Keberadaan media massa
di “era informasi” yang membludak dewasa ini tentu merupakan suatu kebutuhan
yang tidak bisa dianulir oleh siapa pun. Media massa, baik cetak maupun elektronik pada hakikatnya
telah tampil sebagai solusi tepat guna, di mana arus dan laju informasi dengan
gamblangnya bisa diakomodir, untuk kemudian diekspose dan menjadi bahan
konsumsi publik. Media massa, karena itu bagi sebagian besar orang “diamini”
sebagai ruang publik yang atraktif, yang dapat menuntun manusia kepada akses
informasi aktual pun bahkan pertarungan wacana dan ideologi.
Namun seiring dengan kiprahnya yang kian membius
perhatian dan kesadaran massa,
media massa pun
sebenarnya masih tak luput dari kritik soal opsi eksistensinya sendiri.
“Benarkah media massa
sungguh menghayati hakikat keberadaannya sebagai ruang publik yang bebas dari
segala kalkulasi, tendensi serta boncengan kepentingan?” Gugatan eksistensial
semacam inilah yang kerap dilontarkan dan bahkan menjadi permenungan filosofis
tersendiri bagi para filsuf, sebagai misal yang direpresentasikan oleh filsuf
Prancis, Jean Baudrillard. Mungkinkah media massa yang selama ini kita agung-agungkan
sebagai ruang publik yang atraktif itu hanyalah sarana atau arena untuk
menggulirkan kekuatan simulasi?
Menjawabi gugatan terakhir ini, saya bermaksud untuk menjelaskan sebuah sisi tilik di mana
media massa
secara implisit menjadi sarana atau arena mulus untuk menggulirkan kekuatan
simulasi. Indikasi itu bisa dilihat dalam konsep framing (pembingkaian)
yang acapkali digunakan oleh media massa
dalam pemberitaan maupun penyiarannya. Konsep framing (pembingkaian)
inilah yang kemudian melahirkan sifat hiperrealitas media massa, yang dalam tataran ini menjadikan
media massa
sebagai sarana atau arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi.
Konsep framing (pembingkaian) sering
digunakan oleh media massa
untuk menggambarkan sebuah peristiwa dengan menonjolkan aspek tertentu dan
sekaligus menempatkan informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu
mendapat alokasi perhatian yang lebih besar ketimbang isu yang lain.[1]
Dengan konsep semacam ini, media massa
tentunya akan tampil beda dibanding keutuhan realitas yang sebenarnya. Karena
penekanan-penekanan tertentu, pada hal-hal tertentu, bisa saja mengaburkan arti
realitas yang sebenarnya. Sebagai misal, kita bisa menyimak ungkapan “terapi
kejut” yang menjadi “mantra suci” dari kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang
dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai program
100 hari di bidang politik, hukum dan keamanan. Sejumlah masalah krusial yang
pada pemerintahan lama tidak mungkin disentuh, pada waktu itu diwacanakan untuk
mendapat perlakuan yang keras. Namun, kebijakan politik yang dikendalikan oleh shock
therapy pada dasarnya tidak akan bertahan lama. Shock therapy itu
sebenarnya hanya sekedar untuk diramaikan media massa, sehingga masyarakat yang
mengkonsumsi berbagai sajian itu akan mudah terpesona. Karena itu, tidaklah
mengherankan apabila Ketua Dewan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Amien
Rais secara gamblang menegaskan bahwa selama 100 hari pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), mereka hanya menonjolkan
penampilan, gaya, retorika, sementara how to get the job done
seakan-akan terlupakan.[2] Sampai pada tataran
ini, kita bisa melihat bagaimana media massa begitu mudah terjebak dengan
konsep framingnya itu, sehingga akhirnya “dikenderai” sebagai alat
propaganda politik yang efektif.
Lebih lanjut, konsep framing
(pembingkaian) yang kerap digunakan oleh media massa pada dasarnya juga kerap
memproduksi sifat hipperrealitas. Hal ini bisa dilihat dalam upaya cerdik media
massa untuk mereproduksi hal-hal yang dianggap bisa menambah pundi-pundi
tabungan pemilik modal.[3] Sebagai misal iklan
“Biskuat” yang dipresentasikan dalam dunia maya televisi. Dalam iklan tersebut,
pemirsa (konsumen) dibius dengan sebuah atraksi “lompat harimau” sekelompok
anak kecil, di mana hanya seorang dari antara mereka yang bisa melakukannya
dengan sempurna dan mengagumkan karena mengkonsumsi “Biskuat”. Di sini kita
bisa melihat sifat hiperrealitas iklan tersebut yang pada dasarnya tidak
menampilkan sesuatu yang asli, “Biskuat” itu sendiri sebagai snack,
melainkan mengemasinya dengan sebuah realitas yang lebih nyata dari yang nyata,
yaitu kemampuan untuk melakukan “lompat harimau” karena mengkonsumsi “Biskuat”.
Dengan memproduksi sifat hiperrealitas seperti ini, maka media massa pun tak
terpungkiri telah menjadi arena efektif untuk menggulirkan kekuatan simulasi,
yaitu mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang
imajiner, yang benar dengan yang palsu.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar