Selasa, 19 Maret 2013

MEREFLEKSIKAN KEMANDIRIAN FINANSIAL DI PAROKI STA. MARIA DIANGKAT KE SURGA-REJENG-MANGGARAI DALAM TERANG INSPIRASI SURAT PERTAMA RASUL PAULUS KEPADA JEMAAT DI KORINTUS, 12:12-26



I. Pendahuluan
            Persoalan mengenai “Gereja mandiri” dewasa ini mulai hangat dibicarakan dalam berbagai agenda pertemuan Gereja Lokal di Indonesia, baik itu di tingkat keuskupan, paroki, stasi, lingkungan maupun di komunitas basis. Prioritas-prioritas yang mau dicapai antara lain menyangkut kemandirian di bidang iman, personal dan finansial.[1]
Pada tahun 2011 yang lalu, Gereja di Indonesia memang telah merayakan pesta emas, 50 tahun, hirarki episkopalnya. Itu berarti terhitung sejak tahun 1961, Gereja di Indonesia sudah tidak bergantung lagi kepada “Gereja Misi”, yang sebelumnya dilayani oleh para misionaris asing. Namun di penghujung refleksinya pada tahun 2011, Konferensi Wali Gereja Indonesia masih menyisakan pertanyaan reflektif untuk dijawab oleh Gereja-Gerjea Lokal di Indonesia, “Sudah sejauh mana kita memaknai pemberian wewenang ini untuk memacu kemandirian kita sebagai Gereja Indonesia dalam segala segi kehidupan menggereja di tanah air tercinta ini?”[2]
Bertolak dari latar belakang wacana dan pertanyaan reflektif di atas, maka melalui tulisan ini saya coba membahas tentang realitas Gereja Mandiri yang sudah diupayakan di Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng, Keuskupan Ruteng. Kerangka pembahasan ini sesuai dengan pengalaman penulis saat menjalankan praktek pastoral (TOP) di paroki tersebut pada tahun 2010, sambil dibimbing dengan inspirasi biblis yang dikutip dari surat pertama rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, 12:12-26.     


II. Realitas Gereja Mandiri di Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng-Manggarai
2. 1. Riwayat Singkat Tentang Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng
Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng merupakan Gereja yang berada di wilayah ordinaris keuskupan Ruteng. Wilayah paroki Rejeng meliputi bekas Hamente Lelak, kecuali Wela, dan sebagian besar Hamente Pongkor, yaitu Perang, Cireng, Kenggu, Ruang, Bola, Herokoe dan Nampe. Sejak tahun 1921, wilayah paroki ini mulai dikunjungi oleh para misionaris.
Wilayah paroki Rejeng bertahun-tahun lamanya hanya dilayani oleh seorang pastor yang bertempat tinggal di Todo, atau oleh pastor-pastor lain yang kebetulan berkunjung ke tempat ini. Baru pada tahun 1964, paroki ini dilayani secara tetap oleh seorang misionaris asal Hungaria, P. Thomas Krump, SVD, yang masih aktif masa jabatannya sebagai pastor paroki hingga sekarang (48 tahun).[3]

2. 2. Realitas Gereja Mandiri di Paroki Sta. Maria Diangkat ke Surga-Rejeng
            Pada tahun 2011 yang lalu, paroki Rejeng telah merayakan pesta intan, 75 tahun berdirinya. Itu berarti paroki ini sudah didirikan sejak tahun 1936, dengan pastor paroki pertamanya, yaitu P. Verheijen, SVD.[4] Dalam kurung waktu 75 tahun itu (74 tahun saat penulis menjalankan TOP) memang sudah diupayakan berbagai bentuk kemandirian Gereja seperti yang diwacanakan di atas, yaitu kemandirian di bidang iman, personal dan finansial. Namun menurut kesan penulis, kemandirian yang belum maksimal disadari oleh seluruh umat di paroki ini, yaitu di bidang kemandirian finansial.[5]
            Secara umum, bisa dikatakan bahwa sejak berdirinya hingga sekarang, paroki Rejeng masih dilayani oleh misionaris asing.[6] Sebab itu, sesuai pengamatan penulis pola pembiayaan hidup rumah tangga Gereja di paroki ini masih bercorak “Gereja Misi”. Artinya, inisiatif pembangunan fisik Gereja selalu bertumpu pada pastor paroki. Umat memang diajak juga untuk terlibat aktif, menyumbang finansial sesuai kadar kemampuannya. Namun keluhan yang sering terdengar bahwa “kami ini miskin” atau “pater saja yang cari pendermanya”. Kurangnya partisipasi umat dalam mengusahakan kemandirian finansial Gereja seperti ini akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan derma dalam misa hari Minggu pun sangat minim dan tak mampu membiayai pengadaan hostia dan anggur yang dipakai sebagai bahan utama perayaan ekaristi.[7]
            Bertolak dari masalah konkrit tersebut, maka saya lantas berpikir bahwa masa depan paroki Rejeng mungkin akan menjadi rumit ketika terjadi pergantian pastor paroki, dari misionaris asing kepada misionaris pribumi.[8] Sebab itu, keprihatinan semacam ini perlu direfleksikan dan disikapi secara serius sehingga tuntutan kemandirian finansial, yaitu pembangunan fisik Gereja, sungguh disadari sebagai bagian dari tanggung jawab umat secara menyeluruh.
           
III. Merefleksikan Kurangnya Kemandirian Finansial di Paroki Rejeng Dalam Terang Inspirasi Surat Pertama Rasul Paulus Kepada Jemaat di Korintus, 12:12-26
3. 1. Komentar dan Tafsiran Eksegetis Atas Perikop I Korintus, 12:12-26
            Tema pokok yang dibicarakan dalam perikop ini adalah “Tubuh dan anggota-anggotanya” (The Body and its members). Pada dasarnya perikop ini hanyalah sebuah ilustrasi yang diambil dari pemahaman umum mengenai tubuh manusia untuk menjelaskan bahwa meskipun anugerah Roh Kudus itu banyak dan bermacam-macam, tetapi siapa saja yang menerimanya harus membangun kebersatuan secara menyeluruh di antara mereka. Ilustrasi semacam ini adalah sesuatu yang lazim atau biasa dan dipergunakan beberapa kali oleh Paulus dalam surat-suratnya seperti dalam Rm. 7:4-5; Ef. 4:16.30; Kol. 2:19.[9]
            Secara teologis, Paulus menggunakan ilustrasi tentang “Tubuh dan anggota-anggotanya” untuk menunjukkan sebuah pemahaman mengenai Gereja sebagai Tubuh Kristus. Bahwa melalui sakramen pembaptisan dan ekaristi, setiap orang kristen dimasukkan ke dalam keanggotaan Tubuh Kristus yang satu. Kesatuan dengan Kristus dalam Roh semacam ini mengandung juga sebuah tuntutan keniscayaan kebersatuan di antara para pengikut Kristus. Dengan demikian, gambaran mengenai Gereja sebagai Tubuh Kristus terutama untuk menekankan kesatuan umat yang harus mendasari keanekaan fungsi dan karisma atau anugerah Roh Kudus yang diterima oleh masing-masing orang.[10] Berikut ini adalah tafsiran eksegetis atas perikop I Korintus, 12:12-26:
       Ayat 12, “Karena seperti tubuh itu satu sekalipun mempunyai banyak anggota, dan semua anggota tubuh, sekalipun banyak, membentuk satu tubuh, demikian juga Kristus”. Dari satu sisi, kita memandang bahwa Kristus adalah Kepala (Bdk. Kol. 1:18.24), tetapi hal itu bukanlah yang mau ditekankan dalam ayat ini. Di sini, Kristus adalah Tubuh, yang berada untuk mempersatukan anggota-anggotaNya dan merangkum mereka menjadi satu organ menyeluruh (melē). Bagi Kristus atau Gereja hanya ada satu Tubuh  dengan banyak anggota. Gambaran ini melahirkan gagasan tentang kesatuan. Bahwa tubuh manusia (sōma) adalah sebuah ilustrasi yang unik tentang kesatuan dalam keberbedaan. Dengan demikian, Gereja (umat) yang melayani Tuhan yang satu dan sama, seharusnya hidup dalam persatuan.  
          Ayat 13, “Semua kita, baik Yahudi maupun Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis dalam Roh yang satu itu untuk membentuk satu tubuh dan semua kita telah diberi minum dari Roh yang satu itu juga”. Roh adalah elemen terpenting dalam pembaptisan dan satu tubuh merupakan akibat yang dihasilkan dari tindakan Roh, yaitu mempersatukan yang banyak. Dalam pengertian ini, Paulus mau menunjukkan aspek sosial dari pembaptisan dan ekaristi. Bahwa perbedaan rasial antara Yahudi dan Yunani hanyalah merupakan produk alam atau distingsi geografis, sedangkan perbedaan sosial antara budak dan orang merdeka hanyalah merupakan produk dari kebiasaan masyarakat dan hukum. Namun kedua perbedaan itu telah diatasi atau dihilangkan ketika mereka yang dibeda-bedakan tersebut menjadi anggota-anggota Kristus.
        Ayat 14, “Tubuh mempunyai tidak hanya satu, tetapi banyak anggota”. Ayat ini hanyalah merupakan sebuah penegasan mengenai kebenaran tubuh. Bahwa tubuh yang memiliki banyak anggota diciptakan untuk bekerjasama satu sama lain sehingga prasangka bisa memperlawankan anggota-anggota tubuh tersebut merupakan sesuatu yang tidak lazim atau alamiah.
        Ayat 15, “Seandainya kaki berkata: ‘Aku tidak termasuk tubuh, sebab aku bukan tangan’, benarkah bahwa ia tidak termasuk tubuh? Sesungguhnya ia bagian dari tubuh!” Dalam ayat ini, sebenarnya lebih ditonjolkan argumentasi pesimistis dari kaki daripada kenyataan bahwa ia memang bukanlah tangan. Mengapa? Karena kaki merasa rendah diri dibandingkan dengan tangan yang bisa melakukan lebih banyak hal bernilai. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Sebab kaki dan tangan serta anggota tubuh lainnya memiliki fungsi masing-masing dan bekerjasama satu sama lain untuk menghidupi tubuh.
       Ayat 16, “Sekalipun telinga berkata: ‘Aku tidak termasuk tubuh, sebab aku bukan mata’, ia tetap bagian dari tubuh”. Ayat ini merupakan pengulangan interogatif sama seperti ayat sebelumnya.    
       Ayat 17, “Seandainya seluruh tubuh itu mata, bagaimana kita dapat mendengar? Dan seandainya seluruh tubuh itu telinga, bagaimana kita dapat mencium?” Pada hakikatnya, masing-masing anggota tubuh memiliki fungsinya masing-masing, yang tidak tergantikan oleh yang lain, dan tidak ada organ tubuh yang boleh berpikir bahwa keberfungsiannya lebih kecil dibandingkan dengan yang lain. Sebab keberadaan organ-organ tubuh tersebut merupakan sebuah keteraturan yang diperuntukkan untuk saling melengkapi satu sama lain.
   Ayat 18, “Allah telah mengatur semua anggota tubuh, menempatkan semua pada tempat yang dikehendakiNya”. Seperti yang sudah ditegaskan bahwa Allah pada dasarnya menciptakan persatuan di antara anggota-anggota tubuh, untuk saling melengkapi, dan bukannya menyamakan mereka satu sama lain. Sejak semula, Allah sudah mengaturnya demikian, sebagai bagian dari sebuah perencanaan. Oleh karena itu, kata “menempatkan” lebih dari sekadar “menyediakan”. Setiap anggota tubuh tidak dapat memiliki fungsi yang sama, dan sebab itu ada bermacam-macam keberfungsian anggota tubuh sesuai dengan anugerah yang dimilikinya.
      Ayat 19, “Jika semuanya satu anggota, di manakah tubuh?” Ayat ini merupakan pertanyaan absurditas yang kedua setelah pertanyaan sebelumnya, “Di manakah anggota tubuh yang lain?” Gagasan utama tentang tubuh selalu mengimplikasikan adanya banyak anggota. Namun jika masing-masing anggota berlomba-lomba untuk memperoleh kehormatan yang tertinggi dalam struktur tubuh, maka dengan sendirinya tubuh itu akan hilang atau lenyap.
       Ayat 20, “Memang ada banyak anggota, namun satu tubuh”. Ayat ini merupakan sebuah penegasan. Paulus sengaja mengulang kembali kebenaran ini sehingga segala sesuatu yang sudah dipertanyakan atau dipersoalkan dalam ayat-ayat sebelumnya diakhiri. Bahwa hanya dalam kesatuan antarkeseluruhan anggota tubuh tersebut, bisa tertata suatu kebergantungan mutualis antarbagian-bagian sesuai kadar kepentingan masing-masing.
         Ayat 21, “Mata tidak dapat berkata kepada tangan: ‘Aku tidak memerlukan engkau’, dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: ‘Aku tidak memerlukan engkau’. Ayat ini kembali menggambarkan sebuah pertentangan antara yang superior dan yang inferior antarbagian-bagian tubuh. Paulus sengaja mengangkat lagi pertentangan semacam ini untuk melukiskan keadaan umat di Korintus yang hidup dalam suasana saling melecehkan. Keadaan umat Kristen semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Mata tidak dapat berkata bahwa ia tidak memerlukan tangan, sebab jika demikian bagaimana ia dapat meraba? Faktanya, tidak ada organ tubuh atau organisme dalam masyarakat yang bisa hidup tertutup di dalam dirinya sendiri, melainkan selalu bergantung kepada yang lain dan saling melengkapi. 
          Ayat 22, “Malahan anggota-anggota tubuh kita yang kelihatannya paling lemah ternyata yang lebih kita butuhkan”. Paulus tidak menjelaskan anggota tubuh mana saja yang kelihatannya paling lemah. Namun gambaran mengenai kenyataan ini bisa diterima dan dapat pula diterapkan dalam kehidupan sosial. Misalnya, para pekerja di peruahaan-perusahaan yang dianggap kurang berkedudukan atau memiliki jabatan dibandingkan dengan para pebisnis atau pengusaha besar, namun sesungguhnya merekalah yang sebenarnya lebih penting dalam menghidupi kegiatan perusahaan dan perdagangan. 
           Ayat 23, “Bagian-bagian tubuh yang kita anggap kurang terhormat, kita perlakukan penuh perhatian”. Sebenarnya ayat 23 dan ayat 24 merupakan satu kesatuan, sehingga pembagian ayat ini kurang tepat, meskipun ada improvisasi pada ayat 24. Kita memperlakukan dengan penuh perhatian bagian-bagian tubuh yang dianggap kurang terhormat dengan cara memberi pakaian (clothing) atau menutupinya. Pada prinsipnya tindakan ini mengisyaratkan kepada kita untuk memberi penghormatan yang lebih besar terhadap yang kurang dihormati. Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian, kita dituntut untuk menghormati mereka yang miskin, lemah dan tersingkirkan, yang dianggap sebagai “sampah” masyarakat atau kurang terhormat.
         Ayat 24, “Dan kita menutupinya dengan baik sebab mereka kurang pantas diperlihatkan, sedangkan bagian-bagian tubuh yang lebih pantas ditampilkan, tidak membutuhkan perhatian yang sedemikian”. Pada ayat 23, Paulus menunjukkan bagaimana manusia, yang dituntun oleh sebuah insting alamiah, seharusnya memperlakukan bagian-bagian tubuhnya yang dianggap kurang terhormat. Pada ayat ini, sang rasul menunjukkan secara lebih mendasar tentang karya Allah yang menciptakan dan menyeimbangkan segala sesuatu, terutama dalam diri manusia dengan menganugerahkannya “insting atau rasa kepantasan”. Sebab apa yang sesuai dengan perasaan umum manusiawi adalah nyata mengenai apa yang benar.
            Ayat 25, “Allah sendiri telah mengatur tubuh kita sedemikian rupa, memberikan perhatian yang lebih besar kepada bagian yang kurang mulia, agar tubuh jangan sampai terbagi-bagi, tetapi supaya semua anggota saling memperhatikan”. Ayat ini menegaskan tentang pemeliharaan tubuh, bahwa meskipun ada banyak anggota di dalamnya, namun anggota-anggota tersebut harus tetap saling memperhatikan, antara satu dengan yang lainnya. Hal ini untuk menghindari adanya gangguan pemikiran di antara anggota tubuh bahwa mereka banyak dan dengan demikian mereka terpisah-pisah.      
            Ayat 26, “Apabila satu anggota menderita, semuanya menderita, dan apabila satu anggota mendapat penghormatan, semuanya bergembira”. Ayat ini menekankan solidaritas atau kesamaan perasaan di antara anggota tubuh. Bahwa apa yang dirasakan oleh satu anggota tubuh harus menjadi perasaan yang sama dari anggota tubuh lainnya. Hal ini juga yang mendasari prinsip Kristianitas mengenai hukum simpati. Bahwa keprihatinan dari semua individu, golongan dan bangsa sesungguhnya sama, walaupun kita kadang-kadang kurang menghiraukannya. Tetapi kita harus berusaha percaya akan hal ini. Kebaikan yang diperoleh seseorang merupakan kebaikan bagi semua orang, dan tindakan yang salah terhadap seseorang merupakan tindakan yang salah juga terhadap semua orang.[11]  
             
3. 2. Kurangnya Partisipasi Umat Dalam Pembangunan Fisik Gereja Sebagai Indikasi Schisma Atau Perpecahan Anggota-Anggota Tubuh
            Setelah memahami komentar dan tafsiran eksegetis atas perikop I Korintus, 12:12-26, maka insight yang bisa diperoleh di sini adalah ide tentang persatuan antara Kristus dan pengikut-pengikutNya. Memang tidak mudah untuk memahami terminologi teologis semacam ini, yaitu Gereja sebagai Tubuh Kristus. Karena ketika kita mengatakan Gereja sebagai Tubuh Kristus berarti kita dengan sadar dan sungguh-sungguh mau mengekspresikan solidaritas kita dalam Kristus.[12]
            Dalam ilustrasi mengenai “Tubuh dan anggota-anggotanya”, sejak awal ditandaskan bahwa Tubuh yang dimaksudkan di sini tak lain adalah Kristus sendiri dan anggota-anggotaNya adalah umat Allah. Kemudian pada akhir ilustrasi, secara komprehensif disimpulkan bahwa meskipun ada aneka macam anggota tubuh dan keberfungsiannya, namun mereka telah diciptakan untuk bekerjasama dan saling bergantung satu sama lain (inter-dependent) untuk menghidupi tubuh yang satu itu. Oleh karena itu, jika terjadi perpecahan atau schisma di antara para anggota tubuh, maka hal tersebut akan mengakibatkan bahwa tubuh berada dalam keadaan tidak sehat atau sedang sakit.[13] Dengan demikian, solidaritas dalam Kristus meniscayakan bahwa anggota-anggota tubuh atau umat Allah tetap bersatu, agar menampakkan Kristus atau Tubuh yang satu itu secara sehat di dalam kosmos.[14]
            Berkenaan dengan masalah kurangnya pastisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja di paroki Rejeng, bila ditinjau dari ilustrasi “Tubuh dan anggota-anggotanya”, maka bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan indikasi sedang terjadinya schisma atau perpecahan dalam anggota-anggota tubuh. Mengapa? Karena dengan bersikap acuh tak acuh atau kurang bertanggung jawab dalam mengusahakan kemandirian finansial Gereja, maka umat sebenarnya belum menampakkan secara sungguh-sungguh solidaritasnya dalam Kristus. Sebagai pengikut-pengikut Kristus, umat seharusnya bersatu dalam membangun Tubuh Kristus mulai dari tuntutan tanggung jawab riil semacam ini. Sebab bagaimanapun, pembangunan fisik Gereja merupakan sesuatu hal yang kelihatan di dalam kosmos, yang signifikan untuk menunjukkan apakah Tubuh dalam keadaan sehat atau sedang sakit.
            Selain itu, persoalan kurangnya partisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja juga bisa dilihat sebagai sebuah bentuk pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus. Mengapa? Karena klaim kemandirian iman dan personal yang sudah baik seperti disinggung sebelumnya mungkin hanyalah kepura-puraan demi memenuhi tuntutan hidup berparoki, atau hanya demi menyenangkan pastor paroki semata. Dengan merasa tidak perlu lagi berpartisipasi dalam mengusahakan kemandirian finansial, umat sebenarnya mengelak dari kebefungsiannya sebagai anggota Tubuh Kristus. Akibatnya, umat sendiri yang membuat Gereja sebagai Tubuh Kristus berada dalam keadaan kurang sehat atau sakit. Ini adalah sebuah pengkhianatan yang memalukan dari anggota-anggota terhadap Tubuhnya sendiri.
                  Jadi, masalah konkrit semacam ini bila ditinjau dari teks pilihan di atas akan menghasilkan sebuah kritik yang fundamental tentang schisma atau keterpecahan anggota-anggota Tubuh Kristus; yang mengakibatkan pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus. Dengan demikian, ideal kesatuan yang dipergunjingkan dalam ilustrasi “Tubuh dan anggota-anggotanya” masih jauh dari pencapaian karena belum meresapi kesadaran umat di paroki Rejeng. 
             
IV. Tantangan Bagi Karya Patoral
            Berdasarkan tinjauan biblis atas masalah konkrit yang ada di paroki Rejeng, maka kiranya bisa disebutkan beberapa relevansi etis sebagai tantangan bagi karya pastoral di wilayah ini.
            Pertama, perlunya regenerasi kepemimpinan pastoral, dari misionaris asing kepada misionaris pribumi. Hal ini dirasa urgen karena gaya pastoral “Gereja Misi” terkesan memanjakan umat, terutama dari segi pembangunan fisik Gereja. Sesuai pengalaman penulis, inisiatif pembangunan fisik Gereja biasanya selalu datang dari pastor paroki, P. Thomas Krump, SVD, mulai dari proposal dana kepada para penderma hingga urusan administratif pembangunan. Menurut saya, untuk bisa mengubah mental atau kebiasaan “Gereja Misi” seperti ini, maka perlu diadakan regenenerasi kepemimpinan kepada misionaris pribumi yang lebih bergaya pastoral “Gereja Mandiri”. Memang untuk pembangunan fisik Gereja tidak wajib bahwa umat dipaksa untuk memberi derma sebanyak mungkin. Namun, dengan inisiatif dan kreativitas yang dimiliki, misionaris pribumi bisa memberdayakan umat untuk terlibat dalam setiap pembangunan Gereja, misalnya melalui kerja bakti atau mengolah kebun pastoran agar bisa menghasilkan tanaman dagang tertentu yang bisa dijual demi menghidupi rumah tangga paroki atau Gereja.
            Kedua, sehubungan dengan kurangnya partisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja, maka sangat perlu untuk mengadakan katekese secara terus-menerus mengenai “Gereja Mandiri’ dalam berbagai aspeknya. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran umat yang sudah terbiasa dengan gaya pastoral “Gereja Misi” yang tidak relevan lagi dewasa ini. Sebab jika kita setia atau konsisten dengan sejarah Gereja di Indonesia, maka seharusnya sejak tahun 1961 kita sudah berdikari dalam berbagai aspek hidup menggereja.
            Ketiga, untuk berhasilnya “Gereja Mandiri’ di paroki Rejeng, dan juga di paroki-paroki lain, maka para agen pastoral harus memiliki kemampuan untuk merelasikan, yaitu antara umat dengan Allah, antara umat dengan umat, antara umat dengan program atau kebijakan pastoral paroki, dan antara umat dengan alam.[15] Hal ini untuk menghindari gaya kepemimpinan pastorsentris atau kebijakan satu arah yang menjadikan umat hanya sebagai obyek Gereja. Dengan mengusung “seni merelasikan” ini, maka para agen pastoral tentunya akan memandang umat dengan penuh simpati sehingga menjadikan mereka sungguh-sungguh sebagai subyek Gereja, yang bertanggung jawab penuh atas kemandirian Gereja dalam berbagai aspeknya.
            Keempat, pendekatan lain yang kiranya relevan juga untuk menyadarkan umat agar berpartisipasi dalam pembangunan fisik Gereja, yaitu melalui pastoral keluarga. Makna teologis “Tubuh dan anggota-anggotanya” sangat penting untuk disadari mulai dari dalam keluarga sebagai unit terkecil Gereja. Ilustrasinya, sama seperti “Tubuh dan anggota-anggotanya” adalah satu, demikian pun keluarga-keluarga Kristen meskipun banyak namun membentuk satu keluarga Kristus, yaitu Gereja. Dengan demikian, bisa dibayangkan bahwa jika keluarga-keluarga mandiri, maka Gereja pun harus mandiri dalam berbagai aspeknya.

V. Penutup
5. 1. Kesimpulan
            Persoalan mengenai “Gereja Mandiri” di Indonesia memang layak dievaluasi lagi saat ini. Sebab setelah mendapatkan hirarki episkopalnya dari Takhta Suci-Vatikan pada tahun 1961, yang menandai berakhirnya kebergantungan kepada “Gereja Misi”, Gereja di Indonesia seharusnya sudah menata kehidupan menggerejanya sehingga berdikari dalam berbagai aspek yang disinggung dalam pendahuluan tulisan ini. Namun kenyataan yang ada sekarang bahwa setelah merayakan emas hirarki episkopalnya, masih ada Gereja Lokal di Indonesia, khususnya di paroki tertentu, yang tetap terlena dengan pola pastoral “Gereja Misi”, terutama dari segi pembangunan fisik Gereja. Sebagai misal adalah kenyataan di paroki Rejeng-keuskupan Ruteng. Umat di paroki ini merasa bahwa karena pastor parokinya adalah seorang misionaris asing, maka pembangunan fisik Gereja dilihat sebagai tanggung jawab pastor paroki semata. Dengan demikian, kurangnya partisipasi umat dalam pembangunan fisik Gereja telah menjadi sebuah kebiasaan yang salah di paroki ini.
            Menanggapi situasi konkrit tersebut, maka bertolak dari inspirasi biblis yang dikutip dari perikop I Korintus, 12:12-26 tentang “Tubuh dan anggota-anggotanya”, di sana diungkapkan satu segi pemahaman mengenai Gereja yang perlu dihayati oleh umat beriman Kristen, yaitu Gereja sebagai Tubuh Kristus. Ilustrasi mengenai “Tubuh dan anggota-anggotanya” ini sangat menonjolkan ide tentang persatuan yang harus dibangun oleh anggota-anggota tubuh untuk menghidupi tubuh yang satu. Sama seperti tubuh yang terdiri dari banyak anggota, demikian pun Gereja sebagai Tubuh Kristus, terdiri dari banyak umat yang harus bekerjasama untuk menghidupi Tubuh Kristus. Sebab itu, bila direfleksikan situasi konkrit di paroki Rejeng, yang umatnya kurang berpartisipasi dalam pembangunan fisik Gereja, maka bisa ditegaskan bahwa ada schisma atau perpecahan dalam umat itu sendiri sehingga menyebabkan Tubuh Kristus berada dalam keadaan kurang sehat atau sedang sakit. Fakta ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap kebersamaan dalam Kristus yang dibuat oleh pengikut-pengikutNya sendiri.
Jadi, kritik fundamental di atas akhirnya menuntut suatu relevansi etis bagi karya pastoral selanjutnya untuk mengubah situasi ini. Untuk itu, ada beberapa solusi yang dipikirkan, antara lain dengan mengadakan regenerasi kepemimpinan pastor paroki, katekese umat secara terus-menerus mengenai “Gereja Mandiri”, perlunya kepemilikan “seni merelasikan” oleh para agen pastoral, dan pendekatan “pastoral keluarga”.
                       
5. 2. Saran Konkrit  
Dalam katekese umat tentang “Gereja Mandiri” dan pendekatan “pastoral keluarga” sebaiknya selalu dikemukakan ilustrasi mengenai “Tubuh dan anggota-anggotanya” sebagai bahan perbandingan dalam hidup menggereja. Hal ini penting untuk memberi pencerahan dan sekaligus mengatasi schisma atau perpecahan dalam relasi umat, karena kadang-kadang ada umat yang mengira lebih penting dari yang lain (perasaan superior) dan ada juga umat yang mengira perannya tidak terlalu penting dalam hidup menggereja (perasaan inferior). Ilustrasi ini hendaknya dibahasakan secara sederhana, bahwa Gereja sebagai Tubuh Kristus menuntut persatuan dari umat sekalian, agar menampakkan Tubuh Kristus secara sehat di dalam dunia ini.


[1]Kemandirian di bidang iman bertujuan agar umat menerima Allah sepenuhnya dalam diri mereka; kemandirian di bidang personal bertujuan agar pelaku utama dalam karya pastoral bukan monopoli kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; kemandirian di bidang finansial bertujuan agar segala jenis pembangunan seperti pembangunan fisik menjadi tanggung jawab seluruh umat. Mengutip Sidang Pastoral Keuskupan Weetebula (8-11 Februari 1999) dalam F. Hasto Rosariyanto (Ed.), Bercermin pada wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indoensia, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), pp. 151-152.
[2]KWI, “Surat Konferensi Waligereja Indonesia, Syukur Atas Lima Puluh Tahun Hirarki Gereja Katolik di Indonesia”, Mingguan Hidup, No. 01. Tahun ke-65, 2 Januari 2011, p. 11.
[3]Paroki Rejeng, “Dokumen Sekretariat”, Tahun 2010.
[4]Ibid.
[5]Di bidang kemandirian iman, kesannya baik karena umat terlibat aktif dalam berbagai kegiatan rohani, entah itu di tingkat paroki, stasi, lingkungan dan komunitas basis. Sedangkan di bidang kemandirian personal, pelayan pastoral tidak tertahbis pun banyak. Biasanya pastor paroki mengusahakan bantuan biaya kuliah bagi umatnya untuk bersekolah di STKIP Ruteng, yang kemudian kembali mengabdi di paroki sebagai katekis.
[6]Kecuali pada tahun 1944-1945 oleh P. Yan Bala, SVD.
[7]Berdasarkan hasil pencatatan derma misa hari Minggu di stasi pusat, hanya berkisar antara Rp. 90.000 sampai Rp. 150.000. Sedangkan harga hostia dan anggur yang harus dibeli melampaui kesanggupan derma umat yang ada. Sebagai solusinya, pastor paroki sendiri yang mencari dana tambahan untuk menutupi kekurangan biaya tersebut.
[8]Hal ini memang sempat menjadi rumor di keuskupan karena tidak ada imam pribumi yang berani dan bersedia menggantikan P. Thomas Krump, SVD sebagai pastor paroki di Rejeng.
[9]A. Robertson dan A. Plummer, A Critical And Exegetical Commentary On The First Epistle Of St. Paul To The Corinthians (Edinburgh: T. & T. Clark, 1978), p. 269. 
[10]Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), p. 388. 
[11]A. Robertson dan A. Plummer, Op. Cit., pp. 271-277. 
[12]D. E. H. Whiteley, The Theology Of St. Paul (Oxford: Basil Blackwell, 1974), p. 192.
[13]F. F. Bruce, The New Century Bible Commentary I & II Corinthians (London: Marshall, Morgan & Scott Publ. Ltd., 1984), p.122. 
[14]Gereja sebagai Tubuh Kristus di sini mengandung makna Tubuh Spiritual atau sōma pneumatikon (Bdk. I Kor., 15:44). D. E. H. Whiteley, Op. Cit., p. 194.
[15]Mengutip kuliah mimbar, Anselmus Meo, “Teologi Patoral”, (ms.), (Maumere: STFK Ledalero, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar