
merupakan tindakan yang salah juga terhadap semua orang.[11]
3. 2. Kurangnya Partisipasi Umat Dalam Pembangunan
Fisik Gereja Sebagai Indikasi Schisma Atau
Perpecahan Anggota-Anggota Tubuh
Setelah
memahami komentar dan tafsiran eksegetis atas perikop I Korintus, 12:12-26,
maka insight yang bisa diperoleh di
sini adalah ide tentang persatuan antara Kristus dan pengikut-pengikutNya.
Memang tidak mudah untuk memahami terminologi teologis semacam ini, yaitu
Gereja sebagai Tubuh Kristus. Karena ketika kita mengatakan Gereja sebagai
Tubuh Kristus berarti kita dengan sadar dan sungguh-sungguh mau mengekspresikan
solidaritas kita dalam Kristus.[12]
Dalam
ilustrasi mengenai “Tubuh dan anggota-anggotanya”, sejak awal ditandaskan bahwa
Tubuh yang dimaksudkan di sini tak lain adalah Kristus sendiri dan
anggota-anggotaNya adalah umat Allah. Kemudian pada akhir ilustrasi, secara
komprehensif disimpulkan bahwa meskipun ada aneka macam anggota tubuh dan
keberfungsiannya, namun mereka telah diciptakan untuk bekerjasama dan saling
bergantung satu sama lain (inter-dependent)
untuk menghidupi tubuh yang satu itu. Oleh karena itu, jika terjadi perpecahan
atau schisma di antara para anggota
tubuh, maka hal tersebut akan mengakibatkan bahwa tubuh berada dalam keadaan
tidak sehat atau sedang sakit.[13] Dengan
demikian, solidaritas dalam Kristus meniscayakan bahwa anggota-anggota tubuh
atau umat Allah tetap bersatu, agar menampakkan Kristus atau Tubuh yang satu
itu secara sehat di dalam kosmos.[14]
Berkenaan
dengan masalah kurangnya pastisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja di
paroki Rejeng, bila ditinjau dari ilustrasi “Tubuh dan anggota-anggotanya”,
maka bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan indikasi sedang terjadinya schisma atau perpecahan dalam
anggota-anggota tubuh. Mengapa? Karena dengan bersikap acuh tak acuh atau
kurang bertanggung jawab dalam mengusahakan kemandirian finansial Gereja, maka
umat sebenarnya belum menampakkan secara sungguh-sungguh solidaritasnya dalam
Kristus. Sebagai pengikut-pengikut Kristus, umat seharusnya bersatu dalam
membangun Tubuh Kristus mulai dari tuntutan tanggung jawab riil semacam ini.
Sebab bagaimanapun, pembangunan fisik Gereja merupakan sesuatu hal yang
kelihatan di dalam kosmos, yang signifikan untuk menunjukkan apakah Tubuh dalam
keadaan sehat atau sedang sakit.
Selain
itu, persoalan kurangnya partisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja juga bisa
dilihat sebagai sebuah bentuk pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus.
Mengapa? Karena klaim kemandirian iman dan personal yang sudah baik seperti
disinggung sebelumnya mungkin hanyalah kepura-puraan demi memenuhi tuntutan
hidup berparoki, atau hanya demi menyenangkan pastor paroki semata. Dengan
merasa tidak perlu lagi berpartisipasi dalam mengusahakan kemandirian
finansial, umat sebenarnya mengelak dari kebefungsiannya sebagai anggota Tubuh
Kristus. Akibatnya, umat sendiri yang membuat Gereja sebagai Tubuh Kristus
berada dalam keadaan kurang sehat atau sakit. Ini adalah sebuah pengkhianatan
yang memalukan dari anggota-anggota terhadap Tubuhnya sendiri.
Jadi,
masalah konkrit semacam ini bila ditinjau dari teks pilihan di atas akan
menghasilkan sebuah kritik yang fundamental tentang schisma atau keterpecahan anggota-anggota Tubuh Kristus; yang
mengakibatkan pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus. Dengan
demikian, ideal kesatuan yang dipergunjingkan dalam ilustrasi “Tubuh dan
anggota-anggotanya” masih jauh dari pencapaian karena belum meresapi kesadaran
umat di paroki Rejeng.
IV.
Tantangan Bagi Karya Patoral
Berdasarkan tinjauan
biblis atas masalah konkrit yang ada di paroki Rejeng, maka kiranya bisa
disebutkan beberapa relevansi etis sebagai tantangan bagi karya pastoral di
wilayah ini.
Pertama, perlunya regenerasi
kepemimpinan pastoral, dari misionaris asing kepada misionaris pribumi. Hal ini
dirasa urgen karena gaya pastoral
“Gereja Misi” terkesan memanjakan umat, terutama dari segi pembangunan fisik
Gereja. Sesuai pengalaman penulis, inisiatif pembangunan fisik Gereja biasanya
selalu datang dari pastor paroki, P. Thomas Krump, SVD, mulai dari proposal
dana kepada para penderma hingga urusan administratif pembangunan. Menurut
saya, untuk bisa mengubah mental atau kebiasaan “Gereja Misi” seperti ini, maka
perlu diadakan regenenerasi kepemimpinan kepada misionaris pribumi yang lebih
bergaya pastoral “Gereja Mandiri”. Memang untuk pembangunan fisik Gereja tidak
wajib bahwa umat dipaksa untuk memberi derma sebanyak mungkin. Namun, dengan
inisiatif dan kreativitas yang dimiliki, misionaris pribumi bisa memberdayakan
umat untuk terlibat dalam setiap pembangunan Gereja, misalnya melalui kerja
bakti atau mengolah kebun pastoran agar bisa menghasilkan tanaman dagang
tertentu yang bisa dijual demi menghidupi rumah tangga paroki atau Gereja.
Kedua, sehubungan dengan kurangnya
partisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja, maka sangat perlu untuk
mengadakan katekese secara terus-menerus mengenai “Gereja Mandiri’ dalam
berbagai aspeknya. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran umat yang sudah
terbiasa dengan gaya pastoral “Gereja Misi” yang tidak relevan lagi dewasa ini.
Sebab jika kita setia atau konsisten dengan sejarah Gereja di Indonesia, maka
seharusnya sejak tahun 1961 kita sudah berdikari dalam berbagai aspek hidup
menggereja.
Ketiga, untuk berhasilnya “Gereja
Mandiri’ di paroki Rejeng, dan juga di paroki-paroki lain, maka para agen
pastoral harus memiliki kemampuan untuk merelasikan, yaitu antara umat dengan
Allah, antara umat dengan umat, antara umat dengan program atau kebijakan
pastoral paroki, dan antara umat dengan alam.[15]
Hal ini untuk menghindari gaya kepemimpinan pastorsentris
atau kebijakan satu arah yang menjadikan umat hanya sebagai obyek Gereja.
Dengan mengusung “seni merelasikan” ini, maka para agen pastoral tentunya akan memandang
umat dengan penuh simpati sehingga menjadikan mereka sungguh-sungguh sebagai
subyek Gereja, yang bertanggung jawab penuh atas kemandirian Gereja dalam berbagai
aspeknya.
Keempat, pendekatan lain yang kiranya
relevan juga untuk menyadarkan umat agar berpartisipasi dalam pembangunan fisik
Gereja, yaitu melalui pastoral keluarga. Makna teologis “Tubuh dan
anggota-anggotanya” sangat penting untuk disadari mulai dari dalam keluarga
sebagai unit terkecil Gereja. Ilustrasinya, sama seperti “Tubuh dan
anggota-anggotanya” adalah satu, demikian pun keluarga-keluarga Kristen meskipun
banyak namun membentuk satu keluarga Kristus, yaitu Gereja. Dengan demikian,
bisa dibayangkan bahwa jika keluarga-keluarga mandiri, maka Gereja pun harus
mandiri dalam berbagai aspeknya.
V.
Penutup
5. 1. Kesimpulan
Persoalan
mengenai “Gereja Mandiri” di Indonesia memang layak dievaluasi lagi saat ini. Sebab
setelah mendapatkan hirarki episkopalnya dari Takhta Suci-Vatikan pada tahun
1961, yang menandai berakhirnya kebergantungan kepada “Gereja Misi”, Gereja di
Indonesia seharusnya sudah menata kehidupan menggerejanya sehingga berdikari
dalam berbagai aspek yang disinggung dalam pendahuluan tulisan ini. Namun
kenyataan yang ada sekarang bahwa setelah merayakan emas hirarki episkopalnya,
masih ada Gereja Lokal di Indonesia, khususnya di paroki tertentu, yang tetap
terlena dengan pola pastoral “Gereja Misi”, terutama dari segi pembangunan
fisik Gereja. Sebagai misal adalah kenyataan di paroki Rejeng-keuskupan Ruteng.
Umat di paroki ini merasa bahwa karena pastor parokinya adalah seorang
misionaris asing, maka pembangunan fisik Gereja dilihat sebagai tanggung jawab
pastor paroki semata. Dengan demikian, kurangnya partisipasi umat dalam
pembangunan fisik Gereja telah menjadi sebuah kebiasaan yang salah di paroki
ini.
Menanggapi
situasi konkrit tersebut, maka bertolak dari inspirasi biblis yang dikutip dari
perikop I Korintus, 12:12-26 tentang “Tubuh dan anggota-anggotanya”, di sana diungkapkan
satu segi pemahaman mengenai Gereja yang perlu dihayati oleh umat beriman Kristen,
yaitu Gereja sebagai Tubuh Kristus. Ilustrasi mengenai “Tubuh dan
anggota-anggotanya” ini sangat menonjolkan ide tentang persatuan yang harus
dibangun oleh anggota-anggota tubuh untuk menghidupi tubuh yang satu. Sama
seperti tubuh yang terdiri dari banyak anggota, demikian pun Gereja sebagai
Tubuh Kristus, terdiri dari banyak umat yang harus bekerjasama untuk menghidupi
Tubuh Kristus. Sebab itu, bila direfleksikan situasi konkrit di paroki Rejeng,
yang umatnya kurang berpartisipasi dalam pembangunan fisik Gereja, maka bisa
ditegaskan bahwa ada schisma atau
perpecahan dalam umat itu sendiri sehingga menyebabkan Tubuh Kristus berada
dalam keadaan kurang sehat atau sedang sakit. Fakta ini merupakan sebuah
pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus yang dibuat oleh
pengikut-pengikutNya sendiri.
Jadi, kritik
fundamental di atas akhirnya menuntut suatu relevansi etis bagi karya pastoral
selanjutnya untuk mengubah situasi ini. Untuk itu, ada beberapa solusi yang
dipikirkan, antara lain dengan mengadakan regenerasi kepemimpinan pastor
paroki, katekese umat secara terus-menerus mengenai “Gereja Mandiri”, perlunya
kepemilikan “seni merelasikan” oleh para agen pastoral, dan pendekatan
“pastoral keluarga”.
5. 2. Saran Konkrit
Dalam
katekese umat tentang “Gereja Mandiri” dan pendekatan “pastoral keluarga”
sebaiknya selalu dikemukakan ilustrasi mengenai “Tubuh dan anggota-anggotanya”
sebagai bahan perbandingan dalam hidup menggereja. Hal ini penting untuk
memberi pencerahan dan sekaligus mengatasi schisma
atau perpecahan dalam relasi umat, karena kadang-kadang ada umat yang
mengira lebih penting dari yang lain (perasaan superior) dan ada juga umat yang
mengira perannya tidak terlalu penting dalam hidup menggereja (perasaan
inferior). Ilustrasi ini hendaknya dibahasakan secara sederhana, bahwa Gereja
sebagai Tubuh Kristus menuntut persatuan dari umat sekalian, agar menampakkan
Tubuh Kristus secara sehat di dalam dunia ini.
[1]Kemandirian di bidang iman
bertujuan agar umat menerima Allah sepenuhnya dalam diri mereka; kemandirian di
bidang personal bertujuan agar pelaku utama dalam karya pastoral bukan monopoli
kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; kemandirian di bidang finansial
bertujuan agar segala jenis pembangunan seperti pembangunan fisik menjadi
tanggung jawab seluruh umat. Mengutip Sidang
Pastoral Keuskupan Weetebula (8-11 Februari 1999) dalam F. Hasto Rosariyanto (Ed.), Bercermin pada wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indoensia, Cet.
ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), pp. 151-152.
[2]KWI, “Surat Konferensi Waligereja
Indonesia, Syukur Atas Lima Puluh Tahun Hirarki Gereja Katolik di Indonesia”, Mingguan Hidup, No. 01. Tahun ke-65, 2 Januari 2011, p. 11.
[3]Paroki Rejeng, “Dokumen
Sekretariat”, Tahun 2010.
[5]Di bidang kemandirian iman,
kesannya baik karena umat terlibat aktif dalam berbagai kegiatan rohani, entah
itu di tingkat paroki, stasi, lingkungan dan komunitas basis. Sedangkan di
bidang kemandirian personal, pelayan pastoral tidak tertahbis pun banyak.
Biasanya pastor paroki mengusahakan bantuan biaya kuliah bagi umatnya untuk
bersekolah di STKIP Ruteng, yang kemudian kembali mengabdi di paroki sebagai
katekis.
[6]Kecuali pada tahun 1944-1945 oleh
P. Yan Bala, SVD.
[7]Berdasarkan hasil pencatatan
derma misa hari Minggu di stasi pusat, hanya berkisar antara Rp. 90.000 sampai
Rp. 150.000. Sedangkan harga hostia dan anggur yang harus dibeli melampaui
kesanggupan derma umat yang ada. Sebagai solusinya, pastor paroki sendiri yang
mencari dana tambahan untuk menutupi kekurangan biaya tersebut.
[8]Hal ini memang sempat menjadi
rumor di keuskupan karena tidak ada imam pribumi yang berani dan bersedia
menggantikan P. Thomas Krump, SVD sebagai pastor paroki di Rejeng.
[9]A. Robertson dan A. Plummer, A Critical And Exegetical Commentary On The
First Epistle Of St. Paul To The Corinthians (Edinburgh: T. & T. Clark,
1978), p. 269.
[10]Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani
(Maumere: Ledalero, 2007), p. 388.
[11]A. Robertson dan A. Plummer, Op. Cit., pp. 271-277.
[12]D. E. H. Whiteley, The Theology Of St. Paul (Oxford: Basil
Blackwell, 1974), p. 192.
[13]F. F. Bruce, The New Century Bible Commentary I & II Corinthians (London:
Marshall, Morgan & Scott Publ. Ltd., 1984), p.122.
[14]Gereja sebagai Tubuh Kristus di
sini mengandung makna Tubuh Spiritual atau sōma
pneumatikon (Bdk. I Kor., 15:44). D. E. H. Whiteley, Op. Cit., p. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar