Selasa, 19 Maret 2013

“Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian. Junjunglah dia, maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikan terhormat, apabila engkau memeluknya”



Hikmat pada hakikatnya adalah soal keutamaan hidup. Namun bagi manusia, ia bukanlah sesuatu yang “terberi” sejak kelahiran. Hikmat hanya bisa diperoleh dan menjadi bagian integral dari diri, jika hanya jika manusia terbuka dalam proses kehidupan. Untuk itu, kepandaian memaksimalkan peran akal budi (pengetahuan untuk memperoleh pengertian) adalah tuntutan utama apabila manusia ingin memperoleh hikmat.
Dalam tataran arti etimologis, kata hikmat bisa diartikan dalam macam-macam pengertian, seperti kebijakan, kearifan, dan juga kesaktian (kekuatan gaib).[1] Kebijakan itu sepadan dengan kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan.[2] Sedangkan kearifan berarti kebijaksanaan atau kecendikiaan.[3] Macam-macam pengertian ini adalah eksplisitasi inklusif tentang hikmat. Ia menjelma dalam pelbagai keutamaan, keterampilan, namun hakikatnya tetap memperguncingkan nilai esensial yang sama, yaitu pengetahuan sebagai asal mula segala pengertian.
Dalam rangka mengomentari kutipan ayat dari kitab Amsal sebagaimana telah dipahatkan di atas, maka dalam paparan berikut saya akan menguraikan beberapa pertimbangan yang kiranya menjadi rujukan untuk memahami maksud penulis.

I. “Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian”.   
Menurut saya, permulaan hikmat sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya dimaksudkan sebagai imperatif pertama dan terutama yang mesti diperhatikan apabila seseorang ingin memiliki hikmat. Dalam tataran ini, permulaan hikmat itu tak lain adalah keharusan mengoptimalkan peran akal budi sebagai locus berpikir guna menemukan pencerahan, yaitu pengetahuan. Berkat pengetahuan itulah “teloran” berikut pun bisa dimungkinkan, yaitu memperoleh pengertian tentang segala sesuatu secara proporsional dan tepat seturut apa yang telah diketahui.
Dalam kerangka pemahaman seperti ini, optimalisasi penggunaan akal budi untuk berpikir guna memperoleh pengetahuan dan pengertian yang tepat dimaksudkan bukan hanya sebatas bermain dalam ranah teoretis, abstraksi ide-ide, melainkan lebih lanjut menuntut keseimbangan dalam ranah praksis, implementasi. Dalam artian ini, saya berasumsi bahwa kecakapan untuk berpikir dan bertindak adalah hakikat dari permulaan hikmat yang diimperatifkan itu. Karena dalam berpikir dan bertindak secara tepat dan benar, di sana teraktualisir optimalisasi penggunaan akal budi sebagai basis hikmat.
Dari paparan ini, secara sederhana bisa dimengerti bahwa permulaan hikmat mengharuskan pengintegrasian diri secara utuh dalam berpikir dan bertindak. Berpikir itu dalam kerangka memperoleh pengetahuan, sedangkan bertindak lebih sebagai pengertian yang dimungkinkan oleh pengetahuan. Itulah permulaan hikmat yang benar, yang mesti diupayakan dalam pencarian hikmat.

II. “Junjunglah dia, maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikan terhormat, apabila engkau memeluknya”
            Permulaan hikmat sebagaimana yang diperguncingkan di atas sangat jelas menekankan dua hal esensial berikut, yaitu pengetahuan dan pengertian yang ditandai secara khas dalam aktus berpikir dan bertindak. Namun, permulaan hikmat tersebut kesannya masih lebih merupakan suatu imperatif dalam tataran pemahaman. Oleh karena itu, hal berikut yang mesti diupayakan yaitu kesediaan menjadikannya bagian diri seutuhnya, sehingga menandai secara khas kepribadian yang tampak dalam pemaknaan hidup setiap hari.
            Menjadikan permulaan hikmat sebagai bagian diri tentunya memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam realitas kehidupan sosial. Penulis kitab Amsal menguraikan bahwa dengan mengusungnya, orang akan ditinggikan dan dijadikan terhormat apabila orang memeluknya. Hal inilah yang dimaksudkan ketika kita berbicara soal hikmat sebagai keutamaan hidup. Hikmat memiliki nilai lebih dibandingkan dengan nilai-nilai parsial lainnya, seperti kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, hikmat mesti diupayakan, diperoleh melalui keterbukaan dalam proses kehidupan dengan memaksimalkan peran akal budi untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian.

III. Catatan Kritis
            Dari keseluruhan paparan ini, jelaslah bahwa untuk bisa memahami apa itu hikmat kita mesti bertolak dari realitas permulaan hikmat dan nilai signifikan yang ditampakkan apabila orang menjunjung dan memeluknya sebagai bagian diri. Hikmat bukanlah sesuatu yang terberi sejak kelahiran seperti insting pada binatang, melainkan merupakan suatu hasil olah akal budi yang intensif dan maksimal untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian. Hanya dalam dan melalui pengetahuan dan pengertian yang diperoleh itu, kita bisa memanifestasikan cara berpikir dan bertindak yang tepat dan benar dalam segala situasi hidup harian, dalam hal-hal yang sederhana sekalipun. Untuk itu, saya sependapat dengan pahatan ayat kitab Amsal ini bahwa “permulaan hikmat ialah perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian. Junjunglah dia maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikannya terhormat apabila engkau memeluknya”. Kenyataan ini menurut saya sangat sejalan dengan makna dan tujuan berfilsafat, yaitu sebagai upaya memperoleh kebijaksanaan. Filsafat yang benar tidak hanya berkubang dalam ranah teoretis, melainkan lebih dari pada itu mesti tampak dalam ranah praksis keseharian hidup. Karena itu, hikmat bisa dimiliki oleh semua orang asalkan tuntutan utama yang mesti diperjuangkan, yaitu memaksimalkan peran akal budi untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian, sehingga bisa berpikir dan bertindak secara tepat dan benar. Itulah hikmat sebagai keutamaan hidup manusia.


       [1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), p. 401.
      ­­ [2]Ibid., p. 149.
       [3]Ibid., p. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar