Hikmat pada hakikatnya adalah soal
keutamaan hidup. Namun bagi manusia, ia bukanlah sesuatu yang “terberi” sejak
kelahiran. Hikmat hanya bisa diperoleh dan menjadi bagian integral dari diri,
jika hanya jika manusia terbuka dalam proses kehidupan. Untuk itu, kepandaian
memaksimalkan peran akal budi (pengetahuan untuk memperoleh pengertian) adalah
tuntutan utama apabila manusia ingin memperoleh hikmat.
Dalam tataran
arti etimologis, kata hikmat bisa diartikan dalam macam-macam pengertian,
seperti kebijakan, kearifan, dan juga kesaktian (kekuatan gaib).[1]
Kebijakan itu sepadan dengan kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan.[2]
Sedangkan kearifan berarti kebijaksanaan atau kecendikiaan.[3]
Macam-macam pengertian ini adalah eksplisitasi inklusif tentang hikmat. Ia
menjelma dalam pelbagai keutamaan, keterampilan, namun hakikatnya tetap
memperguncingkan nilai esensial yang sama, yaitu pengetahuan sebagai asal mula
segala pengertian.
Dalam rangka
mengomentari kutipan ayat dari kitab Amsal sebagaimana telah dipahatkan di
atas, maka dalam paparan berikut saya akan menguraikan beberapa pertimbangan
yang kiranya menjadi rujukan untuk memahami maksud penulis.
I. “Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala
yang kau peroleh perolehlah pengertian”.
Menurut saya,
permulaan hikmat sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya dimaksudkan
sebagai imperatif pertama dan terutama yang mesti diperhatikan apabila
seseorang ingin memiliki hikmat. Dalam tataran ini, permulaan hikmat itu tak
lain adalah keharusan mengoptimalkan peran akal budi sebagai locus berpikir
guna menemukan pencerahan, yaitu pengetahuan. Berkat pengetahuan itulah
“teloran” berikut pun bisa dimungkinkan, yaitu memperoleh pengertian tentang
segala sesuatu secara proporsional dan tepat seturut apa yang telah diketahui.
Dalam kerangka
pemahaman seperti ini, optimalisasi penggunaan akal budi untuk berpikir guna
memperoleh pengetahuan dan pengertian yang tepat dimaksudkan bukan hanya
sebatas bermain dalam ranah teoretis, abstraksi ide-ide, melainkan lebih lanjut
menuntut keseimbangan dalam ranah praksis, implementasi. Dalam artian ini, saya
berasumsi bahwa kecakapan untuk berpikir dan bertindak adalah hakikat dari
permulaan hikmat yang diimperatifkan itu. Karena dalam berpikir dan bertindak
secara tepat dan benar, di sana
teraktualisir optimalisasi penggunaan akal budi sebagai basis hikmat.
Dari paparan
ini, secara sederhana bisa dimengerti bahwa permulaan hikmat mengharuskan
pengintegrasian diri secara utuh dalam berpikir dan bertindak. Berpikir itu
dalam kerangka memperoleh pengetahuan, sedangkan bertindak lebih sebagai
pengertian yang dimungkinkan oleh pengetahuan. Itulah permulaan hikmat yang
benar, yang mesti diupayakan dalam pencarian hikmat.
II.
“Junjunglah dia, maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikan
terhormat, apabila engkau memeluknya”
Permulaan
hikmat sebagaimana yang diperguncingkan di atas sangat jelas menekankan dua hal
esensial berikut, yaitu pengetahuan dan pengertian yang ditandai secara khas
dalam aktus berpikir dan bertindak. Namun, permulaan hikmat tersebut kesannya
masih lebih merupakan suatu imperatif dalam tataran pemahaman. Oleh karena itu,
hal berikut yang mesti diupayakan yaitu kesediaan menjadikannya bagian diri
seutuhnya, sehingga menandai secara khas kepribadian yang tampak dalam
pemaknaan hidup setiap hari.
Menjadikan
permulaan hikmat sebagai bagian diri tentunya memiliki pengaruh yang sangat
signifikan dalam realitas kehidupan sosial. Penulis kitab Amsal menguraikan
bahwa dengan mengusungnya, orang akan ditinggikan dan dijadikan terhormat
apabila orang memeluknya. Hal inilah yang dimaksudkan ketika kita berbicara
soal hikmat sebagai keutamaan hidup. Hikmat memiliki nilai lebih dibandingkan
dengan nilai-nilai parsial lainnya, seperti kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, hikmat mesti diupayakan, diperoleh melalui keterbukaan dalam
proses kehidupan dengan memaksimalkan peran akal budi untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian.
III. Catatan Kritis
Dari keseluruhan paparan ini, jelaslah bahwa untuk bisa memahami apa
itu hikmat kita mesti bertolak dari realitas permulaan hikmat dan nilai
signifikan yang ditampakkan apabila orang menjunjung dan memeluknya sebagai
bagian diri. Hikmat bukanlah sesuatu yang terberi sejak kelahiran seperti
insting pada binatang, melainkan merupakan suatu hasil olah akal budi yang
intensif dan maksimal untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian. Hanya dalam
dan melalui pengetahuan dan pengertian yang diperoleh itu, kita bisa
memanifestasikan cara berpikir dan bertindak yang tepat dan benar dalam segala
situasi hidup harian, dalam hal-hal yang sederhana sekalipun. Untuk itu, saya
sependapat dengan pahatan ayat kitab Amsal ini bahwa “permulaan hikmat ialah
perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian.
Junjunglah dia maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikannya
terhormat apabila engkau memeluknya”. Kenyataan ini menurut saya sangat sejalan
dengan makna dan tujuan berfilsafat, yaitu sebagai upaya memperoleh
kebijaksanaan. Filsafat yang benar tidak hanya berkubang dalam ranah teoretis,
melainkan lebih dari pada itu mesti tampak dalam ranah praksis keseharian
hidup. Karena itu, hikmat bisa dimiliki oleh semua orang asalkan tuntutan utama
yang mesti diperjuangkan, yaitu memaksimalkan peran akal budi untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian, sehingga bisa berpikir dan bertindak secara tepat
dan benar. Itulah hikmat sebagai keutamaan hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar