Selasa, 19 Maret 2013

MEDIA MASSA SEBAGAI ARENA UNTUK MENGGULIRKAN KEKUATAN SIMULASI



Keberadaan media massa di “era informasi” yang membludak dewasa ini tentu merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dianulir oleh siapa pun. Media massa, baik cetak maupun elektronik pada hakikatnya telah tampil sebagai solusi tepat guna, di mana arus dan laju informasi dengan gamblangnya bisa diakomodir, untuk kemudian diekspose dan menjadi bahan konsumsi publik. Media massa, karena itu bagi sebagian besar orang “diamini” sebagai ruang publik yang atraktif, yang dapat menuntun manusia kepada akses informasi aktual pun bahkan pertarungan wacana dan ideologi.
Namun seiring dengan kiprahnya yang kian membius perhatian dan kesadaran massa, media massa pun sebenarnya masih tak luput dari kritik soal opsi eksistensinya sendiri. “Benarkah media massa sungguh menghayati hakikat keberadaannya sebagai ruang publik yang bebas dari segala kalkulasi, tendensi serta boncengan kepentingan?” Gugatan eksistensial semacam inilah yang kerap dilontarkan dan bahkan menjadi permenungan filosofis tersendiri bagi para filsuf, sebagai misal yang direpresentasikan oleh filsuf Prancis, Jean Baudrillard. Mungkinkah media massa yang selama ini kita agung-agungkan sebagai ruang publik yang atraktif itu hanyalah sarana atau arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi?
Menjawabi gugatan terakhir ini, saya bermaksud untuk menjelaskan sebuah sisi tilik di mana media massa secara implisit menjadi sarana atau arena mulus untuk menggulirkan kekuatan simulasi. Indikasi itu bisa dilihat dalam konsep framing (pembingkaian) yang acapkali digunakan oleh media massa dalam pemberitaan maupun penyiarannya. Konsep framing (pembingkaian) inilah yang kemudian melahirkan sifat hiperrealitas media massa, yang dalam tataran ini menjadikan media massa sebagai sarana atau arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi.
Konsep framing (pembingkaian) sering digunakan oleh media massa untuk menggambarkan sebuah peristiwa dengan menonjolkan aspek tertentu dan sekaligus menempatkan informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapat alokasi perhatian yang lebih besar ketimbang isu yang lain.[1] Dengan konsep semacam ini, media massa tentunya akan tampil beda dibanding keutuhan realitas yang sebenarnya. Karena penekanan-penekanan tertentu, pada hal-hal tertentu, bisa saja mengaburkan arti realitas yang sebenarnya. Sebagai misal, kita bisa menyimak ungkapan “terapi kejut” yang menjadi “mantra suci” dari kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai program 100 hari di bidang politik, hukum dan keamanan. Sejumlah masalah krusial yang pada pemerintahan lama tidak mungkin disentuh, pada waktu itu diwacanakan untuk mendapat perlakuan yang keras. Namun, kebijakan politik yang dikendalikan oleh shock therapy pada dasarnya tidak akan bertahan lama. Shock therapy itu sebenarnya hanya sekedar untuk diramaikan media massa, sehingga masyarakat yang mengkonsumsi berbagai sajian itu akan mudah terpesona. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ketua Dewan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Amien Rais secara gamblang menegaskan bahwa selama 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), mereka hanya menonjolkan penampilan, gaya, retorika, sementara how to get the job done seakan-akan terlupakan.[2] Sampai pada tataran ini, kita bisa melihat bagaimana media massa begitu mudah terjebak dengan konsep framingnya itu, sehingga akhirnya “dikenderai” sebagai alat propaganda politik yang efektif.
Lebih lanjut, konsep framing (pembingkaian) yang kerap digunakan oleh media massa pada dasarnya juga kerap memproduksi sifat hipperrealitas. Hal ini bisa dilihat dalam upaya cerdik media massa untuk mereproduksi hal-hal yang dianggap bisa menambah pundi-pundi tabungan pemilik modal.[3] Sebagai misal iklan “Biskuat” yang dipresentasikan dalam dunia maya televisi. Dalam iklan tersebut, pemirsa (konsumen) dibius dengan sebuah atraksi “lompat harimau” sekelompok anak kecil, di mana hanya seorang dari antara mereka yang bisa melakukannya dengan sempurna dan mengagumkan karena mengkonsumsi “Biskuat”. Di sini kita bisa melihat sifat hiperrealitas iklan tersebut yang pada dasarnya tidak menampilkan sesuatu yang asli, “Biskuat” itu sendiri sebagai snack, melainkan mengemasinya dengan sebuah realitas yang lebih nyata dari yang nyata, yaitu kemampuan untuk melakukan “lompat harimau” karena mengkonsumsi “Biskuat”. Dengan memproduksi sifat hiperrealitas seperti ini, maka media massa pun tak terpungkiri telah menjadi arena efektif untuk menggulirkan kekuatan simulasi, yaitu mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.[4]   





           


                [1]Abdul Ghofur dalam http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12487&Itemid=62.
                [2] http://mediacare.blogspot.com/2005/01/gebrakan-100-hari-ala-politik-simulasi.html
                [3] http://simulakrum.wordpress.com/2007/05/01/hiperrealitas-media/
                [4] http://ariefgunawan.blogspot.com/2006/05/membaca-baudrillard.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar