I. PENDAHULUAN
Terorisme adalah
salah satu wacana aktual yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini.
Terorisme itu identik dengan kekerasan, teror, bom bunuh diri, dan lain
sebagainya, sehingga tak pelak telah menjadi musuh bersama yang mesti
diperangi. “Perang melawan terorisme” (war on terrorism) adalah
manifestasi sikap dan tindakan yang paling nyata dan sudah dilegitimasi publik
untuk dipergunakan. Kekerasan
mesti dibalas dengan kekerasan, demikianlah spiritualitas antiterorisme yang
sedang dikonstruksi dewasa ini.
Berhadapan dengan kejelasan dan
kegamblangan konsep terorisme seperti ini, maka kita boleh bertanya: benarkah
pemahaman seperti ini telah dituruti oleh semua orang? Terorisme adalah nama
sebuah problema yang kompleks. Demikianlah yang diyakini oleh Jacques
Derrida, seorang filsuf postmodern yang selalu tampil khas dengan gagasan
dekonstruksi dalam aneka telaah filosofisnya. Bagi Derrida, konsep tentang
terorisme mesti didekonstruksi untuk membalik tatanan lama pemahaman publik
yang seolah-oleh jelas dan gamblang dengan sendirinya. Terorisme adalah teks
yang masih terbuka bagi pluralitas pemaknaan.
Berdasarkan
opini Jacques Derrida tersebut, maka dalam tulisan ini saya ingin
mengetengahkan lebih lanjut pokok-pokok pikiran yang relevan untuk dipahami
berkenaan dengan dekonstruksi terorisme. Telaah ini merupakan uraian ringkas
yang saya intensikan untuk menguak nilai kritik ide tersebut, yaitu sebagai
perlawanan terhadap maklumat “perang melawan terorisme” yang kian gencar
dikampanyekan akhir-akhir ini.
II. ABSTRAKSI
SINGKAT TENTANG RIWAYAT HIDUP JACQUES DERRIDA DAN GAGASAN DEKONSTRUKSINYA
Jaques Derrida adalah seorang filsuf
keturunan Yahudi. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El-Biar, Aljeria,
dan meninggal pada tanggal 8 Oktober 2004 di Prancis karena menderita kanker
pankreas.
Nama Derrida mulai dikenal ketika ia
diundang untuk berbicara dalam sebuah konferensi di Universitas John Hopkins,
Amerika, pada tahun 1966. Pada kesempatan itu, Derrida membawakan sebuah
ceramah legendaris di bawah tajuk Structure, Sign, and Play in Discourse of
the Human Sciences, dengan tesis “kematian aliran strukturalis Prancis”.[1] Derrida sebenarnya menolak perkembangan
sejarah filsafat Barat yang terlalu menekankan struktur, memapankan “kehadiran”
dalam proyek metafisika, kebenaran yang ada pada dirinya, dan kesuperioran
bahasa lisan terhadap tulisan. Untuk itu, ia kemudian menerbitkan buku-bukunya
yang memperkenalkan pendekatan dan gagasan dasar “dekonstruksi” (deconstruction).
Istilah “dekonstruksi” itu sendiri dewasa ini masih menjadi pokok kontroversi
karena ambiquitas pemahaman, apakah “dekonstruksi” merupakan sebuah metode
ataukah pemikiran filsafat yang baru.
Dekonstruksi dalam gambaran Derrida pada
dasarnya merupakan cara membaca teks yang menggeser “pusat” sebagai acuan,
sehingga membuka peluang bagi pemikiran-pemikiran yang ada di “pinggiran” untuk
berperan. Dengan menggeser “pusat” sebagai acuan, maka Derrida juga memaksudkan
penghapusan setiap oposisi yang diskriminatif, yang mengunggulkan term
satu atas term yang lain.[2] Sebab itu, pembacaan dekonstruktif in
se berbeda dari pembacaan biasa. Bila pembacaan biasa selalu mencari makna
sebenarnya dari sebuah teks, atau bahkan berusaha menemukan makna yang lebih
benar, yang tidak dimuat dalam teks, maka pembacaan dekonstruktif hanya ingin
mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap teks dalam upaya menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal. Dengan kata lain, pembacaan dekonstruktif
hakikatnya hanya ingin menumbangkan susunan hierarki yang menstrukturkan teks.[3] Teks mesti didekonstruksi untuk mendapat
makna baru.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, maka
Derrida terutama mau merekomendasikan bahwa pada hakikatnya tidak ada makna
yang stabil atau menetap dalam hidup kita. Makna bisa berubah mengikuti
perubahan konstelasi perhubungan manusia dengan lingkungannya. Makna mesti
terus-menerus digali atau diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya.[4] Makna dalam setiap teks senantiasa
terbuka bagi pluralitas penafsiran.
III. MEMAHAMI TERORISME DALAM CARA BACA DEKONSTRUKTIF JACQUES DERRIDA
Terorisme
sebagai salah satu isu aktual yang hangat dibicarakan dalam kehidupan
masyarakat pada dasarnya adalah nama sebuah problema yang kompleks.
Demikianlah yang diyakini Derrida tatkala ia menyatakan bahwa harus ada langkah
dekonstruktif terhadap konsep terorisme.
Menurut
Derrida, penggunaan istilah terorisme dewasa ini seolah-olah sudah menjadi
konsep yang jelas dan gamblang dengan sendirinya di mata publik. Terorisme
selalu dihubung-hubungkan dengan tindakan kekerasan yang ditimbulkan oleh orang
atau sekelompok orang, dengan agenda dan muatan politis tertentu, sehingga
mesti ada langkah tegas untuk mengatasinya. Bagi Derrida, terorisme tidak
memiliki arti, agenda, dan muatan politis. Derrida menolak predikat apa pun
yang dianggap sebagai substansi terorisme.[5] Berikut ini adalah beberapa petikan
pemikiran Derrida tentang terorisme sebagai hasil baca dekonstruktif untuk
“membalik” tatanan lama pemahaman publik yang seolah-olah jelas dan gamblang
dengan sendirinya tentang konsep terorisme.
Derrida
mengawali refleksinya tentang terorisme dengan bercermin pada peristiwa 11
September 2001, yakni tragedi “September kelabu” yang menimpa negara adidaya
Amerika Serikat. Ia menyebut peristiwa itu sebagai simpton (puncak) dari krisis
“oto-imunisasi”.[6] Derrida menerangkan proses oto-imunisasi
itu dalam tiga tahap berikut sebagai inti dekonstruksi terorisme:
Pertama, “tahap perang dingin”. Perang atau kekerasan ini
tidak terjadi di darat atau di udara, tetapi di kepala manusia. Peristiwa 11
September adalah kelanjutan dari perang dingin tersebut. Pada tahun delapan
puluhan, Amerika Serikat melatih dan menyiapkan serdadu tempur di Afganistan.
Mereka adalah sekutu Amerika melawan Rusia. Namun dengan berakhirnya perang
dingin pada dekade sembilan puluhan, maka dua blok yang berseteru itu sudah
tidak ada lagi. Namun kendati demikian, mental, sarana dan kebiasaan perang
masih tersisa di sana. Itulah perangkat yang kemudian dipakai untuk melakukan
serangan 11 september. Dalam arti ini, peristiwa 11 September bisa dilihat
sebagai akhir dari perang dingin, yang tidak bisa tidak harus meledak. Jadi, “perang dingin” itu sendiri adalah
suatu proses oto-imunisasi. Manusia membangun suatu pertahanan yang akhirnya
menghancurkan pertahanannya sendiri.
Kedua, “tahap yang lebih buruk dari tahap perang
dingin, yaitu trauma kekerasan”. Pasca serangan 11 September 2001,
masyarakat dunia dicekam oleh kecemasan dan kengerian bahwa teror sewaktu-waktu
bisa datang dari masa depan. Trauma itu ada di kepala setiap orang, terutama di
kepala para penguasa negara. Atas dasar itu, pelbagai mekanisme pertahanan mulai
dibangun, suatu proses imunisasi terhadap imunitas mereka sendiri. Akibatnya,
imunisasi itu menjadi batal dan setiap bangsa atau warga merasa pertahanan
dirinya demikian lemah, sehingga sewaktu-waktu bisa jebol dihancurkan
terorisme. Dalam tataran ini, tidak jelas siapa musuh yang mesti diperangi atau
dilawan. Kita tidak tahu dari mana asal teror itu akan datang, dan siapa yang
salah kalau teror itu datang. Semua menjadi kabur. Namun kendati demikian,
masih ada satu hal yang jelas di sana bahwa semua ketakutan dan ancaman
kekerasan itu telah menjadi peristiwa bawah sadar kita, yang tidak kita sadari.
Seperti halnya setiap peristiwa bawah sadar, semua perasaan itu kita tekan dan
proyeksikan seakan-akan bukan dari diri kita. Kita membuat pertahanan terhadap kekerasan, tetapi
dengan demikian kita merusak bawah sadar kita dengan kekerasan. Itulah proses
oto-imunisasi yang paling berbahaya, karena bermain di tingkat bawah sadar
manusia.
Ketiga, “tahap lingkaran setan kekerasan, teror dan
represi”. Atas nama perang melawan terorisme, semua kekerasan bisa dilakukan.
Untuk itu, si pelaku teror juga boleh melakukan kekerasan atas nama teror.
Karena dengan cara demikian, mereka merasa bisa melawan teror yang disasarkan
pada diri mereka. Balas dendam dan kekerasan dikukuhkan berkepanjangan. Pada
tataran ini, terjadi bahwa masyarakat atau warga merasa membangun pertahanan
baru, padahal dengan demikian menghancurkan seluruh sistem pertahanannya
sendiri.[7]
Demikianlah tiga tahap penting
dekonstruksi terorisme yang dibuat Derrida. Dengan cara baca dekonstruktif
seperti ini, Derrida sebenarnya ingin menghantar setiap orang kepada pemahaman
dan pengakuan bahwa “terorisme pada dasarnya tidak bisa dilawan dengan perang
melawan terorisme” (war on terrorism). “Perang melawan terorisme” adalah
ikhtiar perang melawan jaringan yang tidak jelas, karena bisa jadi terorisme
itu ada sebagai proses oto-imunisasi di alam bawah sadar kita, yang
menghancurkan diri kita sendiri.[8]
IV. DEKONSTRUKSI
TERORISME JACQUES DERRIDA SEBAGAI PERLAWANAN TERHADAP ”PERANG MELAWAN
TERORISME”
4. 1. Relevansi Dekonstruksi Terorisme Terhadap “Perang Melawan
Terorisme”
Refleksi Derrida tentang fenomen terorisme
pada hakikatnya lahir dari sebuah keprihatinan tentang konsep terorisme yang
seolah-olah jelas dan gamblang dengan sendirinya di mata publik. Derrida
berusaha membongkar tatanan lama konsep tersebut dengan menghadirkan wajah baru
terorisme sebagai fenomen kompleks kejiwaan. Sehingga dengan demikian, setiap
orang mulai diarahkan kepada cara pandang baru tentang terorisme. Itulah esensi
dekonstruksi dalam pengertian Derrida sebagai cara baca teks yang menggeser
“pusat” sebagai acuan agar manusia tidak terjebak dalam absolutisme konsep
prematur. Setiap teks selalu terbuka bagi pluralitas penafsiran.
Setelah mengetahui cara baca dekonstruktif
yang dibuat Derrida terhadap konsep terorisme, maka pada bagian ini saya mau
membahas relevansi dekonstruksi terorisme berhadapan dengan isu aktual yang
gencar diperguncingkan akhir-akhir ini, yaitu tentang “perang melawan
terorisme”. Saya melihat nilai kritik yang proporsional dalam dekonstruksi
terorisme terhadap maklumat ini, yaitu berdasarkan kerangka berpikir bahwa
terorisme bukanlah suatu jaringan atau sindikat yang berada di luar diri
manusia, yang bisa diperangi secara fisis. Terorisme ada intrinsik dalam diri
manusia, dan sedang bersembunyi di alam bawah sadar manusia. Sebab itu, “perang
melawan terorisme” adalah ikhtiar “salah kaprah” apabila yang dimaksudkan
adalah perang melawan jaringan atau sindikat tertentu, dengan legitimasi
kekerasan sebagai senjata utamanya.
Untuk
membentuk pemahaman yang lebih baik tentang relevansi ini, maka saya mencoba
untuk menguraikannya dalam dua sudut pandang berikut sebagai hasil baca
dekonstruktif terhadap “perang melawan terorisme”.
4. 1. 1. “Perang Melawan Terorisme” Berarti
“Perang Melawan Diri Sendiri”
“Perang
melawan terorisme” bila dihadapkan dengan cara baca dekonstruktif Derrida
terhadap terorisme, maka tentunya akan menghasilkan pemahaman yang paradoks
dari arti hurufiahnya. “Perang melawan terorisme” bisa mengalami pergeseran
makna menjadi “perang melawan diri sendiri”. Mengapa demikian? Karena menurut
Derrida, terorisme itu sendiri adalah gejala elemen traumatis yang intrinsik
dalam diri setiap orang. Terorisme bisa bersembunyi di alam bawah sadar
masing-masing orang, dan karena itu tidak disadari.
Terorisme terkait mental,
kebiasaan-kebiasaan, dan terutama perasaan-perasaan yang dikekang, seperti
kecemasan dan ketakutan, yang mengendap dan menimbulkan kekerasan di tingkat
bawah sadar. Terorisme bawah sadar terekspresi dalam cara-cara bertindak yang
suka mengkonstruksi pelbagai bentuk pertahanan diri terhadap kekerasan, padahal
dengan cara demikian merusak alam bawah sadar dengan kekerasan (Bdk. Proses
oto-imunisasi tahap pertama dan kedua). Berdasarkan pengertian semacam ini,
maka mungkinkah “perang melawan terorisme” bisa direalisir?
“Perang
melawan terorisme” adalah kemustahilan, karena hal itu berarti “perang melawan
diri sendiri”. Demikian konsekuensi logis dari dekonstruksi terorisme yang
dibuat Derrida terhadap “perang melawan terorisme”. Namun pemahaman seperti ini
acapkali ditolak, karena mental setiap orang sudah dikondisikan untuk membangun
pertahanan melindungi terorisme yang bersembunyi di alam bawah sadarnya. Orang
“enggang” untuk menyadari bahwa “perang melawan terorisme” berarti “perang
melawan diri sendiri”, karena terlanjur mengusung tendensi pemahaman yang
keliru, yakni mengaitkan terorisme dengan fenomen kekerasan eksternal.
Terorisme diidentifisir sebagai jaringan atau sindikat, sehingga “perang
melawan terorisme” berarti perang melawan musuh tertentu. Konstruksi pertahanan
diri semacam inilah yang sering dibuat, sehingga pada akhirnya memberi ruang
dan tempat bagi terorisme untuk terus bersembunyi di alam bawah sadar.
Saya sendiri berpikir bahwa “perang
melawan terorisme” sebenarnya adalah ikhtiar pra meditation (sebelum
meditasi; gegabah), dan karena itu adalah sikap atau tindakan yang
memprihatinkan. Perkara terorisme tidak akan pernah terselesaikan dengan hanya
melakukan “perang melawan terorisme” dalam pengertian hurufiah yang acapkali
dipahami. “Perang melawan terorisme” semestinya didekonstruksi agar
proporsional diarahkan kepada diri sendiri sebagai gugatan untuk mengolah
secara baik perasaan-perasaan internal, sehingga tidak menimbulkan pengalaman
traumatis yang mengendap ke alam bawah sadar. Terorisme bawah sadar adalah
jenis terorisme yang berbahaya, karena acapkali terproyeksi tanpa sadar.
Masing-masing pribadi harus menyadari kenyataan ini, dan berusaha meredamnya
agar tidak berakar dalam diri. Terorisme bawah sadar bisa menjadi “boomerang”
bagi setiap orang, karena ia meligitimasi sikap saling curiga, saling meneror,
pun bahkan saling membunuh sebagai bentuk pertahanan diri.
4. 1. 2. “Perang Melawan Terorisme” Mengukuhkan
Lingkaran Setan Kekerasan
Dekonstruksi terorisme yang dibuat Derrida
tak terpungkiri telah menyingkapkan pemahaman baru yang paradoks tentang konsep
terorisme, bahwa terorisme pada dasarnya adalah fenomen kompleks kejiwaan yang
tidak terkait dengan orang atau sekelompok orang tertentu saja. Terorisme in
se ada dalam diri setiap orang, dan sedang bersembunyi di alam bawah sadar
setiap orang. Oleh karena itu, terorisme sebenarnya tidak bisa dilawan dengan
“perang melawan terorisme” yang melegalkan penggunaan kekerasan.
“Perang melawan terorisme” dengan
legitimasi kekerasan pada dasarnya adalah jalur tempuh yang kurang tepat untuk
memerangi terorisme. Atau berdasarkan cara baca Derrida tentang terorisme, kita
sebenarnya sedang berperang melawan musuh atau jaringan yang tidak jelas.
Tindakan semacam ini tentunya tidak bisa dibenarkan secara pragmatis karena
hasil yang ditargetkan tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, “perang melawan
terorisme” hanya akan mengacaukan suasana hidup yang tenteram dengan ancaman
kekerasan. Sehingga dengan demikian, bisa juga berakibat fatal pada pengukuhan
lingkaran setan kekerasan, budaya teror, dan represi dalam kehidupan bersama.
Berdasarkan kerangka berpikir seperti ini,
saya melihat bahwa “perang melawan terorisme” sebenarnya adalah bentuk
pertahanan diri yang brutal. Karena pertahanan diri semacam ini adalah yang
paling lemah untuk melindungi diri. Mengapa? Alasannya bahwa masing-masing
orang sedang berada dalam kondisi labil antara melakukan perang melawan
terorisme dan mempertahankan diri dari serangan terorisme. Masing-masing orang
tanpa sadar berikhtiar untuk saling menyerang, saling meneror, saling membunuh
dalam “perang melawan terorisme”. Karena itu, klaim bahwa terorisme hanya terkait
orang atau sekelompok orang tertentu saja tidak bisa dipertahankan lagi.
Terorisme adalah term inklusif untuk semua orang, yang berdasarkan
spiritualitas kekerasan telah menciptakan situasi perang yang tidak manusiawi.
“Perang melawan terorisme” pada hakikatnya
juga bisa berarti “perang semua melawan semua”. Dalam arti ini, masing-masing
orang memiliki kesempatan yang sama untuk saling memberi label terorisme,
saling meneror, saling membunuh karena ditopang oleh kesalahan berpikir bahwa
terorisme itu adalah orang lain, atau musuh yang berada di luar dirinya
sendiri. Masing-masing orang membangun pertahanannya sendiri, yang pada
akhirnya berakibat fatal menghancurkan dirinya sendri. “Perang melawan
terorisme” sebenarnya adalah upaya ironis, karena manusia sedang memutar haluan
peradaban kembali kepada masa lalu, kembali kepada keadaan alamiah dari hidup
manusia seperti yang diperguncingkan Hobbes, yaitu “situasi perang semua
melawan semua”.[9]
Di sisi lain, saya juga melihat bahwa
“perang melawan terorisme” sebagai tindakan mengukuhkan lingkaran setan
kekerasan dalam kehidupan bersama sebenarnya identik juga dengan budaya
“hukuman mati” dalam sistem peradilan pidana. Sama seperti “perang melawan
terorisme”, sistem pidana “hukuman mati” juga pada dasarnya adalah salah satu
bentuk pengukuhan lingkaran setan kekerasan pembunuhan yang tidak manusiawi.
Para terpidana pembunuhan dibunuh atas nama sebuah sistem, yang oleh aparat
berwenang dibungkus dalam istilah “hukum dan keadilan”. Menurut saya, cara
demikian sangat ironis untuk dipertontonkan karena substansi atau akar sebuah
pemasalahan tidak pernah tersentuh hanya dengan pendekatan kekerasan semacam
itu. Dalam tataran ini, kesamaan kedua bentuk pengukuhan lingkaran setan
kekerasan tersebut (perang melawan terorisme dan sistem pidana hukuman mati)
sudah semestinya didekonstruksi untuk mendapat arti baru. Karena kejanggalan
kedua sistem tersebut jelas terbaca dalam cara pendekatannya, yaitu “peneror
diteror” dan “pembunuh dibunuh”.
Berdasarkan serangkaian gugatan di atas,
maka mestikah kita terus mempertahankan kemapanan sistem-sistem brutal semacam
itu? Kesuperioran satu term atas term yang lain, sebagaimana
disoroti oleh Derrida dalam gagasan dekonstruksinya? Saya setuju bahwa segala
sesuatu mesti didekonstruksi untuk menguak makna baru. “Perang melawan
terorisme” dan budaya “hukuman mati” pun urgen untuk didekonstruksi agar tidak
lagi menjadi media yang brutal untuk mengukuhkan lingkaran setan kekerasan,
budaya teror dan represi dalam kehidupan umat manusia. Dengan mendekonstruksi
sistem-sistem tersebut, maka ideal yang bisa dicapai adalah bahwa kita akan
mampu masuk dalam substansi suatu permasalahan, untuk mencari alternatif solusi
yang lebih manusiawi dalam penyelesaian masalah-masalah.
4. 2. Pentingnya “Mengolah Diri” Sebagai Solusi
Untuk Bebas Dari Terorisme Bawah Sadar
Terorisme
bawah sadar sebagai fenomen intrinsik dalam diri setiap orang pada hakikatnya
selalu luput dari perhatian publik. Hal ini secara langsung bisa ditegaskan
berdasarkan term “bawah sadar” itu sendiri, yang dalam ilmu psikologi
diartikan sebagai “bagian kehidupan jiwa yang berada di bawah ambang
kesadaran”.[10] Namun meskipun demikian, pengistilahan
terorisme bawah sadar dalam tataran ini sebenarnya tetap bernilai penting untuk
dikaji bersama. Terorisme bawah sadar adalah nama sebuah problema yang menuntut
perhatian publik, memicu kesadaran untuk berefleksi tentang pelbagai fenomen
kekerasan yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
Berdasarkan
uraian-uraian sebelumnya yang membahas tentang relevansi dekonstruksi terorisme
terhadap “perang melawan terorisme”, maka sebenarnya secara tidak langsung
telah ditegaskan di sana bahwa setiap orang pada dasarnya harus bertanggung
jawab atas pelbagai fenomen kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Saya
menyimpulkan demikian, karena kekerasan-kekerasan yang nampak lahiriah tersebut
sebenarnya tak lain adalah proyeksi kekerasan yang telah dikonstruksi di alam
bawah sadar masing-masing orang. Akibat kekerasan alam bawah sadar itulah,
manusia memproyeksikan kekerasan-kekerasan fisis tak terkontrol, yang berujung
pada pengukuhan lingkaran setan kekerasan dalam kehidupan bersama.
Secara
sederhana bisa dilukiskan bahwa kekerasan yang terjadi di alam bawah sadar pada
dasarnya adalah hasil endapan dari pelbagai perasaan yang tidak diolah, yang
dikekang manusia, sehingga menimbulkan pengalaman traumatis dalam diri. Dengan
pengalaman traumatis itu, manusia terdorong untuk membangun pertahanan diri
terhadap pelbagai hal yang membahayakan dirinya. Tetapi pertahanan diri semacam
itu acapkali hanyalah konstruksi sentimentil yang didasarkan pada
kecurigaan-kecurigaan, dendam dan amarah, akibat endapan perasaan-perasaan yang
tidak diolah tersebut. Sehingga hasil akhir yang dimunculkan dalam kehidupan
bersama adalah tindakan-tindakan irasional, yang menganggap semua orang adalah
ancaman bagi eksistensinya, musuh bagi kenyamanannya. Dengan demikian,
kekerasan lahiriah pun terproyeksi sebagai akibat kekerasan yang telah terjadi
di alam bawah sadar. Dengan dalih mempertahankan diri, manusia bisa berperang
satu sama lain, saling meneror, saling membunuh, sehingga mengacaukan
ketenteraman hidup bersama.
Berdasarkan analisa psikologis seperti
ini, maka bisa dilihat bahwa terorisme bawah sadar yang dimaksudkan dalam
telaah ini tak lain adalah kekerasan yang terjadi di alam bawah sadar sebagai
akibat kelalaian mengolah perasaan, sehingga menimbulkan pengalaman traumatis
dalam diri. Dengan pengertian semacam ini, tentunya sorotan utama sebagai
substansi permasalahan yang memunculkan terorisme bawah sadar adalah perihal
“kelalaian mengolah perasaan yang menimbulkan pengalaman traumatis”. Sebab itu,
solusi proporsional untuk mengatasinya hanya bisa ditempuh dengan keseriusan
untuk “mengolah diri” agar kekerasan di alam bawah sadar bisa terhindari.
Mengolah
diri pertama-tama menuntut kesediaan setiap orang untuk kembali ke dalam
dirinya sendiri, untuk menilai dan memutuskan tentang apa yang terbaik bagi
dirinya dalam kehidupan kini dan di sini. Mengolah diri adalah aktus meditatif terhadap
kepribadian seutuhnya, pengalaman-pengalaman eksistensial yang dialami, dan
terutama perasaan-perasaan negatif yang ada di dalam diri, sehingga semuanya
bisa dimaknai secara baru demi perkembangan kepribadian yang sehat.
Terhadap
perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan dan ketakutan, mengolah diri
adalah upaya untuk membuka horizon berpikir bahwa perasaan-perasaan itu pada
dasarnya bersifat momental, sehingga tidak semestinya menjadi beban bagi
pikiran. Kecemasan dan ketakutan adalah pengalaman kekinian, dan setiap orang
mesti berdamai dengannya, agar perasaan-perasaan itu tidak terkekang dan
mengendap di balik alam bawah sadar. Mengolah diri mengharuskan setiap orang
untuk berpikir positif, dan menjadikan data pengalaman hidup sebagai pelajaran
yang berharga untuk dimaknai. Dengan demikian, perasaan yang dibangun pasca
kecemasan dan ketakutan momental itu adalah optimisme akan kebaikan hidup yang
berlandaskan pada perasaan yang sehat, tenteram dan damai.
Jadi,
mengolah diri adalah kemendesakan yang menuntut perhatian serius dari semua
pihak untuk menyikapinya. Mengolah diri adalah alternatif cara yang bisa
dipakai apabila manusia ingin bebas dari terorisme bawah sadar yang tidak kasat
mata itu. Dengan mengolah diri, terutama perasaan-perasaan negatif yang
dialami, maka manusia sebenarnya telah menentukan apa yang terbaik untuk
dihidupinya kini dan di sini, yaitu menciptakan iklim kehidupan pribadi yang
sehat sebagai basis terciptanya ketenteraman umum.
V. PENUTUP
5. 1.
Kesimpulan
Memahami terorisme dalam cara baca
dekonstruktif Jacques Derrida sebenarnya adalah upaya membalik tatanan lama
pemahaman publik yang seolah-olah jelas dan gamblang dengan sendirinya tentang
konsep terorisme. Cara baca tersebut eksplisit menampilkan wajah terorisme yang
kompleks, yang sebenarnya berakar dalam diri setiap orang karena kerap
melancarkan kekerasan terhadap alam bawah sadarnya. Terorisme alam bawah sadar
itulah yang menjadi pemicu pelbagai bentuk kekerasan lainnya sebagaimana
terproyeksi dalam realitas kehidupan bersama, kekerasan fisis yang tak
terkontrol dan brutal.
Memahami terorisme dalam cara baca
dekonstruktif Jacques Derrida implisit mengumandangkan juga perlawanan terhadap
“perang melawan terorisme” sebagai ikhtiar “prematur” pra meditation.
Dengan menabuhkan gong “perang melawan terorisme” umat manusia sebenarnya
sedang berada dalam kondisi “perang melawan diri sendiri” atau pula “perang
semua melawan semua” yang brutal. Akibatnya, lingkaran setan kekerasan, budaya
teror dan represi dikukuhkan berkepanjangan: teror-meneror dan bunuh-membunuh
menjadi tontonan umum yang memprihatinkan. Di sini, “perang melawan terorisme”
bukanlah modus penyelesaian masalah yang tepat, melainkan instrumen pembunuh
massal yang tak terelakkan.
Untuk mengatasi masalah terorisme,
manusia semestinya menemukan cara yang lebih manusiawi. Manusia mesti kembali
ke dalam dirinya sendiri untuk menemukan di sana benih terorisme yang sedang
bersembunyi di balik alam bawah sadar. Manusia mesti mengolah diri, terutama
mengolah perasaan-perasaan negatif yang dialami, agar tidak menjadi beban
pikiran yang menyulut pelbagai bentuk kekerasan eksternal. Mengolah diri
membutuhkan komitmen. Mengolah diri terutama dimaksudkan demi kebaikan manusia,
demi perkembangan kepribadian yang sehat dalam pemaknaan kehidupan kini dan di
sini. Itulah nilai fundamental yang mesti dipilih manusia untuk mengindari
kekerasan brutal terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Masing-masing pribadi mesti bertanggung jawab untuk upaya ini, berusaha mengenal
dan berdamai dengan perasaan-perasaan momentalnya, terutama kecemasan dan
ketakutan, sehingga dengan demikian menjadikan alam bawah sadarnya sehat, bebas
dari endapan pengalaman traumatis.
Dengan demikian, konsep terorisme yang selama ini disinyalir jelas dan
gamblang dengan sendirinya kini mendapat bantahan yang tak terelakkan dalam
cara baca dekonstruktif Jacques Derrida. Terorisme adalah sebuah teks, dan
karena itu selalu terbuka untuk dimaknai secara baru demi kepentingan hidup
manusia, kebaikan diri manusia itu sendiri.
5. 2. Catatan
Kritis
Saya
menilai bahwa pendekatan dekonstruksi yang dibuat oleh Jacques Derrida terhadap
terorisme pada dasarnya berciri filosofis dan sekaligus psikologis. Dengan
mengusung kedua macam ciri khas tersebut, Derrida telah berhasil menguraikan
secara rasional-sistematis tentang proses oto-imunisasi yang terjadi di dalam
diri manusia. Proses oto-imunisasi itulah akar dari pelbagai macam bentuk
kekerasan, baik itu yang terjadi di alam bawah sadar manusia maupun yang
terproyeksi dalam kehidupan bersama.
Saya
setuju dengan alur pemikiran Derrida yang menandaskan bahwa terorisme bawah
sadar adalah jenis terorisme yang paling berbahaya. Menurut saya, terorisme
bawah sadar adalah akar permasalahan dari semua bentuk kekerasan yang
terproyeksi dalam kehidupan bersama, karena terorisme jenis ini implisit ada
dalam diri semua orang yang lalai mengolah perasaan-perasaan negatifnya. Sebab
itu, “perang melawan terorisme” adalah ikhtiar yang sia-sia, apabila
masing-masing orang tetap memelihara dan menyembunyikan terorisme di alam bawah
sadarnya.
Akhirnya,
boleh disimpulkan bahwa cara baca dekonstruktif Derrida terhadap terorisme
adalah alternatif pemahaman baru yang relevan untuk situasi aktual dewasa ini.
Tesis ilmiah tentang proses oto-imunisasi yang direkomendasikan layak untuk
disikapi oleh semua orang, agar lingkaran setan kekerasan, budaya teror dan
represi tidak terus-menerus dikukuhkan dalam pentas kehidupan umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar