Selasa, 19 Maret 2013

MEMAHAM MAKNA KEBAJIKAN MORAL MENURUT ARISTOTELES dan IMMANUEL KANT (Sebuah Telaah Perbandingan Aksentuasi)



I. PENDAHULUAN
            Kebajikan moral sebagai salah satu tema penting dalam ranah filsafat sedianya sudah banyak digeluti oleh para filsuf. Ada pelbagai macam bentuk rekomendasi pemikiran yang telah mereka ”telurkan” sehubungan dengan tema ini, dan tentunya masing-masing dengan kekhasan aksentuasinya. Mereka berusaha meneliti, mendalami, lantas menyimpulkan landasan teoretis yang intelligible sebagai panduan untuk menakar makna kebajikan moral yang ideal bagi tindakan pribadi manusia.
            Terkait perihal pluralitas ”teluran” pemikiran para filsuf itu, maka dalam paper sederhana ini, penulis ingin memajukan telaah konseptual dua pemikir besar yang sungguh menaruh minat atas tema ini, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant. Sasaran atau tujuan yang hendak penulis capai melalui eksplorasi ilmiah ini adalah berusaha memahami inti pemikiran mereka untuk kemudian menemukan persamaan dan perbedaan aksentuasi yang mereka ”telurkan” sehubungan dengan makna kebajikan moral. Sebab itu, paper sederhana ini secara ringkas penulis beri judul: ”Memahami Makna Kebajikan Moral Menurut Aristoteles dan Immanuel Kant (Sebuah Telaah Perbandingan Aksentuasi)”.
              Berikut ini adalah uraian-uraian penting untuk memahami pemikiran kedua tokoh ini, dan catatan analitis penulis sesuai maksud yang sudah disebutkan di atas.

II. KEBAJIKAN MORAL MENURUT ARISTOTELES
            Kebajikan moral menurut Aristoteles pada hakikatnya merupakan suatu disposisi dan sekaligus kualifikasi. Hal ini bisa ditunjukkan lewat analisa-analisa konseptualnya, di mana sebelum mendefinisikan arti kebajikan moral secara komprehensif, Aristoteles pertama-tama berusaha mencari genus umum bagi term kebajikan itu sendiri dan kekhasan yang membedakannya dari hal lain, sebagai misal kejahatan.
Menurut Aristoteles, kebajikan itu sendiri secara fundamental bukanlah soal perasaan atau pun kemampuan, karena perasaan dan kemampuan lebih merupakan suatu pasivitas. Perasaan atau passion pada dasarnya hanyalah bagian dari keberadaan manusia sebagai makhluk rasional. Begitu juga halnya dengan kemampuan atau power. Kemampuan atau power adalah sesuatu yang alamiah, sebagai karakter bawaan yang melaluinya manusia bisa mengalami passion.[1] Sebab itu, perasaan atau passion dan juga kemampuan atau power dalam tataran ini tidak bisa menjadi genus bagi sebuah kebajikan.
Bertolak dari pemahaman ini, Aristoteles kemudian menandaskan bahwa sebenarnya hanya ada satu hal yang bisa menjadi genus umum bagi sebuah kebajikan, yaitu disposisi atau keadaan atau hexis. Dalam arti ini, kebajikan sebagai disposisi atau keadaan atau hexis adalah sesuatu yang aktif, yang hanya bisa ditemukan dalam cara kita membentuk diri dalam menghadapi passion.[2]
            Aristoteles kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa kata hexis atau keadaan atau disposisi yang dipakainya itu sedianya memiliki tautan arti yang sangat erat dengan kata kerja Yunani echein, yang berarti “memiliki”. Kata kerja ini seyogianya tidak boleh dimengerti secara eksklusif, dalam arti transitif, yaitu “memiliki sesuatu”, sebagai misal uang atau pakaian. Menurut Aristoteles, arti kata kerja ini hakikatnya harus dipahami lebih luas, dalam arti intransitif atau refleksif, yaitu “memiliki diri untuk sesuatu yang lain”.[3] Sehingga dengan demikian, hexis yang dipertautkan maknanya dengan kata kerja echein itu pada akhirnya mesti dipahami sebagai suatu disposisi yang tetap dari suatu subyek, yang membuat subyek tersebut selalu terarah kepada sesuatu, entah baik atau buruk.[4]
Namun jika kata hexis yang dipertautkan artinya dengan kata kerja Yunani echein itu dimengerti secara demikian, maka pertanyaan yang muncul adalah ”apa sebenarnya yang menjadi kekhasan dari kebajikan bila diperhadapkan dengan hal lain, sebagai misal kejahatan yang bisa juga merupakan suatu disposisi?  
            Untuk menjawabi pertanyaan ini, maka Aristoteles memajukan kualifikasi tertentu terkait soal kebajikan. Menurut Aristoteles, kebajikan atau keutamaan itu selalu bersifat menyempurnakan sesuatu dan menjadikan sesuatu itu berfungsi secara baik. Atau dengan kata lain, kebajikan sebagai suatu disposisi atau keadaan atau hexis itu selalu terarah kepada sesuatu yang baik, menunjuk kepada suatu keunggulan, suatu keadaan sempurna yang diperlawankan dengan keadaan yang tidak sempurna atau kekurangan. Maka, kualifikasi kebajikan seperti ini tentu tak lain merupakan sebuah hasil pembiasaan diri yang tetap (sulit untuk berubah) dalam memilih jalan tengah, atau titik tengah dari sesuatu hal. Jalan tengah atau titik tengah itulah yang oleh Aristoteles disebut sebagai titik tengah moral bagi manusia.[5]
            Terkait perihal jalan tengah atau titik tengah moral itu, Aristoteles berpendapat bahwa dimensi ini pada dasarnya bersifat subyektif. Artinya bahwa jalan tengah atau titik tengah moral itu bukanlah suatu ketepatan matematis, tetapi tergantung dari pribadi, siapakah pribadi tersebut. Dalam konteks ini, untuk menentukan jalan tengah atau titik tengah moral bagi sebuah tindakan pribadi tertentu, agen dan kondisi hidupnya selalu turut dipertimbangkan. Hal ini disebabkan karena bisa saja sebuah tindakan pribadi itu buruk apabila dilakukan terlalu banyak (excess), atau juga terlalu kurang (defect).[6] Jalan tengah atau titik tengah antara kedua ekstrim itulah yang mesti dipilih sebagai titik tengah moral, yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan atau keselarasan bertindak seseorang.
            Namun apabila perihal jalan tengah atau titik tengah moral itu pada dasarnya tidak memiliki ukuran matematis, sehingga sangat relatif dan subyektif, maka tentunya dalam merealisasikan sebuah tindakan yang tepat mesti ada panduan tertentu yang dituruti. Dalam arti ini, menurut Aristoteles campur tangan akal budi dan kebijaksanaan praktis adalah kerangka acuan yang tidak bisa tidak diperhatikan dalam menentukan jalan tengah atau titik tengah moral tersebut. Akal budi dan kebijaksanaan praktis adalah pemandu utama yang memberi terang ketepatan untuk memilih jalan tengah atau titik tengah moral yang semestinya. Sebab melalui kebijaksanaan praktis, rasionalitaslah yang akan menjiwai emosi dan tindakan manusia.[7]
            Berdasarkan hasil uraian runtut-sistematis ini, Aristoteles kemudian sampai kepada sebuah kesimpulan yang komprehensif tentang makna kebajikan moral yang dimaksudkannya, yaitu sebagai “suatu karakter permanen, disposisi yang berkaitan dengan pilihan dan yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara kedua ekstrim: ekses dan defisiensi; jalan tengah seperti yang ditentukan oleh prinsip rasionalitas, atau seperti yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kebijaksanaan praktis”.[8]


III. KEBAJIKAN MORAL MENURUT IMMANUEL KANT
            Immanuel Kant pada dasarnya tidak membuat satu uraian yang runtut-sistematis seperti Aristoteles tatkala mendefinisikan arti kebajikan moral. Tetapi meskipun demikian, ada beberapa pokok pikiran penting yang tertuang dalam tulisannya, yang secara panjang lebar membahas pula soal kebajikan dan nilai moral bagi manusia. Salah satu bukunya yang bisa menjadi rujukan untuk memahami perihal ini, yaitu ”Dasar-Dasar Metafisika Moral”.[9] Berikut ini penulis akan berusaha meringkas seperlunya pokok pikiran yang tertuang dalam buku ini, dan juga dari sumber-sumber lain yang mendukung, untuk memahami apa makna kebajikan moral menurut sang filsuf ini. 
Kebajikan atau keutamaan menurut Immanuel Kant pada hakikatnya sangat erat berkaitan dengan kewajiban yang sudah tertanam kuat dalam watak kita.[10] Kebajikan itu adalah suatu disposisi, tetapi suatu disposisi dari satu kehendak; bukan suatu disposisi dari emosi, perasaan, hasrat atau segi yang lain dari keadaan alamiah manusia.[11]
            Tentang disposisi dari satu kehendak itu, Immanuel Kant menulis: “Tidak ada di dunia, benar-benar tidak ada, bahkan melampaui dunia, yang kemungkinan bisa dianggap atau dapat disebut baik tanpa kualifikasi kecuali kehendak baik (good will) . . . Kehendak itu hanya bisa disebut baik karena keinginannya, yaitu baik di dalam dirinya sendiri”.[12] Dalam arti ini, Immanuel Kant secara implisit memberi kualifikasi tertentu terkait soal kebajikan sebagai suatu disposisi kehendak. Kualifikasi ini adalah kekhasan kebajikan, yang bernilai baik di dalam dirinya sendiri untuk dimiliki siapa saja.
Konsep tentang makna kebajikan seperti ini kemudian dipertautkan secara lebih jelas oleh Immanuel Kant dalam konsep tentang kewajiban (concept of duty), di mana dalam dan melaui konsep itu termanifestasi kehendak baik sebagai suatu disposisi yang permanen (absolut) dalam diri manusia. Immanuel Kant menulis tentang esensi kewajiban itu sebagai berikut: “Untuk kewajiban, setiap motif lain harus memberikan tempat, karena kewajiban adalah kondisi kehendak baik dalam dirinya sendiri, yang nilainya melampaui segala hal”.[13]
Sampai pada tataran ini, maka dapatlah dipahami bahwa kebajikan menurut Immanuel Kant memang sangat erat dihubungkan dengan kewajiban. Namun pertanyaannya, bagaimana semestinya manusia bertindak seturut prinsip kewajiban ini?
Menurut Immanuel Kant, bertindak seturut prinsip kewajiban haruslah bersumber pada hukum moral yang berasal dari kehendak otonom, yaitu karena hormat terhadap hukum. Hukum moral tersebut adalah perintah akal budi praktis yang memerintahkan untuk dirinya apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan.[14] Berdasarkan data ini, Immanuel Kant lantas memperguncingkan esensi kewajiban moral, yaitu sebagai suatu disposisi kehendak yang bernilai permanen (absolut) dalam diri manusia untuk hormat terhadap hukum, karena jika akal budi praktis menentukan kehendak, maka perbuatan-perbuatan yang dikenali secara objektif sebagai kebutuhan, tidak bisa tidak berlaku juga subjektif bagi siapa saja. Kewajiban moral seperti ini hakikatnya adalah tuntutan mutlak yang mesti dituruti oleh semua orang; sudah merupakan satu perhitungan matematis yang tidak bisa dibantah keabsahannya. Dengan kata lain, kewajiban moral seperti ini adalah sebuah kecakapan memilih hanya dengan akal, yang secara otonom bebas dari kecenderungan, sehingga mengenali kebutuhan secara praktis, yaitu segala hal yang berkenaan dengan  kebaikan.[15]
Dengan demikian, berdasarkan serangkaian ide yang sudah dipaparkan di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna kebajikan moral (secara implisit) menurut Immanuel Kant sedianya adalah suatu disposisi kehendak (baik) yang permanen, yang sudah tertanam kuat dalam watak kita untuk bertindak seturut prinsip kewajiban, yaitu hormat terhadap hukum atas perintah akal budi praktis.


IV. CATATAN KRITIS: TELAAH PERBANDINGAN AKSENTUASI

4. 1. Persamaan Aksentuasi
            Aristoteles dan Immanuel Kant pada dasarnya sepakat bahwa genus umum dari kebajikan adalah suatu disposisi permanen dalam diri manusia; yang telah tertanam kuat dalam watak kita. Kebajikan semacam itu adalah hasil dari suatu proses pembiasaan diri, yang nilai khasnya adalah menyempurnakan segala sesuatu karena esensinya adalah baik dalam dirinya sendiri.
            Aristoteles dan Immanuel Kant juga sepakat dalam hal lain bahwa untuk bertindak bajik, maka semestinya rasio atau akal budi manusia turut berperan serta di dalamnya. Rasio atau akal budi adalah lentera penerang bagi ketetapan hati untuk memilih apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam arti ini, rasio atau akal budi semestinya bersifat praktis, yaitu tahu menentukan kehendak untuk memilih tindakan yang tepat dalam ranah praksis. Rasio atau akal budi itu mesti bebas dari segala kecenderungan, supaya mengenali kebutuhan-kebutuhan bertindak secara lebih obyektif.
           
4. 2. Perbedaan Aksentuasi
Satu hal yang secara fundamental berbeda dalam pemikiran kedua tokoh ini berkenaan dengan makna kebajikan moral, yaitu tentang ”subyektivitas jalan tengah yang diperguncingkan oleh Aristoteles” versus ”obyektivitas kewajiban yang diusung oleh Immanuel Kant”. Dalam konteks ini, Aristoteles dan Immanuel Kant sama-sama memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda terkait perihal bagaimana semestinya menilai perbuatan bajik-etis seseorang. 
            Menurut Aristoteles, perihal memilih jalan tengah untuk sebuah tindakan pribadi tertentu pada dasarnya tidak memiliki ukuran matematis yang mesti dirujuk. Perihal memilih jalan tengah tersebut lebih dikembalikan kepada pertimbangan pribadi yang bersangkutan, otonomi subyek untuk memutuskan jalan tengah mana yang tepat bagi tindakannya. Dalam arti ini, Aristoteles sangat mempertenggangkan pilihan bebas masing-masing pribadi, karena keyakinannya bahwa manusia telah dibekali secara memadai dengan kemampuan akal budi dan kebijaksanaan praktis untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Subyek atau pribadi bersangkutan hanya mesti memaksimalkan kapasitas miliknya itu untuk menjatuhkan pilihan yang tepat, yaitu jalan tengah sebagai titik keseimbangan antara kedua ekstrim tindakan (excess dan defect).
            Dari pihak lain, subyektivitas jalan tengah seperti yang diperguncingkan oleh Aristoteles ini sepertinya tidak disetujui oleh Immanuel Kant. Dalam konteks ini, Immanuel Kant memajukan tesis dasarnya yang bertentangan dengan Aristoteles, yaitu tentang obyektivitas kewajiban sebagai rujukan pilihan bertindak seseorang.
            Menurut Immanuel Kant, subyek pada dasarnya tidak memiliki otonomi dalam diri untuk memutuskan sendiri sesuatu hal yang berkaitan dengan pilihan tindakan pribadinya. Subyek hanya perlu menjalankan kewajibannya, yang dalam batasan Immanuel Kant disebutnya sebagai hormat terhadap hukum. Itulah pilihan yang obyektif dari subyek, siapa saja dia dengan seluruh situasi dan kondisi hidupnya, karena perihal ini sudah merupakan maksim[16] yang mesti diikuti. Kewajiban seperti ini juga oleh Immanuel Kant disebut sebagai hukum universal, yang berlaku kapan dan di mana saja bagi semua orang.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaaan aksentuasi antara kedua filsuf ini hanyalah terletak pada penilaian terkait pilihan subyek dalam menentukan tindakan pribadinya. Bagi Aristoteles, pilihan itu adalah sesuatu hal yang bersifat subyektif. Sedangkan menurut Immanuel Kant, pilihan tersebut mesti absolut, obyektif, seturut prinsip kewajiban yang sudah ditetapkan.     

4. 3. Rangkuman
            Aristoteles dan Immanuel Kant pada dasarnya telah mengkonsepkan arti kebajikan moral yang intelligible. Kedua filsuf ini telah menyumbang bagi kita perihal penting bagaimana semestinya mendisposisikan diri dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari. Meskipun dengan titik tolak pemikiran yang sedikit berbeda, terutama dalam hal perbedaan aksentuasi di atas, namun keduanya tetap terlihat bermaksud sama dalam satu hal berikut, yaitu bahwa kebajikan moral itu adalah keadaan ideal yang mesti dimiliki oleh setiap orang.
            Makna kebajikan moral yang sudah ”ditelurkan” oleh kedua filsuf ini pada hakikatnya juga adalah hasil dari suatu perhelatan refleksi yang mendalam tentang hakikat hidup manusia, di mana dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari sungguh disadari bahwa manusia akan selalu dan senantiasa dihadapkan kepada pilihan-pilihan ultim untuk diputuskannya. Dalam arti ini, tuntutan makna kebajikan moral secara praktis adalah bahwa manusia mesti selalu dan senantiasa memilih yang terbaik bagi dirinya, yang mesti menyempurnakan dirinya dalam dan melalui tindakannya. Dengan memahami makna kebajikan moral seperti ini, maka sedianya setiap pilihan tindakan pribadi adalah juga manifestasi ideal keadaan diri sebagai hasil dari sebuah proses pembiasaan (habituasi).     


V. PENUTUP
            Aristoteles dan Immanuel Kant adalah dua pemikir besar yang sama-sama menaruh minat untuk ”menelurkan” makna kebajikan moral kendatipun keduanya berasal dari zaman yang berbeda, yaitu Yunani Klasik dan Modern dengan kekhasan pola berpikirnya masing-masing. Aristoteles adalah seorang pemikir yang runtut-sistematis dalam merumuskan makna kebajikan moral, sedangkan Immanuel Kant lebih cenderung membeberkan ide pemikirannya tanpa suatu pembatasan tertentu.
            Berdasarkan keseluruhan uraian yang dipaparkan di atas, penulis akhirnya berkesimpulan bahwa pada hakikatnya Aristoteles dan Immanuel Kant memiliki persamaan dan perbedaan aksentuasi dalam merumuskan makna kebajikan moral. Keduanya tampak sama memaknai kebajikan moral sebagai suatu disposisi yang permanen dalam diri manusia, dan akal budi praktis sebagai penuntun untuk bertindak secara bajik-moral. Namun pada pihak lain, keduanya juga tak terpungkiri berbeda dalam hal menentukan apakah pilihan untuk bertindak secara bajik-moral itu bersifat subyektif atau obyektif. Tentang ini, Aristoteles berpendapat bahwa pilihan itu bersifat subyektif, sedangkan Immanuel Kant lebih melihatnya sebagai sesuatu yang obyektif, yang sudah merupakan satu perhitungan matematis, sehingga wajib menjadi pilihan semua orang. Itulah persamaan dan perbedaan aksentuasi yang mereka ”telurkan” sehubungan dengan makna kebajikan moral. Tetapi dari kesemua persamaan dan perbedaan aksentuasi itu, penulis tetap melihat satu inti visi yang sama dari kedua filsuf ini, yaitu bahwa keduanya ingin ”menelurkan” makna kebajikan moral sebagai suatu keadaan ideal yang mesti dimiliki oleh semua orang. Kebajikan moral adalah proyeksi diri, dalam dan melaluinya manusia menyatakan siapa dirinya dalam ranah praksis kehidupan sehari-hari.
            Dengan demikian, makna kebajikan moral seperti yang sudah direkomendasikan oleh kedua filsuf ini adalah semacam tawaran konseptual yang bisa menjadi catatan penting bagi siapa saja untuk merumuskan pilihan tindakan pribadinya; pilihan tindakan yang mesti berkebajikan moral sebagai manifestasi ideal keadaan diri.


       [1]Sebagaimana yang dikutip oleh W. Binsasi, “Kembali Ke Etika Keutamaan: Sebuah Studi Moral Dalam Perspektif Filosofis Alasdair MacIntyre”, Skripsi (Maumere: STFK Ledalero, 2002), pp. 43-44.
       [2]Sebagaimana yang dikutip oleh Y. Keladu, “Kuliah Mimbar Etika Politik Aristoteles” (ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 2008), p. 42.
       [3]Sebagaimana yang dikutip oleh F. Ceunfin, “Kuliah Mimbar Filsafat Aristoteles: Doktrin Tentang Keutamaan” (ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 1995/1996), pp. 15-16.
       [4]W. Binsasi, Op. Cit. Mengutip J. Barnes (ed.), The Complete Works Of Aristotle. Vol. II. (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1991), pp. 1614-1615.
       [5]Sebagaimana yang dikutip oleh Y. Keladu, Op. Cit., p. 43.
       [6]Ibid., p. 44.
       [7]Ibid., p. 45.
       [8]Ibid.
       [9]Buku ini diterbitkan pada tahun 1785. Judul aslinya, Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, adalah salah satu risalah etika paling penting yang pernah ditulis oleh Immanuel Kant. 
       [10]L. Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), p. 461.
       [11]“Kant's Moral Philosophy”, dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-moral. Diakses, tanggal 25 April 2008.
       [12]I. Kant, Dasar-Dasar Metafisika Moral, penterj. R. H. Abror (Yogyakarta: Insight Reference, 2004), pp. 13-15.
       [13]Ibid., p. 32.
       [14]Sebagaimana yang dikutip oleh F. Ceunfin, ”Etika” (ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 2005), p. 68.
       [15]I. Kant, Op.Cit., p. 48.
       [16]Maksim adalah prinsip kemauan subyektif (subjective principle of volition), yaitu respek murni terhadap hukum praktis. Ibid., p. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar