Selasa, 19 Maret 2013

MENOLAK HUKUMAN MATI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA (Sebuah Pembelaan Atas Hak Hidup Warga Negara Sebagai Persona Dalam Negara Demokrasi)



I. PENDAHULUAN

            Legalnya hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tak pelak menjadi diskursus yang menarik untuk dikaji bersama. Kesannya ada dua aliran pendapat yang saling beradu dalam menyikapi wacana ini. Di satu pihak, legalnya hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dipandang baik karena bisa membuat para pelaku kejahatan gentar untuk melakukan tindak kejahatan yang sama di kemudian hari. Namun di pihak lain, ada juga yang menolak kemapanan hukum pidana terberat ini. Mereka meyakini bahwa hukuman mati itu pada dasarnya tidak bisa dibenarkan dengan alasan dan tujuan apa pun, sebab kehidupan manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan hanya bisa dicabut oleh Tuhan. Negara tidak mempunyai hak sama sekali untuk mencabut kehidupan warganya, dan pelaksanaan hukuman mati itu tidak punya dasar moral dan etika melainkan hanyalah sebuah upaya pembalasan dendam.1
Berhadapan dengan dua aliran pendapat yang berbeda ini, lantas muncul gugatan eksistensial perihal aliran pendapat manakah yang mesti dituruti. Namun, menurut saya aliran pendapat kedualah yang kiranya lebih proporsional untuk dituruti mengingat nilai hidup manusia merupakan hak asasi terluhur, yang tidak boleh “dicabut paksa” oleh siapa pun atau oleh lembaga mana pun. Itulah kekhasan martabat manusia sebagai persona, yang memiliki kebebasan di dalam dirinya; memiliki nilai-nilai ultim dalam dirinya,2 sehingga semestinya dihargai sekalipun berhubungan dengan kasus tindak pidana yang dilakoni oleh manusia itu sendiri.
            Berdasarkan setting pemikiran di atas, maka dalam paper ini saya tergugah untuk memajukan gugatan menolak hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dasar pertimbangannya bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi sepatutnya menghargai warga negaranya sebagai unsur konstitutif yang membentuk negara melalui sebuah perjanjian sosial.3 Sebagai negara demokrasi, para penguasa yang menjalankan perencanaan kehidupan bersama di negara ini pun seyogianya menyadari skala nilai kebijakan yang mesti diterapkan, di mana sasaran akhir yang mesti dicapai adalah kesejahteraan hidup warga negara dalam aneka sendi kehidupan, termasuk di dalamnya menjamin hak asasinya yang paling luhur, yaitu hak untuk hidup. Sampai pada tataran ini, esensi penolakan hukuman mati yang saya maksudkan mendapat aksentuasinya. Bahwa menolak hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan keniscayaan untuk mengembalikan rasa hormat negara terhadap warga negaranya, yang memiliki hak hidup sebagai persona dalam negara demokrasi. Dengan demikian, martabat warga negara sebagai persona terafirmasi, warga negara yang memiliki kebebasan di dalam dirinya; memiliki nilai-nilai ultim dalam dirinya.
            Untuk membentuk pemahaman yang lebih menyeluruh soal telaah ini, maka uraian-uraian berikut sangat penting untuk dipertimbangkan. Fokusnya, hukuman mati mesti ditolak karena sesungguhnya tidak memiliki preferensi hukum yang jelas, pun bahkan kesannya melecehkan martabat warga negara sebagai persona, yang memiliki hak untuk hidup dalam negara demokrasi.  


II. BEBERAPA KEBERATAN TERHADAP LEGALNYA HUKUMAN MATI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

2. 1. Hukuman Mati Sebagai Warisan Produk Hukum Kaum Penjajah
Hukuman mati yang diberlakukan di tanah air Indonesia de facto bukanlah produk hukum yang otentik, melainkan masih merupakan hasil copy-an dari produk hukum kaum penjajah, yakni warisan hukum kaum kolonial Belanda. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang kita kenal sekarang awalnya bernama Wetboek van Strafrecht (Wv.S). Di dalam Wetboek van Strafrecht ini tercantum dua pasal ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104, tentang kejahatan terhadap keamanan negara atau makar, dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana, yang disahkan pada tanggal 1 januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan bangsa tertentu, dan yang akhirnya berlaku bagi seluruh golongan penduduk Hindia Belanda.4 Di Indonesia, pasca kemerdekaan, produk hukum kaum kolonial ini tetap dikukuhkan tanpa "koreksi" dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 10, yang disahkan pada tahun 1946, di samping ancaman hukum pidana pokok lainnya, seperti hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Namun beberapa tahun sebelum bangsa Indonesia “mengadopsi” hukuman mati ini dalam KUHPnya, pemerintah Belanda telah mencabut ancaman hukuman mati pada sistem hukumnya, kendatipun untuk kejahatan militer hukuman ini masih tetap dipertahankan.5
            Berdasarkan kenyataan duduk perkara produk hukum hasil copy-an di atas, maka secara “gamblang” boleh dikatakan bahwa esensi pemberlakuan hukuman mati itu tidak bedanya merupakan upaya mengukuhkan status quo sistem pidana mati kaum penjajah dalam negara demokrasi tercinta ini. Hukuman mati yang diadopsi tanpa koreksi ini adalah sebuah paradoks hukum karena oleh para penegak hukum dianggap “baik”, tetapi bila disadari Sitz im Lebemnya, hal ini merupakan suatu penjajahan baru bagi warga negaranya sendiri, yaitu penjajahan hukum yang tidak manusiawi, yang tidak berbeda dengan kenyataan hukum pada masa penjajahan. Sebagai bangsa yang telah memproklamasikan kemerdekaannya dan yang tandas menyatakan bahwa “segala penjajahan harus dihapuskan dari atas dunia karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”, maka bangsa Indonesia seharusnya pula konsisten untuk tidak mengadopsi hukuman yang paradoksal tersebut dari perangkat hukum kaum penjajah.

2. 2. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar 1945
Hukuman mati yang diterapkan secara legal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia “terang-terangan” menyalahi aturan penyusunan perangkat hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di negara ini. Hal ini terartikulasi dalam aksentuasi pasal 28A UUD 1945 yang menegaskan bahwa “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Pasal ini membawa implikasi hukum mendasar bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya tidak lagi menyetujui hukuman mati. Karena itu, konsekuensi logis yang harus dijiwai, yaitu bahwa semua peraturan dan produk hukum di bawah konstitusi, yang bertentangan dengan konstitusi, harus segera dibenahi khususnya soal hukuman mati yang paradoksal ini.6
            Berhadapan dengan realitas kontradiktoris yang ada bahwa UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi menentang upaya pencabutan hak hidup seseorang dengan alasan dan cara apa pun namun tidak “diindahkan” oleh para penegak hukum, maka untuk kesekian kalinya bisa digugat lagi: preferensi manakah yang dipakai untuk mendasari legalnya pemberlakuan hukuman mati di negara ini? Tentu saja tujuan hukuman mati yang disinyalir sebagai shock therapy terkesan hanyalah actus puritism (tindakan menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar) oleh para penegak hukum untuk mempengaruhi opini publik bahwa hukuman mati itu baik adanya atau cara yang paling efektif untuk meminimalisir tindak pidana berat. Namun benarkah kenyataannya demikian?
Sebagai salah satu bentuk hukum pidana yang statusnya berada di bawah sumber hukum tertinggi, hukuman mati yang dilegalkan “sepihak” oleh aparat penegak hukum atau pemerintah yang berkuasa sangatlah disayangkan karena terbukti mengabaikan sumber referensinya. Penglegalan sepihak seperti ini bisa saja ditafsir negatif oleh mereka yang jeli melihat inkonsistensi hukum seperti ini sebagai “pemaksaan kehendak yang terkesan menjajah” oleh penguasa atau mereka yang mempunyai otoritas formal untuk mengatur kehidupan bersama di negara ini. Pemerintah atau otoritas formal yang berwenang dalam hal ini telah bertindak di luar batas kewenangan dengan menetapkan sahnya suatu bentuk sistem hukum pidana yang bertentangan dengan maksud sumber hukum tertinggi di negara ini. Dengan demikian, maka tak terelakkan bahwa mekanisme pengaturan hidup bersama di negara ini menjadi sangat represif dengan menggunakan media hukum yang besifat otoriter. Pemerintah atau para penegak hukum yang berwenang tidak lagi berpihak kepada kesejahteraan hidup bersama warga negaranya, menghargai warga negaranya sebagai persona sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28A, yaitu menjamin hak hidup sebagai hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun; tetapi sebaliknya, mereka sedang bermain dalam tataran politis hukum yang eliminatif, represif dan sadistis.
                 
2. 3. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvenan Hak Sipil dan Politik
            Perkembangan kesadaran manusia akan hak asasinya yang luhur dalam aneka sendi kehidupan tidak terpungkiri telah menghantar pelbagai bangsa kepada sebuah kesepakatan bersama untuk mendeklarasikan secara universal hal-hal seputar hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh siapa saja. Salah satu pokok yang tertuang dalam pasal-pasal Deklarasi Universal HAM tersebut adalah hal-hal menyangkut hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi,7 yang tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Kesadaran ini berimplikasi logis bahwa hukuman mati sebagai salah satu tindakan menghilangkan nyawa orang secara paksa adalah aktus yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukum pidana yang berlaku di negara ini sudah tidak sesuai lagi dengan semangat hidup global yang berusaha untuk menghargai hak hidup orang lain dalam keadaan apa pun.      
Di samping bertentangan dengan deklarasi universal hak asasi manusia, hukuman mati juga bertentangan dengan konvenan hak sipil dan politik, di mana sesuai dengan protokol kedua tahun 1990, hukuman mati sudah tidak diperbolehkan lagi untuk diberlakukan dalam sistem peradilan pidana. Benar bahwa sebelumnya hukuman mati masih diperbolehkan bagi negara-negara yang belum menghapus hukuman mati dalam perangkat hukumnya, namun hukuman mati itu hanya berlaku untuk kejahatan serius, seperti kejahatan perang atau genosida. Sedangkan untuk tindak pidana lainnya tidak dimaksudkan sebagaimana yang diundang-undangkan dalam perangkat hukum pidana di negara Indonesia.8
            Berdasarkan kedua pendasaran di atas yang tentunya kontras dengan keadaan riil pemberlakuan hukuman mati di negara ini, maka semakin menjadi jelas bagi kita bahwa hukuman mati itu adalah bentuk hukum yang paradoksal dan semestinya dipertimbangkan kembali dasar legalitasnya di negara ini. Sebab, sebagai satu masyarakat manusia yang hidup di dalam dunia global, bangsa Indonesia sudah seharusnya turut memperhatikan dan menghargai hal-hal esensiil yang menjadi harapan bersama sebagaimana diutarakan dalam deklarasi-deklarasi universal maupun konvenan-konvenan.


III. LEGALNYA HUKUMAN MATI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA MELECEHKAN HAK HIDUP WARGA NEGARA SEBAGAI PERSONA
            Indonesia sebagai negara demokrasi sepatutnya menyadari bahwa kehidupan warga negara sebagai unsur konstitutif pembentuk negara adalah nilai terpenting yang mesti dipelihara dan dijamin. Namun ironisnya, kesadaran seperti ini belum nampak dalam ranah praksis kebijakan negara. Hak hidup warga negara masih terus dieliminir melalui rancangan hukum yang kontoversial, sebagai misal hukuman mati. Untuk itu, uraian berikut adalah kritik terhadap pemberlakuan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebagai pembelaan atas hak hidup warga negara.

3. 1. Legalnya Hukuman Mati Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Adalah Sebuah Tindak Kejahatan Kemanusiaan
“Berdasarkan catatan berbagai lembaga HAM internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya. Angka mereka yang dihukum mati di Indonesia termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran”,9 demikianlah salah satu kutipan dari Pernyataan Pers yang berusaha mengumandangkan keharusan menolak hukuman mati di Indonesia. Data ini eksplisit mendudukkan negara Indonesia pada peringkat enam dunia dalam kerangka “keberhasilannya” mengupayakan penerapan sistem pidana mati bagi rakyatnya sendiri (para terpidana). Tentunya ini adalah hal yang mungkin membanggakan bagi para penegak hukum di negeri ini berdasarkan klaim bahwa mereka telah menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. Tetapi, realistiskah seluruh anak bangsa harus turut berbangga dengan posisi catatan HAM yang paradoksal ini?
Hukuman mati sebagai kenyataan hukum yang paradoksal di negeri ini dalam catatan HAM di atas tentunya bukanlah “apresiasi” bagi keberhasilan upaya penegakan hukum di negeri ini. Catatan itu mengindikasikan sebuah warning bagi bangsa Indonesia untuk menyadari bahwa sebenarnya hukuman mati yang dilegalkan dalam sistem peradilan pidananya itu sangatlah “disayangkan”. Alasan mendasarnya bahwa hukuman mati itu telah melecehkan keluhuran martabat manusia dan sama sekali tidak menghormati hak asasi manusia yang sangat diagung-agungkan sebagai anugerah termulia dari Tuhan, yaitu hak untuk hidup. Dengan legalnya hukuman mati dalam sistem hukum pidana ini, maka sebenarnya “catatan merah” telah digariskan untuk aparat penegak hukum, dan terutama kepada pemerintah, yakni bahwa negara pada dasarnya sedang melakonkan sebuah kejahatan kemanusiaan yang sistematis terhadap warga negaranya sendiri.
Hukuman mati yang diperundang-undangkan itu dikatakan sebagai tindak kejahatan kemanusiaan sistematis oleh negara karena potensial bisa digunakan untuk menjerat tindak pidana tertentu, yang mengakibatkan seorang terpidana tanpa banyak kata harus menerima hukuman paradoksal ini meskipun dengan berat hati. Mereka (para terpidana) harus mengakhiri hidupnya secara mengenaskan, ditembak mati di hadapan regu tembak pemerintah. Mengapa terjadi demikian? Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab dengan membenarkan sebuah kritikan tajam yang pernah dilontarkan beberapa tahun silam oleh seorang Mulya Lubis sebagai berikut: “rupanya hak untuk hidup masih belum betul-betul terjamin di tangan aparat penegak hukum kita, dan banyak orang yang melupakan bahwa ada yang hatinya terluka”.10 Aparat penegak hukum, terutama pemerintah, seakan lupa akan tanggung jawabnya yang paling dasariah untuk menjamin penghidupan yang layak bagi warga negaranya, terutama hak untuk hidup dan mendapatkan jaminan keamanan. Mereka memungkiri hakikat keluhuran tujuan pemidanaan, yang sebenarnya bukan dimaksudkan untuk “mengeliminir hidup manusia” melainkan mengarahkan para pelaku tindak pidana kepada reintrospeksi diri akan segala sepak terjangnya yang salah agar kembali ke jalan yang benar.
            Berdasarkan telaah ini, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa legalnya hukuman mati dalam sistem peradilan pidana ini pada hakikatnya juga merupakan suatu bentuk kejahatan negara pra-meditation. Maksudnya, dengan memberlakukan hukuman mati dalam sistem pidana, negara sedang melakonkan suatu actus berpikir dan perencanaan terhadap suatu pembunuhan yang dilakukan dan dipersiapkan secara sistematis dan matang terlebih dahulu.11 Negara “tanpa banyak pikir” mengadministrasikan sistem pidana paling kontroversial ini dalam perundang-undangannya, sehingga impresif (bersifat memaksa) dan sangat sulit untuk diganggu-gugat. Akhirnya, konsekuensi tragis yang harus dipikul oleh para tepidana ialah bahwa hak hidup mereka harus dicabut secara paksa.
Dengan demikian, patut dicatat di sini bahwa mata rantai kejahatan “bunuh-membunuh” tak terputuskan di negara ini. Negara dengan segala kewibawaan hukum dan hak preoregatifnya secara sistematis melakonkan tindak kejahatan kemanusiaan dengan mengusung sistem hukuman “pembalasan”. Hukuman “pembalasan” itu bukanlah tindakan yang adil berdasarkan keadilan bahwa yang melakukan kejahatan harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Hukuman “pembalasan” sebenarnya merupakan negasi yang memperguncingkan bahwa apabila seseorang ingin membalaskan sesuatu kejahatan entah dengan cara apa saja, maka orang bersangkutan itu juga sebenarnya terjebak dalam tindak kejahatan yang sama. Dalam konteks ini, pada dasarnya tidak ada ruang bagi “paham pembalasan” di antara manusia yang beradab. Oleh karena itu dalam Kitab Taurat, Ulangan 32:35, ditulis sebagai peringatan Allah bagi manusia bahwa: “Hak-Kulah dendam dan pembalasan!”.12 Manusia tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk melakukan tindakan balas dendam terhadap sesamanya manusia, apalagi tindakan balas dendam tersebut begitu sadis dan sistematis sebagaimana yang ditunjukkan dalam praktik legalnya hukuman mati di negara ini.

3. 3. Menolak Hukuman Mati: Jaminan Pemenuhan Hak Hidup
Hukuman mati sebagai sistem pidana yang paling tertua dalam usianya, setua usia kehidupan manusia, dan paling kontroversial dari semua sistem pidana yang ada sudah seharusnya ditinjau kembali kelegalannya dalam perangkat hukum pidana dewasa ini. Dasar argumentasi yang bisa direkomendasikan, yaitu bahwa hukuman mati itu pada hakikatnya sama sekali tidak mencerminkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang in se merupakan dasar kemanusiaan universal. Bentuk hukuman yang baik tentulah harus tetap mengacu kepada kodrat keluhuran martabat manusia yang perlu dihargai, apalagi itu menyangkut hak untuk hidup yang dasarnya merupakan anugerah termulia dari Tuhan sendiri.
            Keharusan penolakan terhadap pemberlakuan hukuman mati di negara ini mempunyai dasarnya yang paling esensiil dalam kerancuan eksistensial, di mana terjadi inkonsistensi dalam perangkat hukum di negara ini, bahkan dengan sumber hukum tertinggi, yaitu UUD 1945 yang menjamin hak hidup setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam pasal 28A. Hukuman mati yang dilegalkan di negara ini pun tidak memiliki referensi yang jelas, sehingga pada segala waktu tetap memicu aneka perdebatan bahkan pengutukan dari pihak tertentu yang menilai sistem hukum pidana ini sebagai alat sistematis yang digunakan oleh negara untuk melakukan tindak kejahatan kemanusiaan. Ada beberapa argumen yang memperlihatkan penolakan terhadap sistem pidana paradoksal ini, yaitu:
            Pertama: pidana mati merupakan pidana mutlak, sehingga bila terjadi kesalahan hakim dalam menjatuhkan pidana karena keterangan saksi dan alat bukti lainnya pada waktu perkara diperiksa belum lengkap, tidak dapat diperbaiki lagi.
Kedua: pidana mati tidak akan mencapai tujuan membina dan membimbing pelaku tindak pidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.13    
            Selain itu pula, keharusan menolak hukuman mati dalam sistem hukum pidana dimaksudkan juga untuk mengembalikan validitas hukum yang pada dasarnya patut menghargai kodrat rasional manusia dan kebebasannya sebagai sumber ketaatan legal. Maksudnya bahwa sistem hukum pidana yang berlaku tidak boleh mengabaikan aspek ini, yaitu bahwa hukum disusun untuk membuat manusia menjadi baik, mengarahkan mereka pada tujuan akhir, dan menunjukkan sarana yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan itu tidak lain adalah kesejahteraan hidup manusia itu sendiri, yang oleh St. Thomas Aquinas diartikulasikan secara universal dengan istilah bonum commune (kesejahteraan bersama). Dengan demikian, maka nilai kedudukan manusia di hadapan hukum merupakan faktor penting untuk realisasi hukum.14 Nilai kedudukan manusia ini bersifat dasariah yang tidak boleh diabrogasi dengan cara apa pun dan dalam keadaan apa pun.
            Dengan menolak pemberlakuan hukuman mati di negara ini, maka cita-cita kemanusiaan universal yaitu merdeka dari hukuman mati sebagaimana yang didambakan dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28A dan aneka deklarasi universal dan konvenan menyangkut hak asasi manusia untuk hidup semakin terjamin. Negara tidak akan lagi bertindak seolah-olah sebagai “Tuhan kecil” yang menentukan hak hidup seseorang, serta penjajahan ala hukum semakin dijauhkan dari khazanah hukum kita.

3. 4. Hukuman Pidana Seumur Hidup Sebagai Solusi Untuk Merdeka Dari Hukuman Mati
            Keberatan terhadap pemberlakuan hukuman mati sebagaimana diutarakan di atas tentunya bukan berarti bahwa segala bentuk tindak pidana berat tidak boleh dikenakan hukuman apa pun. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum untuk mengatur kehidupan bersama, maka hukuman sebagai satu konsekuensi logis dari reaksi terhadap tindakan kejahatan tertentu tetap harus diberikan sebagai koreksi agar para terhukum menyadari kesalahan tindakan yang diperbuatnya, sehingga di kemudian hari tindakan yang sama tidak diulangi lagi oleh mereka atau pun oleh orang lain. Namun, solusi hukuman seperti apakah yang bisa dikenakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana berat, dengan tetap menghargai keluhuran hak asasi mereka untuk hidup?  
            Untuk menjawabi pertanyaan ini, maka preferensi yang perlu disikapi tidak lain adalah hukuman seumur hidup sebagai bentuk hukuman yang tetap menghargai keluhuran hak asasi manusia untuk hidup. Hukuman seumur hidup cukup bernilai penting dalam peradilan tindak pidana karena setiap keputusan pengadilan selalu mengandung kemungkinan untuk salah, apalagi itu menyangkut nyawa manusia. Keputusan absolut dengan membunuh si terhukum lewat hukuman mati akan menutup kemungkinan koreksi apabila ada kesalahan keputusan pengadilan karena saksi atau data kurang lengkap. Rehabilitasi yang dicantumkan pada nisan almarhum tidak bermakna apa-apa, dan bahkan sangat disayangkan karena keputusan yang “tergopoh-gopoh” oleh negara untuk menghilangkan nyawa orang tak bersalah. Sebab itu, hukuman seumur hidup bisa menjadi semacam solusi untuk tetap menjamin hak hidup manusia dan menghindari kesalahan peradilan pidana yang dapat keliru.
            Hukuman seumur hidup sebagai solusi untuk merdeka dari hukuman mati sudah saatnya untuk dioptimalkan sebagai suatu bentuk penghargaan yang memadai terhadap keluhuran martabat manusia dan menjamin cita-cita universal hak hidup manusia. Dan sudah saatnya juga kita memajukan gagasan bahwa negara tidak boleh bertindak sebagai Tuhan, mencabut nyawa, sehingga mata rantai bunuh-membunuh sebagai satu lingkaran setan, kejahatan tak beradab di negara ini dapat diakhiri.

IV. PENUTUP

            Legalnya hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memang semestinya ditolak pasalnya tidak ada preferensi hukum yang jelas di sana. Hukuman mati juga mesti ditolak karena hak hidup warga negara sebagai persona lebih penting dalam sebuah negara demokrasi. Warga negara adalah unsur konstitutif pembentuk negara yang tidak boleh dilecehkan martabatnya, terutama hak hakikinya untuk hidup.



1Kontroversi seputar wacana legalnya hukuman mati antara Romi Yulianto dan Leonardus Neno, Barra do Turvo, Brazil, dalam bbc.co.uk/Indonesian/forum/story/2006/09/060923_hukuman_mati. Diakses: tanggal 28 Oktober 2007.
2Richard M. Buku, “Karol Wojtyla: Maestro Kemanusiaan, 'Putera Dari Konsili' (Menyelisik Satu Sisi Kehidupan Dia Yang Setahun Lalu Meninggalkan Kita)”, dalam http://www.mirifica.net/wmview.php?ArtID=2805&act=print. Diakses: tanggal 3 Desember 2007.

3Hak Konstitusional Warga Negara”, dalam http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1182424155&archive=&start_from=&ucat=2&. Diakses: tanggal 3 Desember 2007.
4M. R. Nashidik, “Keharusan Menolak Hukuman Mati”, dalam http://www.xs4all.nl/~endi/imparsial/Death row250203.htm. Diakses: tanggal 28 Oktober 2007.

5Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Sebuah Studi Kebijakan Pemerintah”, dalam http://www.imparsial.org/publication/download.php?id=43454716bcb08hukuman_mati_ind.pdf. Diakses: tanggal 28 Oktober 2007.  

6”Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD 1945”, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/17/nasional/133446.htm. Diakses: tanggal 28 Oktober 2007. 

7F. Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia. Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, Jld. 1 (Maumere: Ledalero, 2004), p. 31.

8”Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD 1945”, Loc. Cit.

9M. R. Nashidik, Loc. Cit.
10T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita, cet. I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), p. 44.
11E. A. Laggut, “Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan System Pembenarannya)”, dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/04/fea01.html. Diakses: tanggal 3 Desember 2007.

12F. Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 105.

13Ensiklopedi Nasional Indonesia, jld. 6 (Jakarta: PT Pamungkas, 2004), p. 490. 


14E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas (Yogyakarta: Kanisius, 2002), pp. 262-266.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar