I. PENDAHULUAN
Legalnya
hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tak pelak menjadi
diskursus yang menarik untuk dikaji bersama. Kesannya ada dua aliran pendapat
yang saling beradu dalam menyikapi wacana ini. Di satu pihak, legalnya hukuman
mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dipandang baik karena bisa membuat para pelaku kejahatan gentar untuk
melakukan tindak kejahatan yang sama di kemudian hari. Namun di pihak lain, ada
juga yang menolak kemapanan hukum pidana terberat ini. Mereka meyakini bahwa
hukuman mati itu pada dasarnya tidak bisa dibenarkan dengan alasan dan tujuan
apa pun, sebab kehidupan manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan
hanya bisa dicabut oleh Tuhan. Negara tidak mempunyai hak sama sekali untuk
mencabut kehidupan warganya, dan pelaksanaan hukuman mati itu tidak punya dasar
moral dan etika melainkan hanyalah sebuah upaya pembalasan dendam.1
Berhadapan dengan dua aliran pendapat yang berbeda
ini, lantas muncul gugatan eksistensial perihal aliran pendapat manakah yang
mesti dituruti. Namun, menurut saya aliran pendapat kedualah yang kiranya lebih
proporsional untuk dituruti mengingat nilai hidup manusia merupakan hak asasi
terluhur, yang tidak boleh “dicabut paksa” oleh siapa pun atau oleh lembaga
mana pun. Itulah kekhasan martabat manusia sebagai persona, yang memiliki kebebasan
di dalam dirinya; memiliki nilai-nilai ultim dalam dirinya,2
sehingga semestinya dihargai sekalipun berhubungan dengan kasus tindak pidana
yang dilakoni oleh manusia itu sendiri.
Berdasarkan
setting pemikiran di atas, maka dalam paper ini saya tergugah untuk
memajukan gugatan menolak hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Dasar pertimbangannya bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi
sepatutnya menghargai warga negaranya sebagai unsur konstitutif yang membentuk
negara melalui sebuah perjanjian sosial.3
Sebagai negara demokrasi, para penguasa yang menjalankan perencanaan kehidupan
bersama di negara ini pun seyogianya menyadari skala nilai kebijakan yang mesti
diterapkan, di mana sasaran akhir yang mesti dicapai adalah kesejahteraan hidup
warga negara dalam aneka sendi kehidupan, termasuk di dalamnya menjamin hak
asasinya yang paling luhur, yaitu hak untuk hidup. Sampai pada tataran ini,
esensi penolakan hukuman mati yang saya maksudkan mendapat aksentuasinya. Bahwa
menolak hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
merupakan keniscayaan untuk mengembalikan rasa hormat negara terhadap warga
negaranya, yang memiliki hak hidup sebagai persona dalam negara demokrasi.
Dengan demikian, martabat warga negara sebagai persona terafirmasi, warga
negara yang memiliki kebebasan di dalam dirinya; memiliki nilai-nilai ultim
dalam dirinya.
Untuk membentuk pemahaman yang lebih menyeluruh soal
telaah ini, maka uraian-uraian berikut sangat penting untuk dipertimbangkan.
Fokusnya, hukuman mati mesti ditolak karena sesungguhnya tidak memiliki
preferensi hukum yang jelas, pun bahkan kesannya melecehkan martabat warga
negara sebagai persona, yang memiliki hak untuk hidup dalam negara
demokrasi.
II. BEBERAPA KEBERATAN TERHADAP LEGALNYA
HUKUMAN MATI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
2. 1. Hukuman Mati Sebagai Warisan Produk Hukum Kaum Penjajah
Hukuman mati yang diberlakukan di tanah
air Indonesia
de facto bukanlah produk hukum yang otentik, melainkan masih merupakan
hasil copy-an dari produk hukum kaum penjajah, yakni warisan hukum kaum
kolonial Belanda. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang kita kenal
sekarang awalnya bernama Wetboek van Strafrecht (Wv.S). Di dalam Wetboek
van Strafrecht ini tercantum dua pasal ancaman hukuman mati, yaitu pasal
104, tentang kejahatan terhadap keamanan negara atau makar, dan pasal 340
tentang pembunuhan berencana, yang disahkan pada tanggal 1 januari 1918 setelah
dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan bangsa
tertentu, dan yang akhirnya berlaku bagi seluruh golongan penduduk Hindia
Belanda.4 Di Indonesia, pasca kemerdekaan, produk
hukum kaum kolonial ini tetap dikukuhkan tanpa "koreksi" dalam
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 10, yang disahkan pada tahun 1946,
di samping ancaman hukum pidana pokok lainnya, seperti hukuman penjara, hukuman
kurungan, dan hukuman denda. Namun beberapa tahun sebelum bangsa Indonesia
“mengadopsi” hukuman mati ini dalam KUHPnya, pemerintah Belanda telah mencabut
ancaman hukuman mati pada sistem hukumnya, kendatipun untuk kejahatan militer
hukuman ini masih tetap dipertahankan.5
Berdasarkan
kenyataan duduk perkara produk hukum hasil copy-an di atas, maka secara
“gamblang” boleh dikatakan bahwa esensi pemberlakuan hukuman mati itu tidak
bedanya merupakan upaya mengukuhkan status quo sistem pidana mati kaum
penjajah dalam negara demokrasi tercinta ini. Hukuman mati yang diadopsi tanpa
koreksi ini adalah sebuah paradoks hukum karena oleh para penegak hukum
dianggap “baik”, tetapi bila disadari Sitz im Lebemnya, hal ini
merupakan suatu penjajahan baru bagi warga negaranya sendiri, yaitu penjajahan
hukum yang tidak manusiawi, yang tidak berbeda dengan kenyataan hukum pada masa
penjajahan. Sebagai bangsa yang telah memproklamasikan kemerdekaannya dan yang
tandas menyatakan bahwa “segala penjajahan harus dihapuskan dari atas dunia
karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”, maka bangsa
Indonesia seharusnya pula konsisten untuk tidak mengadopsi hukuman yang
paradoksal tersebut dari perangkat hukum kaum penjajah.
2. 2. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar 1945
Hukuman mati yang diterapkan secara legal
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia “terang-terangan” menyalahi aturan
penyusunan perangkat hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai sumber hukum tertinggi di negara ini. Hal ini terartikulasi dalam
aksentuasi pasal 28A UUD 1945 yang menegaskan bahwa “hak untuk hidup adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Pasal ini
membawa implikasi hukum mendasar bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya tidak lagi
menyetujui hukuman mati. Karena itu, konsekuensi logis yang harus dijiwai,
yaitu bahwa semua peraturan dan produk hukum di bawah konstitusi, yang
bertentangan dengan konstitusi, harus segera dibenahi khususnya soal hukuman
mati yang paradoksal ini.6
Berhadapan
dengan realitas kontradiktoris yang ada bahwa UUD 1945 sebagai sumber hukum
tertinggi menentang upaya pencabutan hak hidup seseorang dengan alasan dan cara
apa pun namun tidak “diindahkan” oleh para penegak hukum, maka untuk kesekian
kalinya bisa digugat lagi: preferensi manakah yang dipakai untuk mendasari
legalnya pemberlakuan hukuman mati di negara ini? Tentu saja tujuan hukuman
mati yang disinyalir sebagai shock therapy terkesan hanyalah actus
puritism (tindakan menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar) oleh
para penegak hukum untuk mempengaruhi opini publik bahwa hukuman mati itu baik
adanya atau cara yang paling efektif untuk meminimalisir tindak pidana berat.
Namun benarkah kenyataannya demikian?
Sebagai salah satu bentuk hukum pidana
yang statusnya berada di bawah sumber hukum tertinggi, hukuman mati yang
dilegalkan “sepihak” oleh aparat penegak hukum atau pemerintah yang berkuasa
sangatlah disayangkan karena terbukti mengabaikan sumber referensinya.
Penglegalan sepihak seperti ini bisa saja ditafsir negatif oleh mereka yang
jeli melihat inkonsistensi hukum seperti ini sebagai “pemaksaan kehendak yang
terkesan menjajah” oleh penguasa atau mereka yang mempunyai otoritas formal
untuk mengatur kehidupan bersama di negara ini. Pemerintah atau otoritas formal
yang berwenang dalam hal ini telah bertindak di luar batas kewenangan dengan
menetapkan sahnya suatu bentuk sistem hukum pidana yang bertentangan dengan
maksud sumber hukum tertinggi di negara ini. Dengan demikian, maka tak
terelakkan bahwa mekanisme pengaturan hidup bersama di negara ini menjadi
sangat represif dengan menggunakan media hukum yang besifat otoriter.
Pemerintah atau para penegak hukum yang berwenang tidak lagi berpihak kepada
kesejahteraan hidup bersama warga negaranya, menghargai warga negaranya sebagai
persona sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28A, yaitu menjamin hak
hidup sebagai hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun; tetapi
sebaliknya, mereka sedang bermain dalam tataran politis hukum yang eliminatif,
represif dan sadistis.
2. 3. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Konvenan Hak Sipil dan Politik
Perkembangan kesadaran manusia akan hak asasinya yang
luhur dalam aneka sendi kehidupan tidak terpungkiri telah menghantar pelbagai
bangsa kepada sebuah kesepakatan bersama untuk mendeklarasikan secara universal
hal-hal seputar hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh siapa
saja. Salah satu pokok yang tertuang dalam pasal-pasal Deklarasi Universal HAM
tersebut adalah hal-hal menyangkut hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi,7 yang tidak boleh diganggu-gugat oleh
siapa pun dan dengan cara apa pun. Kesadaran ini berimplikasi logis bahwa
hukuman mati sebagai salah satu tindakan menghilangkan nyawa orang secara paksa
adalah aktus yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Hukuman mati sebagai
salah satu bentuk hukum pidana yang berlaku di negara ini sudah tidak sesuai
lagi dengan semangat hidup global yang berusaha untuk menghargai hak hidup
orang lain dalam keadaan apa pun.
Di samping
bertentangan dengan deklarasi universal hak asasi manusia, hukuman mati juga
bertentangan dengan konvenan hak sipil dan politik, di mana sesuai dengan
protokol kedua tahun 1990, hukuman mati sudah tidak diperbolehkan lagi untuk
diberlakukan dalam sistem peradilan pidana. Benar bahwa sebelumnya hukuman mati
masih diperbolehkan bagi negara-negara yang belum menghapus hukuman mati dalam
perangkat hukumnya, namun hukuman mati itu hanya berlaku untuk kejahatan
serius, seperti kejahatan perang atau genosida. Sedangkan untuk tindak pidana
lainnya tidak dimaksudkan sebagaimana yang diundang-undangkan dalam perangkat
hukum pidana di negara Indonesia.8
Berdasarkan kedua pendasaran di atas yang tentunya
kontras dengan keadaan riil pemberlakuan hukuman mati di negara ini, maka
semakin menjadi jelas bagi kita bahwa hukuman mati itu adalah bentuk hukum yang
paradoksal dan semestinya dipertimbangkan kembali dasar legalitasnya di negara
ini. Sebab, sebagai satu masyarakat manusia yang hidup di dalam dunia global,
bangsa Indonesia sudah seharusnya turut memperhatikan dan menghargai hal-hal
esensiil yang menjadi harapan bersama sebagaimana diutarakan dalam
deklarasi-deklarasi universal maupun konvenan-konvenan.
III. LEGALNYA
HUKUMAN MATI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA MELECEHKAN HAK HIDUP
WARGA NEGARA SEBAGAI PERSONA
Indonesia
sebagai negara demokrasi sepatutnya menyadari bahwa kehidupan warga negara
sebagai unsur konstitutif pembentuk negara adalah nilai terpenting yang mesti
dipelihara dan dijamin. Namun ironisnya, kesadaran seperti ini belum nampak
dalam ranah praksis kebijakan negara. Hak hidup warga negara masih terus
dieliminir melalui rancangan hukum yang kontoversial, sebagai misal hukuman
mati. Untuk itu, uraian berikut adalah kritik terhadap pemberlakuan hukuman
mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebagai pembelaan atas hak
hidup warga negara.
3. 1. Legalnya Hukuman Mati Dalam Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia Adalah Sebuah Tindak Kejahatan Kemanusiaan
“Berdasarkan
catatan berbagai lembaga HAM internasional, Indonesia termasuk salah satu
negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya.
Angka mereka yang dihukum mati di Indonesia termasuk cukup tinggi setelah Cina,
Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran”,9
demikianlah salah satu kutipan dari Pernyataan Pers yang berusaha
mengumandangkan keharusan menolak hukuman mati di Indonesia. Data ini eksplisit
mendudukkan negara Indonesia pada peringkat enam dunia dalam kerangka
“keberhasilannya” mengupayakan penerapan sistem pidana mati bagi rakyatnya
sendiri (para terpidana). Tentunya ini adalah hal yang mungkin membanggakan
bagi para penegak hukum di negeri ini berdasarkan klaim bahwa mereka telah
menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. Tetapi, realistiskah seluruh anak bangsa harus
turut berbangga dengan posisi catatan HAM yang paradoksal ini?
Hukuman mati
sebagai kenyataan hukum yang paradoksal di negeri ini dalam catatan HAM di atas
tentunya bukanlah “apresiasi” bagi keberhasilan upaya penegakan hukum di negeri
ini. Catatan itu mengindikasikan sebuah warning bagi bangsa Indonesia
untuk menyadari bahwa sebenarnya hukuman mati yang dilegalkan dalam sistem
peradilan pidananya itu sangatlah “disayangkan”. Alasan mendasarnya bahwa
hukuman mati itu telah melecehkan keluhuran martabat manusia dan sama sekali
tidak menghormati hak asasi manusia yang sangat diagung-agungkan sebagai
anugerah termulia dari Tuhan, yaitu hak untuk hidup. Dengan legalnya hukuman
mati dalam sistem hukum pidana ini, maka sebenarnya “catatan merah” telah
digariskan untuk aparat penegak hukum, dan terutama kepada pemerintah, yakni
bahwa negara pada dasarnya sedang melakonkan sebuah kejahatan kemanusiaan yang
sistematis terhadap warga negaranya sendiri.
Hukuman mati
yang diperundang-undangkan itu dikatakan sebagai tindak kejahatan kemanusiaan
sistematis oleh negara karena potensial bisa digunakan untuk menjerat tindak
pidana tertentu, yang mengakibatkan seorang terpidana tanpa banyak kata harus
menerima hukuman paradoksal ini meskipun dengan berat hati. Mereka (para
terpidana) harus mengakhiri hidupnya secara mengenaskan, ditembak mati di
hadapan regu tembak pemerintah. Mengapa terjadi demikian? Pertanyaan ini
mungkin bisa dijawab dengan membenarkan sebuah kritikan tajam yang pernah
dilontarkan beberapa tahun silam oleh seorang Mulya Lubis sebagai berikut:
“rupanya hak untuk hidup masih belum betul-betul terjamin di tangan aparat
penegak hukum kita, dan banyak orang yang melupakan bahwa ada yang hatinya
terluka”.10 Aparat penegak hukum,
terutama pemerintah, seakan lupa akan tanggung jawabnya yang paling dasariah
untuk menjamin penghidupan yang layak bagi warga negaranya, terutama hak untuk
hidup dan mendapatkan jaminan keamanan. Mereka memungkiri hakikat keluhuran
tujuan pemidanaan, yang sebenarnya bukan dimaksudkan untuk “mengeliminir hidup
manusia” melainkan mengarahkan para pelaku tindak pidana kepada reintrospeksi
diri akan segala sepak terjangnya yang salah agar kembali ke jalan yang benar.
Berdasarkan telaah ini, maka tidaklah berlebihan bila
dikatakan bahwa legalnya hukuman mati dalam sistem peradilan pidana ini pada
hakikatnya juga merupakan suatu bentuk kejahatan negara pra-meditation.
Maksudnya, dengan memberlakukan hukuman mati dalam sistem pidana, negara sedang
melakonkan suatu actus berpikir dan perencanaan terhadap suatu
pembunuhan yang dilakukan dan dipersiapkan secara sistematis dan matang terlebih
dahulu.11 Negara “tanpa banyak pikir”
mengadministrasikan sistem pidana paling kontroversial ini dalam
perundang-undangannya, sehingga impresif (bersifat memaksa) dan sangat
sulit untuk diganggu-gugat. Akhirnya, konsekuensi tragis yang harus dipikul
oleh para tepidana ialah bahwa hak hidup mereka harus dicabut secara paksa.
Dengan
demikian, patut dicatat di sini bahwa mata rantai kejahatan “bunuh-membunuh”
tak terputuskan di negara ini. Negara dengan segala kewibawaan hukum dan hak
preoregatifnya secara sistematis melakonkan tindak kejahatan kemanusiaan dengan
mengusung sistem hukuman “pembalasan”. Hukuman “pembalasan” itu bukanlah
tindakan yang adil berdasarkan keadilan bahwa yang melakukan kejahatan harus
dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Hukuman “pembalasan”
sebenarnya merupakan negasi yang memperguncingkan bahwa apabila seseorang ingin
membalaskan sesuatu kejahatan entah dengan cara apa saja, maka orang
bersangkutan itu juga sebenarnya terjebak dalam tindak kejahatan yang sama.
Dalam konteks ini, pada dasarnya tidak ada ruang bagi “paham pembalasan” di
antara manusia yang beradab. Oleh karena itu dalam Kitab Taurat, Ulangan 32:35,
ditulis sebagai peringatan Allah bagi manusia bahwa: “Hak-Kulah dendam dan
pembalasan!”.12 Manusia tidak memiliki
kuasa sedikit pun untuk melakukan tindakan balas dendam terhadap sesamanya
manusia, apalagi tindakan balas dendam tersebut begitu sadis dan sistematis
sebagaimana yang ditunjukkan dalam praktik legalnya hukuman mati di negara ini.
3. 3. Menolak Hukuman Mati: Jaminan Pemenuhan Hak
Hidup
Hukuman mati sebagai sistem
pidana yang paling tertua dalam usianya, setua usia kehidupan manusia, dan
paling kontroversial dari semua sistem pidana yang ada sudah seharusnya
ditinjau kembali kelegalannya dalam perangkat hukum pidana dewasa ini. Dasar
argumentasi yang bisa direkomendasikan, yaitu bahwa hukuman mati itu pada
hakikatnya sama sekali tidak mencerminkan penghargaan terhadap hak asasi
manusia yang in se merupakan dasar kemanusiaan universal. Bentuk hukuman
yang baik tentulah harus tetap mengacu kepada kodrat keluhuran martabat manusia
yang perlu dihargai, apalagi itu menyangkut hak untuk hidup yang dasarnya
merupakan anugerah termulia dari Tuhan sendiri.
Keharusan
penolakan terhadap pemberlakuan hukuman mati di negara ini mempunyai dasarnya
yang paling esensiil dalam kerancuan eksistensial, di mana terjadi
inkonsistensi dalam perangkat hukum di negara ini, bahkan dengan sumber hukum
tertinggi, yaitu UUD 1945 yang menjamin hak hidup setiap warga negara
sebagaimana tercantum dalam pasal 28A. Hukuman mati yang dilegalkan di negara
ini pun tidak memiliki referensi yang jelas, sehingga pada segala waktu tetap
memicu aneka perdebatan bahkan pengutukan dari pihak tertentu yang menilai
sistem hukum pidana ini sebagai alat sistematis yang digunakan oleh negara
untuk melakukan tindak kejahatan kemanusiaan. Ada beberapa argumen yang
memperlihatkan penolakan terhadap sistem pidana paradoksal ini, yaitu:
Pertama:
pidana mati merupakan pidana mutlak, sehingga bila terjadi kesalahan hakim
dalam menjatuhkan pidana karena keterangan saksi dan alat bukti lainnya pada
waktu perkara diperiksa belum lengkap, tidak dapat diperbaiki lagi.
Kedua: pidana mati tidak
akan mencapai tujuan membina dan membimbing pelaku tindak pidana menjadi
anggota masyarakat yang baik dan berguna.13
Selain
itu pula, keharusan menolak hukuman mati dalam sistem hukum pidana dimaksudkan
juga untuk mengembalikan validitas hukum yang pada dasarnya patut menghargai
kodrat rasional manusia dan kebebasannya sebagai sumber ketaatan legal.
Maksudnya bahwa sistem hukum pidana yang berlaku tidak boleh mengabaikan aspek
ini, yaitu bahwa hukum disusun untuk membuat manusia menjadi baik, mengarahkan
mereka pada tujuan akhir, dan menunjukkan sarana yang cocok untuk mencapai
tujuan tersebut. Tujuan itu tidak lain adalah kesejahteraan hidup manusia itu
sendiri, yang oleh St. Thomas Aquinas diartikulasikan secara universal dengan
istilah bonum commune (kesejahteraan bersama). Dengan demikian, maka
nilai kedudukan manusia di hadapan hukum merupakan faktor penting untuk
realisasi hukum.14 Nilai kedudukan manusia
ini bersifat dasariah yang tidak boleh diabrogasi dengan cara apa pun dan dalam
keadaan apa pun.
Dengan
menolak pemberlakuan hukuman mati di negara ini, maka cita-cita kemanusiaan
universal yaitu merdeka dari hukuman mati sebagaimana yang didambakan dalam
batang tubuh UUD 1945 pasal 28A dan aneka deklarasi universal dan konvenan
menyangkut hak asasi manusia untuk hidup semakin terjamin. Negara tidak akan
lagi bertindak seolah-olah sebagai “Tuhan kecil” yang menentukan hak hidup
seseorang, serta penjajahan ala hukum semakin dijauhkan dari khazanah hukum
kita.
3. 4. Hukuman Pidana Seumur Hidup Sebagai Solusi
Untuk Merdeka Dari Hukuman Mati
Keberatan terhadap pemberlakuan hukuman mati
sebagaimana diutarakan di atas tentunya bukan berarti bahwa segala bentuk
tindak pidana berat tidak boleh dikenakan hukuman apa pun. Sebagai negara
demokrasi yang menjunjung tinggi hukum untuk mengatur kehidupan bersama, maka
hukuman sebagai satu konsekuensi logis dari reaksi terhadap tindakan kejahatan
tertentu tetap harus diberikan sebagai koreksi agar para terhukum menyadari
kesalahan tindakan yang diperbuatnya, sehingga di kemudian hari tindakan yang
sama tidak diulangi lagi oleh mereka atau pun oleh orang lain. Namun, solusi
hukuman seperti apakah yang bisa dikenakan kepada mereka yang melakukan tindak
pidana berat, dengan tetap menghargai keluhuran hak asasi mereka untuk
hidup?
Untuk
menjawabi pertanyaan ini, maka preferensi yang perlu disikapi tidak lain adalah
hukuman seumur hidup sebagai bentuk hukuman yang tetap menghargai keluhuran hak
asasi manusia untuk hidup. Hukuman seumur hidup cukup bernilai penting dalam
peradilan tindak pidana karena setiap keputusan pengadilan selalu mengandung
kemungkinan untuk salah, apalagi itu menyangkut nyawa manusia. Keputusan
absolut dengan membunuh si terhukum lewat hukuman mati akan menutup kemungkinan
koreksi apabila ada kesalahan keputusan pengadilan karena saksi atau data kurang
lengkap. Rehabilitasi yang dicantumkan pada nisan almarhum tidak bermakna
apa-apa, dan bahkan sangat disayangkan karena keputusan yang “tergopoh-gopoh” oleh
negara untuk menghilangkan nyawa orang tak bersalah. Sebab itu, hukuman seumur
hidup bisa menjadi semacam solusi untuk tetap menjamin hak hidup manusia dan
menghindari kesalahan peradilan pidana yang dapat keliru.
Hukuman
seumur hidup sebagai solusi untuk merdeka dari hukuman mati sudah saatnya untuk
dioptimalkan sebagai suatu bentuk penghargaan yang memadai terhadap keluhuran
martabat manusia dan menjamin cita-cita universal hak hidup manusia. Dan sudah
saatnya juga kita memajukan gagasan bahwa negara tidak boleh bertindak sebagai
Tuhan, mencabut nyawa, sehingga mata rantai bunuh-membunuh sebagai satu
lingkaran setan, kejahatan tak beradab di negara ini dapat diakhiri.
IV. PENUTUP
Legalnya
hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memang semestinya
ditolak pasalnya tidak ada preferensi hukum yang jelas di sana. Hukuman mati
juga mesti ditolak karena hak hidup warga negara sebagai persona lebih penting
dalam sebuah negara demokrasi. Warga negara adalah unsur konstitutif pembentuk
negara yang tidak boleh dilecehkan martabatnya, terutama hak hakikinya untuk
hidup.
3”Hak Konstitusional
Warga Negara”, dalam http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1182424155&archive=&start_from=&ucat=2&. Diakses: tanggal 3 Desember 2007.
4M. R. Nashidik, “Keharusan Menolak Hukuman
Mati”, dalam http://www.xs4all.nl/~endi/imparsial/Death
row250203.htm. Diakses: tanggal 28 Oktober 2007.
10T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita, cet. I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), p. 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar