I. PENDAHULUAN
Kebajikan
moral sebagai salah satu tema penting dalam ranah filsafat sedianya sudah
banyak digeluti oleh para filsuf. Ada pelbagai macam bentuk rekomendasi
pemikiran yang telah mereka ”telurkan” sehubungan dengan tema ini, dan tentunya
masing-masing dengan kekhasan aksentuasinya. Mereka berusaha meneliti,
mendalami, lantas menyimpulkan landasan teoretis yang intelligible
sebagai panduan untuk menakar makna kebajikan moral yang ideal bagi tindakan
pribadi manusia.
Terkait
perihal pluralitas ”teluran” pemikiran para filsuf itu, maka dalam paper
sederhana ini, penulis ingin memajukan telaah konseptual dua pemikir besar yang
sungguh menaruh minat atas tema ini, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant. Sasaran
atau tujuan yang hendak penulis capai melalui eksplorasi ilmiah ini adalah
berusaha memahami inti pemikiran mereka untuk kemudian menemukan persamaan dan
perbedaan aksentuasi yang mereka ”telurkan” sehubungan dengan makna kebajikan
moral. Sebab itu, paper sederhana ini secara ringkas penulis beri judul:
”Memahami Makna Kebajikan Moral Menurut Aristoteles dan Immanuel Kant (Sebuah
Telaah Perbandingan Aksentuasi)”.
Berikut ini adalah uraian-uraian penting
untuk memahami pemikiran kedua tokoh ini, dan catatan analitis penulis sesuai
maksud yang sudah disebutkan di atas.
II. KEBAJIKAN MORAL MENURUT ARISTOTELES
Kebajikan
moral menurut Aristoteles pada hakikatnya merupakan suatu disposisi dan
sekaligus kualifikasi. Hal ini bisa ditunjukkan lewat analisa-analisa
konseptualnya, di mana sebelum mendefinisikan arti kebajikan moral secara
komprehensif, Aristoteles pertama-tama berusaha mencari genus umum bagi term
kebajikan itu sendiri dan kekhasan yang membedakannya dari hal lain, sebagai
misal kejahatan.
Menurut Aristoteles, kebajikan itu sendiri
secara fundamental bukanlah soal perasaan atau pun kemampuan, karena perasaan
dan kemampuan lebih merupakan suatu pasivitas. Perasaan atau passion pada dasarnya hanyalah bagian
dari keberadaan manusia sebagai makhluk rasional. Begitu juga halnya dengan
kemampuan atau power. Kemampuan atau power adalah sesuatu yang alamiah,
sebagai karakter bawaan yang melaluinya manusia bisa mengalami passion.[1] Sebab itu, perasaan atau passion dan juga kemampuan atau power dalam tataran ini tidak bisa
menjadi genus bagi sebuah kebajikan.
Bertolak dari pemahaman ini, Aristoteles
kemudian menandaskan bahwa sebenarnya hanya ada satu hal yang bisa menjadi
genus umum bagi sebuah kebajikan, yaitu disposisi atau keadaan atau hexis. Dalam arti ini, kebajikan sebagai
disposisi atau keadaan atau hexis
adalah sesuatu yang aktif, yang hanya bisa ditemukan dalam cara kita membentuk
diri dalam menghadapi passion.[2]
Aristoteles
kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa kata hexis atau keadaan atau disposisi yang dipakainya
itu sedianya memiliki tautan arti yang sangat erat dengan kata kerja
Yunani echein, yang berarti
“memiliki”. Kata kerja ini seyogianya tidak boleh dimengerti secara eksklusif,
dalam arti transitif, yaitu “memiliki sesuatu”, sebagai misal uang atau
pakaian. Menurut Aristoteles, arti kata kerja ini hakikatnya harus dipahami
lebih luas, dalam arti intransitif atau refleksif, yaitu “memiliki diri untuk
sesuatu yang lain”.[3] Sehingga dengan demikian, hexis yang dipertautkan maknanya dengan
kata kerja echein itu pada akhirnya
mesti dipahami sebagai suatu disposisi yang tetap dari suatu subyek, yang
membuat subyek tersebut selalu terarah kepada sesuatu, entah baik atau buruk.[4]
Namun jika kata hexis yang dipertautkan artinya dengan kata kerja Yunani echein itu
dimengerti secara demikian, maka pertanyaan yang muncul adalah ”apa sebenarnya
yang menjadi kekhasan dari kebajikan bila diperhadapkan dengan hal lain, sebagai
misal kejahatan yang bisa juga merupakan suatu disposisi?
Untuk
menjawabi pertanyaan ini, maka Aristoteles memajukan kualifikasi tertentu
terkait soal kebajikan. Menurut Aristoteles, kebajikan atau keutamaan itu
selalu bersifat menyempurnakan sesuatu dan menjadikan sesuatu itu berfungsi
secara baik. Atau dengan kata lain, kebajikan sebagai suatu disposisi atau
keadaan atau hexis itu selalu terarah
kepada sesuatu yang baik, menunjuk kepada suatu keunggulan, suatu keadaan
sempurna yang diperlawankan dengan keadaan yang tidak sempurna atau kekurangan.
Maka, kualifikasi kebajikan seperti ini tentu tak lain merupakan sebuah hasil
pembiasaan diri yang tetap (sulit untuk berubah) dalam memilih jalan tengah,
atau titik tengah dari sesuatu hal. Jalan tengah atau titik tengah itulah yang
oleh Aristoteles disebut sebagai titik tengah moral bagi manusia.[5]
Terkait
perihal jalan tengah atau titik tengah moral itu, Aristoteles berpendapat bahwa
dimensi ini pada dasarnya bersifat subyektif. Artinya bahwa jalan tengah atau
titik tengah moral itu bukanlah suatu ketepatan matematis, tetapi tergantung
dari pribadi, siapakah pribadi tersebut. Dalam konteks ini, untuk menentukan
jalan tengah atau titik tengah moral bagi sebuah tindakan pribadi tertentu,
agen dan kondisi hidupnya selalu turut dipertimbangkan. Hal ini disebabkan
karena bisa saja sebuah tindakan pribadi itu buruk apabila dilakukan terlalu
banyak (excess), atau juga terlalu
kurang (defect).[6] Jalan tengah atau titik tengah antara
kedua ekstrim itulah yang mesti dipilih sebagai titik tengah moral, yang
berfungsi sebagai penjaga keseimbangan atau keselarasan bertindak seseorang.
Namun
apabila perihal jalan tengah atau titik tengah moral itu pada dasarnya tidak
memiliki ukuran matematis, sehingga sangat relatif dan subyektif, maka tentunya
dalam merealisasikan sebuah tindakan yang tepat mesti ada panduan tertentu yang
dituruti. Dalam arti ini, menurut Aristoteles campur tangan akal budi dan
kebijaksanaan praktis adalah kerangka acuan yang tidak bisa tidak diperhatikan
dalam menentukan jalan tengah atau titik tengah moral tersebut. Akal budi dan
kebijaksanaan praktis adalah pemandu utama yang memberi terang ketepatan untuk
memilih jalan tengah atau titik tengah moral yang semestinya. Sebab melalui
kebijaksanaan praktis, rasionalitaslah yang akan menjiwai emosi dan tindakan
manusia.[7]
Berdasarkan
hasil uraian runtut-sistematis ini, Aristoteles kemudian sampai kepada sebuah
kesimpulan yang komprehensif tentang makna kebajikan moral yang dimaksudkannya,
yaitu sebagai “suatu karakter permanen, disposisi yang berkaitan dengan pilihan
dan yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara kedua ekstrim:
ekses dan defisiensi; jalan tengah seperti yang ditentukan oleh prinsip
rasionalitas, atau seperti yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki
kebijaksanaan praktis”.[8]
III. KEBAJIKAN MORAL MENURUT IMMANUEL KANT
Immanuel
Kant pada dasarnya tidak membuat satu uraian yang runtut-sistematis seperti
Aristoteles tatkala mendefinisikan arti kebajikan moral. Tetapi meskipun
demikian, ada beberapa pokok pikiran penting yang tertuang dalam tulisannya,
yang secara panjang lebar membahas pula soal kebajikan dan nilai moral bagi
manusia. Salah satu bukunya yang bisa menjadi rujukan untuk memahami perihal
ini, yaitu ”Dasar-Dasar Metafisika Moral”.[9]
Berikut ini penulis akan berusaha meringkas seperlunya pokok pikiran yang
tertuang dalam buku ini, dan juga dari sumber-sumber lain yang mendukung, untuk
memahami apa makna kebajikan moral menurut sang filsuf ini.
Kebajikan atau keutamaan menurut Immanuel
Kant pada hakikatnya sangat erat berkaitan dengan kewajiban yang sudah tertanam
kuat dalam watak kita.[10]
Kebajikan itu adalah suatu disposisi, tetapi suatu disposisi dari satu
kehendak; bukan suatu disposisi dari emosi, perasaan, hasrat atau segi yang
lain dari keadaan alamiah manusia.[11]
Tentang
disposisi dari satu kehendak itu, Immanuel Kant menulis: “Tidak ada di dunia,
benar-benar tidak ada, bahkan melampaui dunia, yang kemungkinan bisa dianggap
atau dapat disebut baik tanpa kualifikasi kecuali kehendak baik (good will) . . . Kehendak itu hanya bisa
disebut baik karena keinginannya, yaitu baik di dalam dirinya sendiri”.[12] Dalam arti ini, Immanuel Kant secara
implisit memberi kualifikasi tertentu terkait soal kebajikan sebagai suatu
disposisi kehendak. Kualifikasi ini adalah kekhasan kebajikan, yang bernilai
baik di dalam dirinya sendiri untuk dimiliki siapa saja.
Konsep tentang makna kebajikan seperti ini
kemudian dipertautkan secara lebih jelas oleh Immanuel Kant dalam konsep
tentang kewajiban (concept of duty),
di mana dalam dan melaui konsep itu termanifestasi kehendak baik sebagai suatu
disposisi yang permanen (absolut) dalam diri manusia. Immanuel Kant menulis
tentang esensi kewajiban itu sebagai berikut: “Untuk kewajiban, setiap motif
lain harus memberikan tempat, karena kewajiban adalah kondisi kehendak baik
dalam dirinya sendiri, yang nilainya melampaui segala hal”.[13]
Sampai pada tataran ini, maka dapatlah
dipahami bahwa kebajikan menurut Immanuel Kant memang sangat erat dihubungkan
dengan kewajiban. Namun pertanyaannya, bagaimana semestinya manusia bertindak
seturut prinsip kewajiban ini?
Menurut Immanuel Kant, bertindak seturut
prinsip kewajiban haruslah bersumber pada hukum moral yang berasal dari
kehendak otonom, yaitu karena hormat terhadap hukum. Hukum moral tersebut
adalah perintah akal budi praktis yang memerintahkan untuk dirinya apa yang
harus dan apa yang tidak boleh dilakukan.[14] Berdasarkan data ini, Immanuel Kant
lantas memperguncingkan esensi kewajiban moral, yaitu sebagai suatu disposisi
kehendak yang bernilai permanen (absolut) dalam diri manusia untuk hormat
terhadap hukum, karena jika akal budi praktis menentukan kehendak, maka
perbuatan-perbuatan yang dikenali secara objektif sebagai kebutuhan, tidak bisa
tidak berlaku juga subjektif bagi siapa saja. Kewajiban moral seperti ini
hakikatnya adalah tuntutan mutlak yang mesti dituruti oleh semua orang; sudah
merupakan satu perhitungan matematis yang tidak bisa dibantah keabsahannya.
Dengan kata lain, kewajiban moral seperti ini adalah sebuah kecakapan memilih
hanya dengan akal, yang secara otonom bebas dari kecenderungan, sehingga
mengenali kebutuhan secara praktis, yaitu segala hal yang berkenaan dengan kebaikan.[15]
Dengan demikian, berdasarkan serangkaian
ide yang sudah dipaparkan di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna kebajikan
moral (secara implisit) menurut Immanuel Kant sedianya adalah suatu disposisi
kehendak (baik) yang permanen, yang sudah tertanam kuat dalam watak kita untuk
bertindak seturut prinsip kewajiban, yaitu hormat terhadap hukum atas perintah
akal budi praktis.
IV. CATATAN KRITIS: TELAAH PERBANDINGAN AKSENTUASI
4. 1. Persamaan Aksentuasi
Aristoteles
dan Immanuel Kant pada dasarnya sepakat bahwa genus umum dari kebajikan adalah
suatu disposisi permanen dalam diri manusia; yang telah tertanam kuat dalam
watak kita. Kebajikan semacam itu adalah hasil dari suatu proses pembiasaan
diri, yang nilai khasnya adalah menyempurnakan segala sesuatu karena esensinya
adalah baik dalam dirinya sendiri.
Aristoteles
dan Immanuel Kant juga sepakat dalam hal lain bahwa untuk bertindak bajik, maka
semestinya rasio atau akal budi manusia turut berperan serta di dalamnya. Rasio
atau akal budi adalah lentera penerang bagi ketetapan hati untuk memilih apa
yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam arti ini, rasio atau akal
budi semestinya bersifat praktis, yaitu tahu menentukan kehendak untuk memilih
tindakan yang tepat dalam ranah praksis. Rasio atau akal budi itu mesti bebas
dari segala kecenderungan, supaya mengenali kebutuhan-kebutuhan bertindak
secara lebih obyektif.
4. 2. Perbedaan Aksentuasi
Satu hal yang secara fundamental berbeda
dalam pemikiran kedua tokoh ini berkenaan dengan makna kebajikan moral, yaitu
tentang ”subyektivitas jalan tengah yang diperguncingkan oleh Aristoteles” versus ”obyektivitas kewajiban yang
diusung oleh Immanuel Kant”. Dalam konteks ini, Aristoteles dan Immanuel Kant
sama-sama memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda terkait perihal bagaimana
semestinya menilai perbuatan bajik-etis seseorang.
Menurut
Aristoteles, perihal memilih jalan tengah untuk sebuah tindakan pribadi
tertentu pada dasarnya tidak memiliki ukuran matematis yang mesti dirujuk.
Perihal memilih jalan tengah tersebut lebih dikembalikan kepada pertimbangan
pribadi yang bersangkutan, otonomi subyek untuk memutuskan jalan tengah mana
yang tepat bagi tindakannya. Dalam arti ini, Aristoteles sangat
mempertenggangkan pilihan bebas masing-masing pribadi, karena keyakinannya
bahwa manusia telah dibekali secara memadai dengan kemampuan akal budi dan
kebijaksanaan praktis untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya.
Subyek atau pribadi bersangkutan hanya mesti memaksimalkan kapasitas miliknya
itu untuk menjatuhkan pilihan yang tepat, yaitu jalan tengah sebagai titik keseimbangan
antara kedua ekstrim tindakan (excess dan
defect).
Dari
pihak lain, subyektivitas jalan tengah seperti yang diperguncingkan oleh
Aristoteles ini sepertinya tidak disetujui oleh Immanuel Kant. Dalam konteks
ini, Immanuel Kant memajukan tesis dasarnya yang bertentangan dengan
Aristoteles, yaitu tentang obyektivitas kewajiban sebagai rujukan pilihan
bertindak seseorang.
Menurut
Immanuel Kant, subyek pada dasarnya tidak memiliki otonomi dalam diri untuk
memutuskan sendiri sesuatu hal yang berkaitan dengan pilihan tindakan
pribadinya. Subyek hanya perlu menjalankan kewajibannya, yang dalam batasan
Immanuel Kant disebutnya sebagai hormat terhadap hukum. Itulah pilihan yang
obyektif dari subyek, siapa saja dia dengan seluruh situasi dan kondisi hidupnya,
karena perihal ini sudah merupakan maksim[16]
yang mesti diikuti. Kewajiban seperti ini juga oleh Immanuel Kant disebut
sebagai hukum universal, yang berlaku kapan dan di mana saja bagi semua orang.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa perbedaaan aksentuasi antara kedua filsuf ini hanyalah
terletak pada penilaian terkait pilihan subyek dalam menentukan tindakan
pribadinya. Bagi Aristoteles, pilihan itu adalah sesuatu hal yang bersifat
subyektif. Sedangkan menurut Immanuel Kant, pilihan tersebut mesti absolut, obyektif,
seturut prinsip kewajiban yang sudah ditetapkan.
4. 3. Rangkuman
Aristoteles
dan Immanuel Kant pada dasarnya telah mengkonsepkan arti kebajikan moral yang intelligible. Kedua filsuf ini telah
menyumbang bagi kita perihal penting bagaimana semestinya mendisposisikan diri
dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari. Meskipun dengan titik tolak
pemikiran yang sedikit berbeda, terutama dalam hal perbedaan aksentuasi di
atas, namun keduanya tetap terlihat bermaksud sama dalam satu hal berikut, yaitu
bahwa kebajikan moral itu adalah keadaan ideal yang mesti dimiliki oleh setiap
orang.
Makna
kebajikan moral yang sudah ”ditelurkan” oleh kedua filsuf ini pada hakikatnya juga
adalah hasil dari suatu perhelatan refleksi yang mendalam tentang hakikat hidup
manusia, di mana dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari sungguh disadari
bahwa manusia akan selalu dan senantiasa dihadapkan kepada pilihan-pilihan
ultim untuk diputuskannya. Dalam arti ini, tuntutan makna kebajikan moral
secara praktis adalah bahwa manusia mesti selalu dan senantiasa memilih yang
terbaik bagi dirinya, yang mesti menyempurnakan dirinya dalam dan melalui tindakannya.
Dengan memahami makna kebajikan moral seperti ini, maka sedianya setiap pilihan
tindakan pribadi adalah juga manifestasi ideal keadaan diri sebagai hasil dari
sebuah proses pembiasaan (habituasi).
V. PENUTUP
Aristoteles
dan Immanuel Kant adalah dua pemikir besar yang sama-sama menaruh minat untuk ”menelurkan”
makna kebajikan moral kendatipun keduanya berasal dari zaman yang berbeda,
yaitu Yunani Klasik dan Modern dengan kekhasan pola berpikirnya masing-masing.
Aristoteles adalah seorang pemikir yang runtut-sistematis dalam merumuskan makna
kebajikan moral, sedangkan Immanuel Kant lebih cenderung membeberkan ide pemikirannya
tanpa suatu pembatasan tertentu.
Berdasarkan
keseluruhan uraian yang dipaparkan di atas, penulis akhirnya berkesimpulan
bahwa pada hakikatnya Aristoteles dan Immanuel Kant memiliki persamaan dan perbedaan
aksentuasi dalam merumuskan makna kebajikan moral. Keduanya tampak sama
memaknai kebajikan moral sebagai suatu disposisi yang permanen dalam diri
manusia, dan akal budi praktis sebagai penuntun untuk bertindak secara bajik-moral.
Namun pada pihak lain, keduanya juga tak terpungkiri berbeda dalam hal
menentukan apakah pilihan untuk bertindak secara bajik-moral itu bersifat
subyektif atau obyektif. Tentang ini, Aristoteles berpendapat bahwa pilihan itu
bersifat subyektif, sedangkan Immanuel Kant lebih melihatnya sebagai sesuatu
yang obyektif, yang sudah merupakan satu perhitungan matematis, sehingga wajib menjadi
pilihan semua orang. Itulah persamaan dan perbedaan aksentuasi yang mereka ”telurkan”
sehubungan dengan makna kebajikan moral. Tetapi dari kesemua persamaan dan
perbedaan aksentuasi itu, penulis tetap melihat satu inti visi yang sama dari
kedua filsuf ini, yaitu bahwa keduanya ingin ”menelurkan” makna kebajikan moral
sebagai suatu keadaan ideal yang mesti dimiliki oleh semua orang. Kebajikan
moral adalah proyeksi diri, dalam dan melaluinya manusia menyatakan siapa
dirinya dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari.
Dengan
demikian, makna kebajikan moral seperti yang sudah direkomendasikan oleh kedua
filsuf ini adalah semacam tawaran konseptual yang bisa menjadi catatan penting
bagi siapa saja untuk merumuskan pilihan tindakan pribadinya; pilihan tindakan
yang mesti berkebajikan moral sebagai manifestasi ideal keadaan diri.
[11]“Kant's Moral Philosophy”, dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-moral. Diakses, tanggal
25 April 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar