Selasa, 19 Maret 2013

MEMAHAMI TERORISME DALAM CARA BACA DEKONSTRUKTIF JACQUES DERRIDA (Sebagai Perlawanan Terhadap Maklumat “Perang Melawan Terorisme”)



I. PENDAHULUAN

Terorisme adalah salah satu wacana aktual yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Terorisme itu identik dengan kekerasan, teror, bom bunuh diri, dan lain sebagainya, sehingga tak pelak telah menjadi musuh bersama yang mesti diperangi. “Perang melawan terorisme” (war on terrorism) adalah manifestasi sikap dan tindakan yang paling nyata dan sudah dilegitimasi publik untuk dipergunakan. Kekerasan mesti dibalas dengan kekerasan, demikianlah spiritualitas antiterorisme yang sedang dikonstruksi dewasa ini.
Berhadapan dengan kejelasan dan kegamblangan konsep terorisme seperti ini, maka kita boleh bertanya: benarkah pemahaman seperti ini telah dituruti oleh semua orang? Terorisme adalah nama sebuah problema yang kompleks. Demikianlah yang diyakini oleh Jacques Derrida, seorang filsuf postmodern yang selalu tampil khas dengan gagasan dekonstruksi dalam aneka telaah filosofisnya. Bagi Derrida, konsep tentang terorisme mesti didekonstruksi untuk membalik tatanan lama pemahaman publik yang seolah-oleh jelas dan gamblang dengan sendirinya. Terorisme adalah teks yang masih terbuka bagi pluralitas pemaknaan.
Berdasarkan opini Jacques Derrida tersebut, maka dalam tulisan ini saya ingin mengetengahkan lebih lanjut pokok-pokok pikiran yang relevan untuk dipahami berkenaan dengan dekonstruksi terorisme. Telaah ini merupakan uraian ringkas yang saya intensikan untuk menguak nilai kritik ide tersebut, yaitu sebagai perlawanan terhadap maklumat “perang melawan terorisme” yang kian gencar dikampanyekan akhir-akhir ini.



II. ABSTRAKSI SINGKAT TENTANG RIWAYAT HIDUP JACQUES DERRIDA DAN GAGASAN DEKONSTRUKSINYA

Jaques Derrida adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El-Biar, Aljeria, dan meninggal pada tanggal 8 Oktober 2004 di Prancis karena menderita kanker pankreas.
Nama Derrida mulai dikenal ketika ia diundang untuk berbicara dalam sebuah konferensi di Universitas John Hopkins, Amerika, pada tahun 1966. Pada kesempatan itu, Derrida membawakan sebuah ceramah legendaris di bawah tajuk Structure, Sign, and Play in Discourse of the Human Sciences, dengan tesis “kematian aliran strukturalis Prancis”.[1] Derrida sebenarnya menolak perkembangan sejarah filsafat Barat yang terlalu menekankan struktur, memapankan “kehadiran” dalam proyek metafisika, kebenaran yang ada pada dirinya, dan kesuperioran bahasa lisan terhadap tulisan. Untuk itu, ia kemudian menerbitkan buku-bukunya yang memperkenalkan pendekatan dan gagasan dasar “dekonstruksi” (deconstruction). Istilah “dekonstruksi” itu sendiri dewasa ini masih menjadi pokok kontroversi karena ambiquitas pemahaman, apakah “dekonstruksi” merupakan sebuah metode ataukah pemikiran filsafat yang baru. 
Dekonstruksi dalam gambaran Derrida pada dasarnya merupakan cara membaca teks yang menggeser “pusat” sebagai acuan, sehingga membuka peluang bagi pemikiran-pemikiran yang ada di “pinggiran” untuk berperan. Dengan menggeser “pusat” sebagai acuan, maka Derrida juga memaksudkan penghapusan setiap oposisi yang diskriminatif, yang mengunggulkan term satu atas term yang lain.[2] Sebab itu, pembacaan dekonstruktif in se berbeda dari pembacaan biasa. Bila pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari sebuah teks, atau bahkan berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang tidak dimuat dalam teks, maka pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap teks dalam upaya menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Dengan kata lain, pembacaan dekonstruktif hakikatnya hanya ingin menumbangkan susunan hierarki yang menstrukturkan teks.[3] Teks mesti didekonstruksi untuk mendapat makna baru. 
Dalam kerangka berpikir seperti ini, maka Derrida terutama mau merekomendasikan bahwa pada hakikatnya tidak ada makna yang stabil atau menetap dalam hidup kita. Makna bisa berubah mengikuti perubahan konstelasi perhubungan manusia dengan lingkungannya. Makna mesti terus-menerus digali atau diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya.[4] Makna dalam setiap teks senantiasa terbuka bagi pluralitas penafsiran. 

III. MEMAHAMI TERORISME DALAM CARA BACA DEKONSTRUKTIF JACQUES DERRIDA

Terorisme sebagai salah satu isu aktual yang hangat dibicarakan dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya adalah nama sebuah problema yang kompleks. Demikianlah yang diyakini Derrida tatkala ia menyatakan bahwa harus ada langkah dekonstruktif terhadap konsep terorisme.
Menurut Derrida, penggunaan istilah terorisme dewasa ini seolah-olah sudah menjadi konsep yang jelas dan gamblang dengan sendirinya di mata publik. Terorisme selalu dihubung-hubungkan dengan tindakan kekerasan yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang, dengan agenda dan muatan politis tertentu, sehingga mesti ada langkah tegas untuk mengatasinya. Bagi Derrida, terorisme tidak memiliki arti, agenda, dan muatan politis. Derrida menolak predikat apa pun yang dianggap sebagai substansi terorisme.[5] Berikut ini adalah beberapa petikan pemikiran Derrida tentang terorisme sebagai hasil baca dekonstruktif untuk “membalik” tatanan lama pemahaman publik yang seolah-olah jelas dan gamblang dengan sendirinya tentang konsep terorisme.
            Derrida mengawali refleksinya tentang terorisme dengan bercermin pada peristiwa 11 September 2001, yakni tragedi “September kelabu” yang menimpa negara adidaya Amerika Serikat. Ia menyebut peristiwa itu sebagai simpton (puncak) dari krisis “oto-imunisasi”.[6] Derrida menerangkan proses oto-imunisasi itu dalam tiga tahap berikut sebagai inti dekonstruksi terorisme:
Pertama, “tahap perang dingin”. Perang atau kekerasan ini tidak terjadi di darat atau di udara, tetapi di kepala manusia. Peristiwa 11 September adalah kelanjutan dari perang dingin tersebut. Pada tahun delapan puluhan, Amerika Serikat melatih dan menyiapkan serdadu tempur di Afganistan. Mereka adalah sekutu Amerika melawan Rusia. Namun dengan berakhirnya perang dingin pada dekade sembilan puluhan, maka dua blok yang berseteru itu sudah tidak ada lagi. Namun kendati demikian, mental, sarana dan kebiasaan perang masih tersisa di sana. Itulah perangkat yang kemudian dipakai untuk melakukan serangan 11 september. Dalam arti ini, peristiwa 11 September bisa dilihat sebagai akhir dari perang dingin, yang tidak bisa tidak harus meledak. Jadi, “perang dingin” itu sendiri adalah suatu proses oto-imunisasi. Manusia membangun suatu pertahanan yang akhirnya menghancurkan pertahanannya sendiri.
Kedua, “tahap yang lebih buruk dari tahap perang dingin, yaitu trauma kekerasan”. Pasca serangan 11 September 2001, masyarakat dunia dicekam oleh kecemasan dan kengerian bahwa teror sewaktu-waktu bisa datang dari masa depan. Trauma itu ada di kepala setiap orang, terutama di kepala para penguasa negara. Atas dasar itu, pelbagai mekanisme pertahanan mulai dibangun, suatu proses imunisasi terhadap imunitas mereka sendiri. Akibatnya, imunisasi itu menjadi batal dan setiap bangsa atau warga merasa pertahanan dirinya demikian lemah, sehingga sewaktu-waktu bisa jebol dihancurkan terorisme. Dalam tataran ini, tidak jelas siapa musuh yang mesti diperangi atau dilawan. Kita tidak tahu dari mana asal teror itu akan datang, dan siapa yang salah kalau teror itu datang. Semua menjadi kabur. Namun kendati demikian, masih ada satu hal yang jelas di sana bahwa semua ketakutan dan ancaman kekerasan itu telah menjadi peristiwa bawah sadar kita, yang tidak kita sadari. Seperti halnya setiap peristiwa bawah sadar, semua perasaan itu kita tekan dan proyeksikan seakan-akan bukan dari diri kita. Kita membuat pertahanan terhadap kekerasan, tetapi dengan demikian kita merusak bawah sadar kita dengan kekerasan. Itulah proses oto-imunisasi yang paling berbahaya, karena bermain di tingkat bawah sadar manusia.
Ketiga, “tahap lingkaran setan kekerasan, teror dan represi”. Atas nama perang melawan terorisme, semua kekerasan bisa dilakukan. Untuk itu, si pelaku teror juga boleh melakukan kekerasan atas nama teror. Karena dengan cara demikian, mereka merasa bisa melawan teror yang disasarkan pada diri mereka. Balas dendam dan kekerasan dikukuhkan berkepanjangan. Pada tataran ini, terjadi bahwa masyarakat atau warga merasa membangun pertahanan baru, padahal dengan demikian menghancurkan seluruh sistem pertahanannya sendiri.[7]
Demikianlah tiga tahap penting dekonstruksi terorisme yang dibuat Derrida. Dengan cara baca dekonstruktif seperti ini, Derrida sebenarnya ingin menghantar setiap orang kepada pemahaman dan pengakuan bahwa “terorisme pada dasarnya tidak bisa dilawan dengan perang melawan terorisme” (war on terrorism). “Perang melawan terorisme” adalah ikhtiar perang melawan jaringan yang tidak jelas, karena bisa jadi terorisme itu ada sebagai proses oto-imunisasi di alam bawah sadar kita, yang menghancurkan diri kita sendiri.[8]


IV. DEKONSTRUKSI TERORISME JACQUES DERRIDA SEBAGAI PERLAWANAN TERHADAP ”PERANG MELAWAN TERORISME”

4. 1. Relevansi Dekonstruksi Terorisme Terhadap “Perang Melawan Terorisme”
Refleksi Derrida tentang fenomen terorisme pada hakikatnya lahir dari sebuah keprihatinan tentang konsep terorisme yang seolah-olah jelas dan gamblang dengan sendirinya di mata publik. Derrida berusaha membongkar tatanan lama konsep tersebut dengan menghadirkan wajah baru terorisme sebagai fenomen kompleks kejiwaan. Sehingga dengan demikian, setiap orang mulai diarahkan kepada cara pandang baru tentang terorisme. Itulah esensi dekonstruksi dalam pengertian Derrida sebagai cara baca teks yang menggeser “pusat” sebagai acuan agar manusia tidak terjebak dalam absolutisme konsep prematur. Setiap teks selalu terbuka bagi pluralitas penafsiran.
Setelah mengetahui cara baca dekonstruktif yang dibuat Derrida terhadap konsep terorisme, maka pada bagian ini saya mau membahas relevansi dekonstruksi terorisme berhadapan dengan isu aktual yang gencar diperguncingkan akhir-akhir ini, yaitu tentang “perang melawan terorisme”. Saya melihat nilai kritik yang proporsional dalam dekonstruksi terorisme terhadap maklumat ini, yaitu berdasarkan kerangka berpikir bahwa terorisme bukanlah suatu jaringan atau sindikat yang berada di luar diri manusia, yang bisa diperangi secara fisis. Terorisme ada intrinsik dalam diri manusia, dan sedang bersembunyi di alam bawah sadar manusia. Sebab itu, “perang melawan terorisme” adalah ikhtiar “salah kaprah” apabila yang dimaksudkan adalah perang melawan jaringan atau sindikat tertentu, dengan legitimasi kekerasan sebagai senjata utamanya.
            Untuk membentuk pemahaman yang lebih baik tentang relevansi ini, maka saya mencoba untuk menguraikannya dalam dua sudut pandang berikut sebagai hasil baca dekonstruktif terhadap “perang melawan terorisme”.

4. 1. 1. “Perang Melawan Terorisme” Berarti “Perang Melawan Diri Sendiri”
            “Perang melawan terorisme” bila dihadapkan dengan cara baca dekonstruktif Derrida terhadap terorisme, maka tentunya akan menghasilkan pemahaman yang paradoks dari arti hurufiahnya. “Perang melawan terorisme” bisa mengalami pergeseran makna menjadi “perang melawan diri sendiri”. Mengapa demikian? Karena menurut Derrida, terorisme itu sendiri adalah gejala elemen traumatis yang intrinsik dalam diri setiap orang. Terorisme bisa bersembunyi di alam bawah sadar masing-masing orang, dan karena itu tidak disadari.
Terorisme terkait mental, kebiasaan-kebiasaan, dan terutama perasaan-perasaan yang dikekang, seperti kecemasan dan ketakutan, yang mengendap dan menimbulkan kekerasan di tingkat bawah sadar. Terorisme bawah sadar terekspresi dalam cara-cara bertindak yang suka mengkonstruksi pelbagai bentuk pertahanan diri terhadap kekerasan, padahal dengan cara demikian merusak alam bawah sadar dengan kekerasan (Bdk. Proses oto-imunisasi tahap pertama dan kedua). Berdasarkan pengertian semacam ini, maka mungkinkah “perang melawan terorisme” bisa direalisir?
            “Perang melawan terorisme” adalah kemustahilan, karena hal itu berarti “perang melawan diri sendiri”. Demikian konsekuensi logis dari dekonstruksi terorisme yang dibuat Derrida terhadap “perang melawan terorisme”. Namun pemahaman seperti ini acapkali ditolak, karena mental setiap orang sudah dikondisikan untuk membangun pertahanan melindungi terorisme yang bersembunyi di alam bawah sadarnya. Orang “enggang” untuk menyadari bahwa “perang melawan terorisme” berarti “perang melawan diri sendiri”, karena terlanjur mengusung tendensi pemahaman yang keliru, yakni mengaitkan terorisme dengan fenomen kekerasan eksternal. Terorisme diidentifisir sebagai jaringan atau sindikat, sehingga “perang melawan terorisme” berarti perang melawan musuh tertentu. Konstruksi pertahanan diri semacam inilah yang sering dibuat, sehingga pada akhirnya memberi ruang dan tempat bagi terorisme untuk terus bersembunyi di alam bawah sadar.
Saya sendiri berpikir bahwa “perang melawan terorisme” sebenarnya adalah ikhtiar pra meditation (sebelum meditasi; gegabah), dan karena itu adalah sikap atau tindakan yang memprihatinkan. Perkara terorisme tidak akan pernah terselesaikan dengan hanya melakukan “perang melawan terorisme” dalam pengertian hurufiah yang acapkali dipahami. “Perang melawan terorisme” semestinya didekonstruksi agar proporsional diarahkan kepada diri sendiri sebagai gugatan untuk mengolah secara baik perasaan-perasaan internal, sehingga tidak menimbulkan pengalaman traumatis yang mengendap ke alam bawah sadar. Terorisme bawah sadar adalah jenis terorisme yang berbahaya, karena acapkali terproyeksi tanpa sadar. Masing-masing pribadi harus menyadari kenyataan ini, dan berusaha meredamnya agar tidak berakar dalam diri. Terorisme bawah sadar bisa menjadi “boomerang” bagi setiap orang, karena ia meligitimasi sikap saling curiga, saling meneror, pun bahkan saling membunuh sebagai bentuk pertahanan diri.

4. 1. 2. “Perang Melawan Terorisme” Mengukuhkan Lingkaran Setan Kekerasan
Dekonstruksi terorisme yang dibuat Derrida tak terpungkiri telah menyingkapkan pemahaman baru yang paradoks tentang konsep terorisme, bahwa terorisme pada dasarnya adalah fenomen kompleks kejiwaan yang tidak terkait dengan orang atau sekelompok orang tertentu saja. Terorisme in se ada dalam diri setiap orang, dan sedang bersembunyi di alam bawah sadar setiap orang. Oleh karena itu, terorisme sebenarnya tidak bisa dilawan dengan “perang melawan terorisme” yang melegalkan penggunaan kekerasan.
“Perang melawan terorisme” dengan legitimasi kekerasan pada dasarnya adalah jalur tempuh yang kurang tepat untuk memerangi terorisme. Atau berdasarkan cara baca Derrida tentang terorisme, kita sebenarnya sedang berperang melawan musuh atau jaringan yang tidak jelas. Tindakan semacam ini tentunya tidak bisa dibenarkan secara pragmatis karena hasil yang ditargetkan tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, “perang melawan terorisme” hanya akan mengacaukan suasana hidup yang tenteram dengan ancaman kekerasan. Sehingga dengan demikian, bisa juga berakibat fatal pada pengukuhan lingkaran setan kekerasan, budaya teror, dan represi dalam kehidupan bersama.
Berdasarkan kerangka berpikir seperti ini, saya melihat bahwa “perang melawan terorisme” sebenarnya adalah bentuk pertahanan diri yang brutal. Karena pertahanan diri semacam ini adalah yang paling lemah untuk melindungi diri. Mengapa? Alasannya bahwa masing-masing orang sedang berada dalam kondisi labil antara melakukan perang melawan terorisme dan mempertahankan diri dari serangan terorisme. Masing-masing orang tanpa sadar berikhtiar untuk saling menyerang, saling meneror, saling membunuh dalam “perang melawan terorisme”. Karena itu, klaim bahwa terorisme hanya terkait orang atau sekelompok orang tertentu saja tidak bisa dipertahankan lagi. Terorisme adalah term inklusif untuk semua orang, yang berdasarkan spiritualitas kekerasan telah menciptakan situasi perang yang tidak manusiawi.
“Perang melawan terorisme” pada hakikatnya juga bisa berarti “perang semua melawan semua”. Dalam arti ini, masing-masing orang memiliki kesempatan yang sama untuk saling memberi label terorisme, saling meneror, saling membunuh karena ditopang oleh kesalahan berpikir bahwa terorisme itu adalah orang lain, atau musuh yang berada di luar dirinya sendiri. Masing-masing orang membangun pertahanannya sendiri, yang pada akhirnya berakibat fatal menghancurkan dirinya sendri. “Perang melawan terorisme” sebenarnya adalah upaya ironis, karena manusia sedang memutar haluan peradaban kembali kepada masa lalu, kembali kepada keadaan alamiah dari hidup manusia seperti yang diperguncingkan Hobbes, yaitu “situasi perang semua melawan semua”.[9]
Di sisi lain, saya juga melihat bahwa “perang melawan terorisme” sebagai tindakan mengukuhkan lingkaran setan kekerasan dalam kehidupan bersama sebenarnya identik juga dengan budaya “hukuman mati” dalam sistem peradilan pidana. Sama seperti “perang melawan terorisme”, sistem pidana “hukuman mati” juga pada dasarnya adalah salah satu bentuk pengukuhan lingkaran setan kekerasan pembunuhan yang tidak manusiawi. Para terpidana pembunuhan dibunuh atas nama sebuah sistem, yang oleh aparat berwenang dibungkus dalam istilah “hukum dan keadilan”. Menurut saya, cara demikian sangat ironis untuk dipertontonkan karena substansi atau akar sebuah pemasalahan tidak pernah tersentuh hanya dengan pendekatan kekerasan semacam itu. Dalam tataran ini, kesamaan kedua bentuk pengukuhan lingkaran setan kekerasan tersebut (perang melawan terorisme dan sistem pidana hukuman mati) sudah semestinya didekonstruksi untuk mendapat arti baru. Karena kejanggalan kedua sistem tersebut jelas terbaca dalam cara pendekatannya, yaitu “peneror diteror” dan “pembunuh dibunuh”.
Berdasarkan serangkaian gugatan di atas, maka mestikah kita terus mempertahankan kemapanan sistem-sistem brutal semacam itu? Kesuperioran satu term atas term yang lain, sebagaimana disoroti oleh Derrida dalam gagasan dekonstruksinya? Saya setuju bahwa segala sesuatu mesti didekonstruksi untuk menguak makna baru. “Perang melawan terorisme” dan budaya “hukuman mati” pun urgen untuk didekonstruksi agar tidak lagi menjadi media yang brutal untuk mengukuhkan lingkaran setan kekerasan, budaya teror dan represi dalam kehidupan umat manusia. Dengan mendekonstruksi sistem-sistem tersebut, maka ideal yang bisa dicapai adalah bahwa kita akan mampu masuk dalam substansi suatu permasalahan, untuk mencari alternatif solusi yang lebih manusiawi dalam penyelesaian masalah-masalah.
 
4. 2. Pentingnya “Mengolah Diri” Sebagai Solusi Untuk Bebas Dari Terorisme Bawah Sadar
            Terorisme bawah sadar sebagai fenomen intrinsik dalam diri setiap orang pada hakikatnya selalu luput dari perhatian publik. Hal ini secara langsung bisa ditegaskan berdasarkan term “bawah sadar” itu sendiri, yang dalam ilmu psikologi diartikan sebagai “bagian kehidupan jiwa yang berada di bawah ambang kesadaran”.[10] Namun meskipun demikian, pengistilahan terorisme bawah sadar dalam tataran ini sebenarnya tetap bernilai penting untuk dikaji bersama. Terorisme bawah sadar adalah nama sebuah problema yang menuntut perhatian publik, memicu kesadaran untuk berefleksi tentang pelbagai fenomen kekerasan yang sedang terjadi akhir-akhir ini.         
            Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang membahas tentang relevansi dekonstruksi terorisme terhadap “perang melawan terorisme”, maka sebenarnya secara tidak langsung telah ditegaskan di sana bahwa setiap orang pada dasarnya harus bertanggung jawab atas pelbagai fenomen kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Saya menyimpulkan demikian, karena kekerasan-kekerasan yang nampak lahiriah tersebut sebenarnya tak lain adalah proyeksi kekerasan yang telah dikonstruksi di alam bawah sadar masing-masing orang. Akibat kekerasan alam bawah sadar itulah, manusia memproyeksikan kekerasan-kekerasan fisis tak terkontrol, yang berujung pada pengukuhan lingkaran setan kekerasan dalam kehidupan bersama.
            Secara sederhana bisa dilukiskan bahwa kekerasan yang terjadi di alam bawah sadar pada dasarnya adalah hasil endapan dari pelbagai perasaan yang tidak diolah, yang dikekang manusia, sehingga menimbulkan pengalaman traumatis dalam diri. Dengan pengalaman traumatis itu, manusia terdorong untuk membangun pertahanan diri terhadap pelbagai hal yang membahayakan dirinya. Tetapi pertahanan diri semacam itu acapkali hanyalah konstruksi sentimentil yang didasarkan pada kecurigaan-kecurigaan, dendam dan amarah, akibat endapan perasaan-perasaan yang tidak diolah tersebut. Sehingga hasil akhir yang dimunculkan dalam kehidupan bersama adalah tindakan-tindakan irasional, yang menganggap semua orang adalah ancaman bagi eksistensinya, musuh bagi kenyamanannya. Dengan demikian, kekerasan lahiriah pun terproyeksi sebagai akibat kekerasan yang telah terjadi di alam bawah sadar. Dengan dalih mempertahankan diri, manusia bisa berperang satu sama lain, saling meneror, saling membunuh, sehingga mengacaukan ketenteraman hidup bersama. 
Berdasarkan analisa psikologis seperti ini, maka bisa dilihat bahwa terorisme bawah sadar yang dimaksudkan dalam telaah ini tak lain adalah kekerasan yang terjadi di alam bawah sadar sebagai akibat kelalaian mengolah perasaan, sehingga menimbulkan pengalaman traumatis dalam diri. Dengan pengertian semacam ini, tentunya sorotan utama sebagai substansi permasalahan yang memunculkan terorisme bawah sadar adalah perihal “kelalaian mengolah perasaan yang menimbulkan pengalaman traumatis”. Sebab itu, solusi proporsional untuk mengatasinya hanya bisa ditempuh dengan keseriusan untuk “mengolah diri” agar kekerasan di alam bawah sadar bisa terhindari.   
Mengolah diri pertama-tama menuntut kesediaan setiap orang untuk kembali ke dalam dirinya sendiri, untuk menilai dan memutuskan tentang apa yang terbaik bagi dirinya dalam kehidupan kini dan di sini. Mengolah diri adalah aktus meditatif terhadap kepribadian seutuhnya, pengalaman-pengalaman eksistensial yang dialami, dan terutama perasaan-perasaan negatif yang ada di dalam diri, sehingga semuanya bisa dimaknai secara baru demi perkembangan kepribadian yang sehat.
Terhadap perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan dan ketakutan, mengolah diri adalah upaya untuk membuka horizon berpikir bahwa perasaan-perasaan itu pada dasarnya bersifat momental, sehingga tidak semestinya menjadi beban bagi pikiran. Kecemasan dan ketakutan adalah pengalaman kekinian, dan setiap orang mesti berdamai dengannya, agar perasaan-perasaan itu tidak terkekang dan mengendap di balik alam bawah sadar. Mengolah diri mengharuskan setiap orang untuk berpikir positif, dan menjadikan data pengalaman hidup sebagai pelajaran yang berharga untuk dimaknai. Dengan demikian, perasaan yang dibangun pasca kecemasan dan ketakutan momental itu adalah optimisme akan kebaikan hidup yang berlandaskan pada perasaan yang sehat, tenteram dan damai.
Jadi, mengolah diri adalah kemendesakan yang menuntut perhatian serius dari semua pihak untuk menyikapinya. Mengolah diri adalah alternatif cara yang bisa dipakai apabila manusia ingin bebas dari terorisme bawah sadar yang tidak kasat mata itu. Dengan mengolah diri, terutama perasaan-perasaan negatif yang dialami, maka manusia sebenarnya telah menentukan apa yang terbaik untuk dihidupinya kini dan di sini, yaitu menciptakan iklim kehidupan pribadi yang sehat sebagai basis terciptanya ketenteraman umum.


V. PENUTUP


5. 1. Kesimpulan
            Memahami terorisme dalam cara baca dekonstruktif Jacques Derrida sebenarnya adalah upaya membalik tatanan lama pemahaman publik yang seolah-olah jelas dan gamblang dengan sendirinya tentang konsep terorisme. Cara baca tersebut eksplisit menampilkan wajah terorisme yang kompleks, yang sebenarnya berakar dalam diri setiap orang karena kerap melancarkan kekerasan terhadap alam bawah sadarnya. Terorisme alam bawah sadar itulah yang menjadi pemicu pelbagai bentuk kekerasan lainnya sebagaimana terproyeksi dalam realitas kehidupan bersama, kekerasan fisis yang tak terkontrol dan brutal.
            Memahami terorisme dalam cara baca dekonstruktif Jacques Derrida implisit mengumandangkan juga perlawanan terhadap “perang melawan terorisme” sebagai ikhtiar “prematur” pra meditation. Dengan menabuhkan gong “perang melawan terorisme” umat manusia sebenarnya sedang berada dalam kondisi “perang melawan diri sendiri” atau pula “perang semua melawan semua” yang brutal. Akibatnya, lingkaran setan kekerasan, budaya teror dan represi dikukuhkan berkepanjangan: teror-meneror dan bunuh-membunuh menjadi tontonan umum yang memprihatinkan. Di sini, “perang melawan terorisme” bukanlah modus penyelesaian masalah yang tepat, melainkan instrumen pembunuh massal yang tak terelakkan.
            Untuk mengatasi masalah terorisme, manusia semestinya menemukan cara yang lebih manusiawi. Manusia mesti kembali ke dalam dirinya sendiri untuk menemukan di sana benih terorisme yang sedang bersembunyi di balik alam bawah sadar. Manusia mesti mengolah diri, terutama mengolah perasaan-perasaan negatif yang dialami, agar tidak menjadi beban pikiran yang menyulut pelbagai bentuk kekerasan eksternal. Mengolah diri membutuhkan komitmen. Mengolah diri terutama dimaksudkan demi kebaikan manusia, demi perkembangan kepribadian yang sehat dalam pemaknaan kehidupan kini dan di sini. Itulah nilai fundamental yang mesti dipilih manusia untuk mengindari kekerasan brutal terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Masing-masing pribadi mesti bertanggung jawab untuk upaya ini, berusaha mengenal dan berdamai dengan perasaan-perasaan momentalnya, terutama kecemasan dan ketakutan, sehingga dengan demikian menjadikan alam bawah sadarnya sehat, bebas dari endapan pengalaman traumatis.
              Dengan demikian, konsep terorisme yang selama ini disinyalir jelas dan gamblang dengan sendirinya kini mendapat bantahan yang tak terelakkan dalam cara baca dekonstruktif Jacques Derrida. Terorisme adalah sebuah teks, dan karena itu selalu terbuka untuk dimaknai secara baru demi kepentingan hidup manusia, kebaikan diri manusia itu sendiri.

5. 2. Catatan Kritis
            Saya menilai bahwa pendekatan dekonstruksi yang dibuat oleh Jacques Derrida terhadap terorisme pada dasarnya berciri filosofis dan sekaligus psikologis. Dengan mengusung kedua macam ciri khas tersebut, Derrida telah berhasil menguraikan secara rasional-sistematis tentang proses oto-imunisasi yang terjadi di dalam diri manusia. Proses oto-imunisasi itulah akar dari pelbagai macam bentuk kekerasan, baik itu yang terjadi di alam bawah sadar manusia maupun yang terproyeksi dalam kehidupan bersama.
            Saya setuju dengan alur pemikiran Derrida yang menandaskan bahwa terorisme bawah sadar adalah jenis terorisme yang paling berbahaya. Menurut saya, terorisme bawah sadar adalah akar permasalahan dari semua bentuk kekerasan yang terproyeksi dalam kehidupan bersama, karena terorisme jenis ini implisit ada dalam diri semua orang yang lalai mengolah perasaan-perasaan negatifnya. Sebab itu, “perang melawan terorisme” adalah ikhtiar yang sia-sia, apabila masing-masing orang tetap memelihara dan menyembunyikan terorisme di alam bawah sadarnya.
            Akhirnya, boleh disimpulkan bahwa cara baca dekonstruktif Derrida terhadap terorisme adalah alternatif pemahaman baru yang relevan untuk situasi aktual dewasa ini. Tesis ilmiah tentang proses oto-imunisasi yang direkomendasikan layak untuk disikapi oleh semua orang, agar lingkaran setan kekerasan, budaya teror dan represi tidak terus-menerus dikukuhkan dalam pentas kehidupan umat manusia.    


[1]M. Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LKiS, 2005), p. 3. Mengutip Jaques Derrida, Writing and Difference, terj. dan anotasi Alan Bass (Chicago: The University of Chicago Press, 1978), pp. 278-293.
[2]A. Sudiarja, “Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya”, Basis, 11-12, Tahun ke-54 (November-Desember, 2005), p. 4.
[3]C. Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), p. 15.
[4]A. Sudiarja, op. cit., p. 6.
[5]Sebagaimana yang dikutip oleh M. Yasin, “Ide Percakapan Terorisme Habermas dan Derrida”, dalam http://www.korantempo.com/korantempo/2005/09/11/Ide/krn,20050911,46.id.html.
[6]Derrida memakai istilah ini untuk menjelaskan suatu proses, bagaimana masyarakat sebagai suatu organisme menghancurkan mekanisme pertahanan dirinya sendiri.
[7]Sindhunata, “Terorisme Bawah Sadar”, Basis, 11-12, Tahun ke-54 (November-Desember, 2005), p. 4. Mengutip G. Borradori, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jürgen Habermas dan Jacques Derrida, terj. A. Taryadi (Jakarta: Kompas, 2005), pp. 223-225.
[8]Ibid.
[9]Sebagaimana yang dikutip oleh Y. Keladu, “Kuliah Mimbar Filsafat Politik” (ms), Maumere: STFK Ledalero, 2007.
[10]M. Husaini dan M. Noor, Himpunan Istilah Psikologi (Jakarta: Mutiara, 1978), p. 19-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar