I.
PENDAHULUAN
Tema
tentang Gereja Mandiri saat ini kian hangat diperbincangkan di Gereja-Gereja
Lokal Indonesia. Secara khusus dalam regio Gerejani Nusa Tenggara, pembicaraan
mengenai Gereja Mandiri telah menjadi salah satu tema penting yang menarik
perhatian dalam berbagai kesempatan pertemuan, entah itu di tingkat regional, keuskupan
maupun di tingkat parokial. Ada berbagai visi dan misi yang coba dirumuskan
sebagai arah dasar kebijakan pastoral untuk menjawabi kebutuhan ini. Namun kehangatan
membicarakan visi dan misi Gereja Mandiri tersebut terasa masih menemui kendala
di tingkat “akar rumput” atau umat, seperti ditandai dengan masih lemahnya
partisipasi mereka dalam hidup menggereja.[1]
Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, tentu mengemuka pertanyaan dalam benak
kita mengenai solusi apa lagi yang perlu dipikirkan untuk mendongkrak
partisipasi aktif umat dalam hidup menggereja sehingga ideal kehidupan Gereja
Mandiri bisa tercapai?
Untuk menjawabi permasalahan tersebut, maka dalam makalah
ini kami menawarkan teologi keluarga menurut Maurice Eminyan yang bisa dipakai
sebagai arah dasar untuk merumuskan berbagai kebijakan pastoral menyangkut
Gereja Mandiri di regio Gerejani Nusa Tenggara sambil memberikan beberapa pertimbangan kritis di akhir makalah.
II.
APA ITU GEREJA MANDIRI?
Pertanyaan
mengenai “Apa Itu Gereja Mandiri?” pada dasarnya memiliki kedalaman gugatan
yang menuntut penjelasan sampai ke akar-akarnya. Berikut ini, kami coba
menguraikan berbagai sisi tilik pandangan sebagai bahan untuk memahami hakikat Gereja
Mandiri.
2.
1. Terminologi
2. 1. 1. Definisi Gereja Dalam Sejarah
Akar kata “Gereja” sebenarnya berasal dari kata bahasa Yunani,
yaitu ekklèsia yang berarti “kumpulan”
atau “pertemuan” atau “rapat”. Namun Gereja atau ekklèsia ini bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang
yang sangat khusus, yang terpanggil.[2]
Di dalam Kitab Suci, kata “Gereja” bukanlah semacam
batasan atau definisi. Ekklèsia
adalah kata yang biasa saja pada zaman para rasul. Hal ini bisa dilihat dari
cara pemakaiannya, yang memperlihatkan bagaimana jemaat perdana memahami diri dan
merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Awalnya mereka menyebut
diri sebagai “Gereja Allah” atau juga “Jemaat Allah” (Bdk. 1Kor.10:32; 15:9,
dst.). Maksud sebutan ini secara jelas bisa dibaca dalam 1Kor. 11:27-22. Dalam
perikop ini Paulus berbicara mengenai jemaat yang berkumpul untuk merayakan
ekaristi karena iman akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan kebangkitan-Nya.
Dengan demikian, Gereja yang dimaksud dalam gereja perdana adalah “jemaat Allah
yang dikuduskan dalam Kristus Yesus” (Bdk. 1Kor. 1:2). Namun secara umum, dalam
Kitab Suci Perjanjian Baru sebenarnya dikenal 3 nama yang dipakai untuk
menyebut Gereja, yaitu “Umat Allah”, “Tubuh Kristus”, dan “Bait Roh Kudus”.[3]
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam Konsili
Vatikan II, pengertian Gereja terus mengalami penambahan. Selain ketiga pengertian
Gereja terdahulu, Ajaran Gereja mencatat pula beberapa pengertian baru tentang
Gereja, yaitu sebagai “Misteri dan Sakramen”, “Communio”, dan “Persekutuan Para Kudus”.[4] Namun
secara mencolok, ajaran Konsili Vatikan II, yang ditegaskan kembali dalam
sinode luar biasa para Uskup pada tahun 1985, menggaris-bawahi pemahaman Gereja
dewasa ini yang lebih bercorak Misteri dan Sakramental, yaitu dua aspek dari
satu kenyataan, yang sekaligus ilahi dan insani. Dengan demikian, Gereja dapat
dipahami sebagai “sakramen yang kelihatan, yang menandakan kesatuan yang
menyelamatkan itu” (LG 9; Lih. 48), “sakramen keselamatan bagi semua orang,
yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Allah terhadap
manusia” (GS 45).[5]
2.
1. 2. Gereja Mandiri
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata mandiri
didefinisikan sebagai “berdiri sendiri, dalam arti tidak bergantung kepada
orang lain dalam mengerjakan sesuatu; tidak menyandarkan hidup pada orang lain karena
sudah dapat berusaha sendiri”.[6] Selain
pengertian leksikal tersebut,
dalam praksis hidup sehari-hari, penggunaan kata mandiri juga biasanya dipertukarkan
dengan kata berdikari. Dengan demikian, menyebut kata mandiri atau berdikari
kita memaksudkan sebuah keadaan dimana kita sudah bisa mengandalkan kemampuan
sendiri untuk menghidupi diri.
Dalam pembahasan makalah ini, kami mengakui bahwa tidak
ada rujukan eksplisit dari Dokumen Resmi Gereja yang membahas tentang Gereja
Mandiri. Kendati demikian, dalam praksis pastoral di berbagai keuskupan Gerejani
Indonesia, akhir-akhir ini mulai marak dipergunjingkan tentang Gereja Mandiri
dalam wilayah Gereja Lokalnya masing-masing. Secara khusus, konsep tentang
Gereja Mandiri yang kami maksudkan itu seperti mengemuka dalam sidang pastoral
keuskupan Weetebula yang ke-14 (8-11 Februari 1999), dimana pembicara utamanya
Rm. Yosef Lalu, Pr, Sekretaris Kateketik KWI, menegaskan bahwa Gereja Mandiri
yang hendak dibangun itu harus meliputi beberapa bidang, yaitu bidang iman,
personal, dan finansial. Pertama, kemandirian
di bidang iman bertujuan
agar umat menerima Allah sepenuhnya dalam diri mereka; kedua, kemandirian di bidang
personal bertujuan agar pelaku utama
dalam karya pastoral bukan monopoli kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; dan ketiga, kemandirian di
bidang finansial bertujuan agar segala jenis
pembangunan seperti pembangunan fisik menjadi tanggung jawab seluruh umat.[7] Itulah batasan makna
Gereja Mandiri yang akan menjadi rujukan selanjutnya dalam pembahasan makalah
ini.
2.
2. Dasar Biblis dan Teologis Gereja Mandiri
2.
2. 1. Dasar Biblis
Konsep
tentang Gereja mandiri sebagaimana yang dimaksud di atas, yaitu dalam hal
kemandirian iman, personal dan finansial, tentu memiliki dasar biblisnya yang kuat
dalam Kisah Para Rasul, 2:42-45; 4:32-35. Dalam perikop-perikop tersebut jelas
diperlihatkan bagaimana komunitas Gereja perdana menghayati hidup mereka dalam kepenuhan
berbagai dimensi kemandirian. Di bidang iman,
tampak jemaat perdana hidup bertekun dalam iman berdasarkan pengajaran para
rasul, hidup dalam suasana persaudaraan, giat dalam pemecahan roti dan doa
bersama, serta menyegani Allah karena para rasul mengerjakan banyak mukjizat
dan tanda-tanda ajaib; di bidang personal,
mereka memiliki para rasul sebagai pelayan-pelayan umat yang siap pakai dalam
jumlah yang cukup untuk komunitas mereka pada waktu itu; di bidang finansial, mereka tidak mengalami
kekurangan apa pun karena segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama dan dibagi-bagikan
di antara mereka menurut keperluan masing-masing.[8]
2.
2. 2. Dasar Teologis
Dasar Teologis dari konsep Gereja Mandiri tak lain adalah
membangun persekutuan yang berdasarkan pada gambaran komunitas Trinitaris, mencontohi
cara hidup jemaat perdana, bersatu padu dalam iman akan Yesus Kristus, teguh
berharap kepada Allah dan saling mengasihi.[9] Hal-hal
inilah yang dimaksud sebagai nilai-nilai teologis arah dasar kebijakan pastoral
Gereja dalam mengupayakan kemandiriannya.
2.
3. Tujuan Gereja Mandiri
Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya dalam terminologi tentang Gereja Mandiri, di
sana ditekankan tiga aspek penting yang menunjuk pada tujuan Gereja Mandiri itu
sendiri, yaitu berdikari di bidang iman, personal dan finansial. Sebab itu dalam
batasan ini, tujuan Gereja Mandiri yang dimaksud hendaknya bukan dipahami sebagai
“otonom” atau tanpa ikatan lagi dengan Gereja Universal, melainkan dalam
pengertian bahwa Gereja Lokal tersebut bukan lagi sebagai “daerah misi”. Misalnya,
ketika pada tahun 1961 didirikan Hirarki Gerejawi di Indonesia, Gereja
Indonesia menurut Hukum Gereja diakui bukan lagi sebagai daerah misi, atau dengan
kata lain sudah mandiri, terlepas dari misi Gereja Belanda, namun tetap
merupakan bagian dari Gereja Universal.[10]
Jadi, tujuan dari Gereja Mandiri adalah ketidak-bergantungan
Gereja setempat pada pihak atau misi
Gereja lain untuk memenuhi kebutuhan hidup menggerejanya. Atau dengan kata
lain, tujuan Gereja Mandiri adalah mengusahakan keberdikariannya sendiri dalam bidang
iman, personal dan finansial yang menjadi elemen penting dari sebuah realitas
hidup menggereja.
III.
KONSEP TENTANG GEREJA MANDIRI DI REGIO GEREJANI NUSA TENGGARA
Untuk memahami konsep tentang Gereja Mandiri di Regio
Gerejani Nusa Tenggara, maka dalam bagian bahasan ini kami akan memaparkan
terlebih dahulu tinjauan umum mengenai Gereja Mandiri di Indonesia, kemudian mengambil
sampel dari beberapa keuskupan di regio Gerejani Nusa Tenggara (Ruteng,
Weetebula dan Atambua) sebagai unit analisis, untuk mengemuka sejauh mana pemahaman
tentang Gereja Mandiri telah berkembang di wilayah ini.
3.
1. Tinjauan Umum Mengenai Gereja Mandiri di Indonesia
Misi Katolik di Indonesia sampai
tahun 1940 dalam banyak hal bergantung pada Gereja Belanda, terutama menyangkut
ketenagaan, materi dan finansial. Baru di antara tahun 1940 dan 1961, kader
acuan Gerejawi mulai bergeser dari konteks Belanda kepada konteks Indonesia,
yaitu dari misi menuju Gereja yang mandiri beserta hirarkinya sendiri.[11]
Tepatnya
pada tanggal 3 Januari 1961, pengakuan resmi dari Vatikan-Roma akhirnya menandai
era baru ziarah Hirarki Gereja Katolik di Indonesia. Melalui Konstitusi
Apostolik Quod Christus Adorandus, Paus Yohanes XXIII menganugerahkan
hirarki episkopal kepada Gereja Katolik di Indonesia dengan butir-butir
pengakuan sebagai berikut:
1) Gereja Katolik di Indonesia memiliki
kemampuan menjamin kelangsungan keberadaannya serta pengembangannya secara
kuantitatif dan kualitatif;
2) Gereja Katolik di Indonesia memiliki
kemampuan menjamin komunikasi persaudaraan para murid Yesus antar gereja-gereja
setempat baik nasional maupun internasional;
3) Gereja Katolik di Indonesia memiliki
kemampuan menjamin kelanjutan pelaksanaan karya misi ke dalam dan ke
luar;
4) Gereja Katolik di Indonesia memiliki
kemampuan berkembang menjadi Gereja pribumi dengan tetap berpegang teguh pada
hakekat Gereja yang universal;
5) Gereja Katolik di Indonesia memiliki
kemampuan berkembang menjadi Gereja dewasa yang bertanggung-jawab penuh dalam
pengadaan tenaga-tenaga pastoral (klerus dan awam) dan sarana-sarana lain yang
mendukung pengembangan dirinya sebagai Gereja Kristus yang sejati.
Secara khusus pada awal tahun 2011 ini, Gereja Katolik di
Indonesia telah merayakan 50 tahun hirarki episkopalnya. Namun Konferensi Waligereja
Indonesia mencatat bahwa peristiwa yang bersejarah ini tidak hanya cukup untuk
dikenang. Setelah 50 tahun mendapat anugerah pengakuan ini, Gereja di Indonesia
sepantasnya bertanya diri: sudah sejauh mana kita memaknai pemberian wewenang
ini untuk memacu kemandirian kita sebagai Gereja Indonesia dalam segala segi
kehidupan menggereja di tanah air tercinta ini?[12]
Berdasarkan tinjauan umum ini, maka bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Gereja Mandiri di Indonesia adalah pengakuan
resmi dari Vatikan-Roma melalui anugerah episkopalnya pada tahun 1961 agar Gereja
Katolik di Indonesia mulai menata kehidupan menggerejanya secara mandiri, dengan
tidak bergantung lagi pada Gereja Misi sebelumnya yang berasal dari negeri Belanda.
Butir-butir pengakuan sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus yang dikeluarkan
oleh Paus Yohanes XXIII serta-merta membawa implikasi mendasar bagi Gereja Katolik
di Indonesia untuk beralih lebih jauh menjadi Gereja Katolik Indonesia (Indonesianisasi Gerejawi). Namun sudah
sejauh mana Indonesianisasi Gereja ini
berjalan dan berhasil dalam pencapaiannya? Huub J. W. M. Boelaars,[13]
dalam bukunya Indonesianisasi, Dari
Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia telah mencatat
beberapa hal penting mengenai keberlangsungan proses itu selama 50 tahun
terakhir (1940-1990), terutama dalam hal Indonesianisasi umat Allah, imam dan para
religius, episkopat dan pimpinan berbagai ordo serta kongregasi, dan juga pembangunan
struktural dan budaya Gereja-Gereja setempat di Indonesia. Tema-tema yang
dibicarakan tersebut tentu menyangkut ranah-ranah dan berbagai dimensi dalam
proses pemribumian Gereja Katolik Indonesia. Tetapi satu hal yang patut dicatat
bahwa sebenarnya inti dari Indonesianisasi
Gerejawi seperti ini mau menyoroti kemandirian dasariah sebuah Gereja yang perlu
dibangun dan dihidupi oleh segenap anggotanya. Kemandirian dasariah sebuah
gereja ini tak lain adalah meliputi kemandirian spiritual atau iman,
kemandirian personalia dan kemandirian finansial.
3.
2. Konsep Tentang Gereja Mandiri di Beberapa Keuskupan Dalam Regio Gerejani
Nusa Tenggara
3.
2. 1. Profil Regio Gerejani Nusa Tenggara
Regio
Gerejani Nusa Tenggara merupakan gabungan dari beberapa keuskupan yang berada
di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Bali. Regio Gerejani Nusa Tenggara
tersebut terdiri dari 8 keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Ende, Keuskupan
Sufragan Larantuka, Keuskupan Sufragan Ruteng, Keuskupan Sufragan Denpasar,
Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Sufragan Atambua, Keuskupan Sufragan Weetebula
dan Keuskupan Sufragan Maumere.[14]
3.
2. 2. Konsep Tentang Gereja Mandiri di Beberapa Keuskupan Dalam Regio Gerejani
Nusa Tenggara
Berdasarkan
hasil sidang, musyawarah pastoral, sinode dan berbagai pertemuan di tingkat keuskupan
dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara, mengemuka di sana konsep tentang Gereja
Mandiri yang sedang diupayakan dalam Gereja Lokalnya masing-masing. Berikut ini
kami hanya akan mencatat beberapa konsep yang relevan dibicarakan di beberapa keuskupan,
sesuai tempat tahun orientasi pastoral kami.
a.
Keuskupan Sufragan Ruteng
Dalam
Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng Tahun 2008-2012, ditegaskan di
sana tentang visi keuskupan yang mau mengupayakan terwujudnya Gereja lokal yang
Mandiri, Misioner, dan Memasyarakat. Bertolak dari visi tersebut kemudian
dijabarkan sejumlah misi pastoral yang diarahkan untuk pencapaian visi tersebut.
Beberapa kebijakan strategis sebagai arah perjalanan pastoral keuskupan ini, antara
lain menyangkut Gereja Mandiri, dirumuskan sebagai berikut: “Perlu dikembangkan
terus pastoral umat yang mengarah kepada kemandirian umat. Umat sendiri
hendaknya menjadi subyek pastoral yang menentukan maju-mundurnya karya pastoral
dalam keuskupan ini. Gereja hendaknya sungguh-sungguh dipahami sebagai Umat
Allah. Di sini semua umat diajak untuk berpartisipasi dalam mengembangkan
gereja lokal. Demokratisasi lewat kehadiran komunitas-Komunitas Basis Gerejawi (KBG)
sebagai cara baru hidup menggereja dalam keuskupan Ruteng hendaknya ditingkatkan
terus”.[15]
b.
Keuskupan Sufragan Weetebula
Dalam
sidang pastoral keuskupan Weetebula yang ke-14 (8-11 Februari 1999), tercatat satu
tema penting yang dibicarakan pada waktu itu adalah upaya membangun Gereja Mandiri
atau suatu evaluasi untuk melihat kembali sejauh mana perkembangan program
tersebut telah direalisasikan. Sebagai pembicara utama dalam sidang tersebut, Rm.
Yosef Lalu, Pr, Sekretaris Kateketik KWI, mengemukakan bahwa Gereja Mandiri
yang dibangun harus meliputi beberapa bidang, yaitu bidang iman, personal, dan
finansial. Maksud dari kemandirian di bidang iman adalah agar umat menerima Allah
sepenuhnya dalam diri mereka; kemandirian di bidang personal, agar pelaku utama
dalam karya pastoral bukan monopoli kaum tertahbis, melainkan seluruh umat; dan
kemandirian di bidang finansial, agar segala jenis pembangunan seperti
pembangunan fisik menjadi tanggung jawab seluruh umat.[16]
Menanggapi
tema pembicaraan dalam sidang tersebut, maka dalam sidang berikutnya, Februari
2000, dihasilkan arah dasar pastoral tentang kemandirian, bahwa Gereja Mandiri
sebagaimana menjadi cita-cita Gereja Universal harus dilakukan secara terpadu
dalam wilayah keuskupan ini, yaitu menyangkut iman, personal, dan finansial,
dengan memberdayakan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai wadah
pengembangannya.[17]
c.
Keuskupan Sufragan Atambua
Di
wilayah keuskupan ini, tema tentang Gereja Mandiri sangat kuat dibicarakan pada
awal tahun milenium III (tahun 2000). Hal ini seperti mengemuka dalam 4 hal
perencanaan pastoral berikut:
1. Stuktur
pelayanan pastoral akan didayagunakan seoptimal mungkin sehingga dengan
demikian tenaga-tenaga pastoral, baik tertahbis maupun tidak tertahbis akan
semakin terlibat dalam karya pastoral yang menjadi tugas dan wewenang mereka.
2. Masalah
ketenagaan harus terus diperhatikan melalui pengkaderan, baik untuk tenaga
tertahbis maupun tidak tertahbis, termasuk di dalamnya peningkatan keterlibatan
biarawan dan biarawati.
3. Terus
mengupayakan pengadaan dan pendayagunaan berbagai fasilitas berupa harta benda
Gereja, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dibutuhkan untuk
pelayanan pastoral.
4. Keuangan
diupayakan melalui penyadaran umat tentang tanggung jawab untuk mandiri, sambil
bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menggali dana guna menunjang
kemandirian umat.
Berdasarkan
tinjauan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa konsep tentang Gereja Mandiri
yang sedang diupayakan di beberapa keuskupan dalam regio Gerejani Nusa Tenggara
ini adalah menyangkut kemandirian iman, personal, dan finansial. Ketiga bidang kemandirian
ini juga mesti dilihat sebagai karya misioner sendiri (ad intra), yang oleh Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja ditegaskan
supaya jemaat Kristiani sejak semula harus dibina sedemikian rupa, sehingga sedapat
mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri (AG 15).[18]
3.
3. Sharing
Pengalaman Tahun Orientasi Pastoral (TOP): Realitas Masalah Seputar Gereja
Mandiri di Beberapa Paroki Keuskupan Dalam Regio Gerejani Nusa Tenggara
Dalam
salah satu kesempatan bimbingan Novisiat Kekal yang diadakan di Seminari Tinggi
St. Paulus Ledalero (tanggal 18-29 Januari 2011), angkatan kami yang baru saja pulang
dari tempat praktek pastoral diminta untuk mengsharingkan pengalaman sehubungan
dengan kehidupan menggereja di tempat praktek pastoral kami masing-masing untuk
selanjutnya dibahas dalam bingkai analisis sosial (ANSOS) bersama fasilitator
P. Robert Mirsel, SVD. Kami mencatat berbagai hal untuk diperbincangkan,
seperti pengalaman-pengalaman yang menantang di tempat TOP, pengalaman-pengalaman
yang dirasakan sebagai dukungan dan peluang bagi kami sebagai calon misionaris,
dan masalah-masalah hidup menggereja yang ditemukan di tempat TOP.
Berkaitan
dengan tema bahasan makalah ini, maka kami merasa relevan untuk mengemukakan kembali
masalah-masalah hidup menggereja yang pernah dicatat tersebut sebagai bahan cerminan
untuk menanggapi realitas Gereja mandiri di Regio Gerejani Nusa Tenggara,
terutama di beberapa paroki dan juga di lembaga formasi tempat praktek pastoral
kami masing-masing.[19]
a.
Dalam bidang kemandirian
iman:
1. Kesadaran
umat untuk membangun inisiatif dalam komunitas umat basis, secara khusus dalam
hal pengembangan iman lewat doa bersama dan katekese masih lemah.
2. Umat
kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan rohani.
3. Banyak
umat yang belum menghayati pentingnya Ekaristi Kudus. Hal ini jelas terlihat
dalam ketidakhadiran mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu.
4. Iman
umat masih bergantung pada pemimpin agama atau tokoh-tokoh masyarakat.
5. Umat
belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai ajaran iman
Katolik.
6. Tidak
adanya kelompok-kelompok doa dalam lingkungan Gereja.
7. Masih
ada kelompok “penghasut” yang memecah-belah persatuan hidup umat dalam paroki.
b.
Dalam
bidang
kemandirian personal:
1. Dalam
hal ibadat-ibadat, umat masih bergantung pada pelayanan agen pastoral
tertahbis.
2. Minimnya
partisipasi kaum awam yang bersedia untuk mengemban tugas pelayanan pastoral. Hal
ini ditandai oleh berkurangnya minat umat untuk menerima tugas sebagai
katekis/katekista.
3. Tenaga
pastoral yang mempunyai basis pendidikan pastoral sangat terbatas.
4. Wilayah
paroki luas sementara tenaga pastoral tertahbis masih kurang.
5. Tenaga
pastoral kebanyakan masih dari luar daerah (pendatang).
6. Terbatasnya
tenaga pembina umat dan katekis/katekista.
7. Pastor
masih merangkap tugas.
8. Kebanyakan
anggota DPP adalah PNS sehingga banyak kegiatan bertabrakan (konflik peran).
Akibatnya frater TOP harus mengambil-alih tugas-tugas tertentu.
9. DPP
kurang aktif dalam mengemban tugasnya.
10. Kurangnya
kerjasama antara pastor paroki dan DPP (sering terjadi percecokan)
11. Para
agen pastoral kurang berinisiatif untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan rohani
maupun sosial di dalam Gereja.
12. Model
kepemimpinan pastoral masih feodal (tuan-hamba).
c.
Dalam
bidang
kemandirian finansial:
1. Umat
masih bergantung kepada inisiatif dan kreativitas pastor dalam mengusahakan
kemandirian finansial.
2. Lemahnya
kesadaran umat memberi derma dan sumbangan-sumbangan Gereja lainnya.
3. Kurangnya
transparansi laporan keuangan.
4. Kurangnya
rasa sosial dan kedermawanan umat untuk saling membantu.
5. Keuangan
di paroki masih sulit. Banyak bergantung pada donasi.
6. Umat
sering mengeluh sebagai “orang miskin”.
7. Ada
mentalitas umat yang hanya mau “menerima” tetapi tidak mau “memberi”. Terkesan ini
merupakan mentalitas bawaan yang kuat berakar karena terlanjur dimanja oleh
para misionaris Eropa.
8. Umat
mengeluh kekurangan modal dalam pengembangan usaha.
9. Umat
masih berpandangan bahwa Gereja (hirarki) itu kaya sehingga tidak perlu
menyumbang lagi karena itu hanya akan semakin memperkaya Gereja.[20]
Itulah beberapa potret masalah
hidup menggereja yang masih menantang upaya menuju Gereja Mandiri di beberapa paroki
keuskupan dalam regio Gerejani Nusa Tenggara. Kiranya potret yang sama pula bisa
dikatakan tentang paroki-paroki yang lain, yang masih mengalami kendala untuk
memperjuangkan pencapaian hidup Gereja Mandiri di wilayahnya.
Berhadapan
dengan hal ini, jelas yang menjadi keprihatinan kita sekarang adalah bagaimana memikirkan
sebuah teologi yang sesuai konteks untuk menjawabi berbagai permasalahan internal
Gerejawi tersebut. Untuk itu, dalam pokok bahasan berikut kami coba menawarkan sebuah
teologi yang sangat dasariah dalam kehidupan menggereja kita sebagai titik tolak
untuk merumuskan berbagai kebijakan pastoral yang tepat sasar dalam
mengupayakan terwujudnya Gereja Mandiri.
IV.
MENGUPAYAKAN GEREJA MANDIRI MELALUI PENDEKATAN TEOLOGI KELUARGA MAURICE EMINYAN
Pada
bagian pokok bahasan ini, kami akan mengetengahkan betapa pentingnya mengupayakan
Gereja Mandiri melalui pendekatan Teologi Keluarga. Sebagai bahan referensinya,
kami akan bertolak dari gagasan teologis Maurice Eminyan yang secara sistematis
telah membukukan bahan tentang Teologi Keluarga ini untuk kepentingan pastoral.
4.
1. Siapa Itu Maurice Eminyan?
Maurice Eminyan adalah
guru besar (profesor) emeritus teologi sistematik pada Universitas Malta. Ia
telah menerbitkan lebih dari dua puluh buku dan sejumlah artikel dalam berbagai
bahasa. Pada tahun 2010 yang lalu, Maurice Eminyan telah menutup usia
(meninggal) dengan umur 88 tahun.[21] Buku
tentang Teologi Keluarga ini merupakan hasil terjemahan dari buku aslinya,
yaitu The Theology of the Family.
4.
2. Teologi Keluarga Menurut Maurice Eminyan
Menurut
Maurice, Teologi adalah suatu metode untuk menyusun dan mengutarakan pendapat-pendapat
serta refleksi-refleksi teologis atas topik tertentu menurut model-model yang berbeda-beda.
Dengan berteologi, setiap orang terutama seorang mahasiswa Teologi dimampukan
untuk menguasai secara lebih baik berbagai macam wawasan tentang persoalan
tertentu serta menemukan kekayaan pemikiran teologis yang hidup selama
bertahun-tahun, demikian juga aspeknya yang khas, yang kelihatannya lebih
relevan daripada hal-hal lain pada suatu kurun waktu tertentu.[22]
Berkenaan
dengan refleksi teologisnya tentang Keluarga, Maurice mengatakan bahwa banyak
ide yang muncul dalam benaknya, seperti ide tentang Keluarga sebagai Cermin Trinitaris,
Keluarga sebagai Rencana Keselamatan Allah, Keluarga sebagai Gereja Rumah
Tangga dan Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih, Hidup dan Keselamatan.
Tetapi pilihannya jatuh pada ide tentang Keluarga sebagai sebuah “Komunitas”
karena menurutnya gagasan tentang “komunitas” lebih cocok dengan kebutuhan dan
aspirasi zaman sekarang dan oleh karena itu lebih mudah dipahami oleh umat pada
umumnya.
Keluarga
sebagai suatu komunitas cinta kasih, hidup dan keselamatan merupakan suatu
gambaran keluarga ideal bagi setiap keluarga, tak hanya keluarga Kristiani.
Keluarga yang ideal berarti bahwa setiap keluarga hendaknya menjadi keluarga
menurut rencana dan penebusan Allah. Keluarga sejati dan bahagia yang
diidealkan merupakan suatu komunitas yang berlandaskan cinta kasih. Jika suatu
keluarga merupakan komunitas cinta kasih, itu berarti juga merupakan suatu
komunitas rahmat, diberi arti oleh rahmat ilahi. Memang tak dapat dimungkiri
bahwa dosa telah merusak rencana Allah tersebut dan walaupun rencana itu telah
dipulihkan oleh Yesus yang terinkarnasi tetapi kehadiran dosa dan orang-orang
berdosa membuat keluarga-keluarga menjadi retak. Oleh karena itu, untuk
mengenal dan mencintai Allah, keluarga mesti menerima Roh Allah melalui Yesus
Kristus.[23]
Berdasarkan
pemahaman di atas, maka bisa dikatakan bahwa Maurice sangat menekankan hubungan
antara keluarga dan Gereja. Keduanya direfleksikan dalam dan menurut rencana
Allah dan juga tentang misi kaum awam dalam dunia modern. Gereja dalam dunia
modern ini, ketika berhadapan dengan aneka permasalahan keluarga, dituntut agar
berpikir seperti yang terungkap dalam anjuran apostolik Familiaris Consortio yakni Gereja seharusnya mengambil dimensi baru yang lebih menyerupai Rumah
Tangga atau keluarga dan mengembangkan ragam hubungan yang lebih manusiawi dan
mendalam dalam usaha pastoralnya, ketimbang menekankan Gereja yang klerikal dan
sentralistis dalam semangat Konsili Vatikan II. Baginya, refleksi teologis ini
diharapkan membantu umat Allah untuk menyadari bahwa masa depan Gereja dan
kemanusiaan sungguh sangat bergantung pada status keluarga.
Maurice
juga mengandaikan bahwa jika keluarga-keluarga tampil sebagai suatu komunitas
cinta kasih dan hidup, yang juga mencerminkan Allah serta memberi kesaksian
cinta kasih abadi Allah kepada manusia, maka masyarakat juga akan diberkati
oleh damai dan solidaritas. Jika keluarga yang adalah sel dasar (vital) Gereja
merupakan kesaksian kenabian (profetis) tentang nilai-nilai Injili, maka misi
keselamatan Gereja sendiri akan benar-benar kuat, penuh semangat dan berbuah.
Oleh karena itu, dalam keseluruhan refleksi teologisnya
tentang keluarga, Maurice mengarahkan perhatian pada pembentukan diri keluarga-keluarga
menurut dan dalam terang rencana Allah atasnya. Bahwa sebuah keluarga merupakan
suatu komunitas cinta kasih, hidup dan keselamatan bagi setiap anggotanya dan
Gereja. Keluarga adalah Gereja umat Allah yang dibangun atas dasar cinta, hidup
dan keselamatan. Di samping itu, ia mengambil prototipe Keluarga Kudus Nazareth
sebagai model keluarga-keluarga Kristiani. Dengan mengambil prototipe ini, maka
Gereja seharusnya mulai membangun keluarga-keluarga sekarang, yang rentan
permisif dalam bidang seksual, yang menolak eksklusifitas/indissolubilitas
perkawinan serta yang pelan-pelan membawa keluarga-keluarga kepada suatu
peradaban antikehidupan, di atas dasar sebuah komunitas cinta kasih, yang
menghidupkan dan menyelamatkan.
4.
3. Tema-Tema Pokok Dalam Teologi Keluarga Maurice Eminyan
4. 3. 1. Keluarga Sebagai
Komunitas Cinta Kasih
a. Penciptaan Manusia Menurut Gambar Dan Citra
Allah Sebagai Dasar Teologis Hidup Keluarga (Allah Menciptakan Pria Dan Wanita
Menurut Gambar Dan Citranya)
Dalam rencana Allah, pria dan wanita diciptakan-Nya
sekalipun berbeda sebagai pria dan wanita tetapi keduanya saling melengkapi (komplementer).
Perciptaan pria dan wanita dilengkapi dengan perasaan ketertarikan
(seksualitas) satu sama lain, yang kemudian menjadi dasar kehidupan keluarga.
Keluarga yang dibentuk seturut rencana Allah di atas, mengambil pula peran
sebagai pencipta bersama Allah, “prokreator”, karena keluarga selalu
memungkinkan adanya keturunan/anak. Dengan menghadirkan anak atau keturunan
baru, keluarga telah bekerjasama dengan Allah serentak mengambil bagian dalam
rencana Allah. Karena itu, keluarga merupakan persatuan (komunio) antara
perasaan dan roh/jiwa pria dan wanita, yang diwarnai dengan pemberian diri satu
sama lain untuk saling memperkaya diri dalam cinta, untuk mewujudkan Cinta
Allah, dan sebagai tindakan perpanjangan tangan Allah untuk menciptakan manusia
baru menurut gambar dan citraNya.
Maurice memahami perkawinan dalam keluarga bukan
persoalan instingtif atau rangsangan emosional belaka atau ketertarikan erotis
melulu, yang menghilang cepat dan amat menyedihkan, melainkan suatu tindakan
yang muncul dari kehendak bebas untuk mencapai kepenuhan manusiawi sebagai
citra dan gambar Allah. Itu berarti hidup berkeluarga menuntut kesetiaan kepada
rencana Allah, bukan semata-mata kesetiaan untuk ada bersama-sama secara
alamiah (connatural) dan bersifat eksklusif atau indissolubilitas (tak
terceraikan, tak terbataskan), melainkan kesetiaan sampai maut memisahkan.[24]
b. Keluarga Adalah
Cermin Trinitas
Pada bagian ini, Maurice menganalogikan keluarga
manusiawi sebagai cermin keluarga Trinitaris. Ide ini sebenarnya berasal dari pendapat
Bernard Haring yang tercantum dalam bukunya teologi Keluarga tentang cinta
antara pasangan suami dan istri dan antara mereka dengan anak-anaknya merupakan
representasi duniawi yang paling sempurna dari cinta Trinitaris.[25]
Lebih lanjut, Maurice menjelaskan dimensi Triniter
keluarga berdasarkan pendekatan psikologis tentang “kepribadian segitiga” yang
terdapat dalam keluarga manusiawi (suami, istri dan buah cinta mereka: anak,
yakni sebagai pribadi ketiga) dan keluarga Trinitas: Bapa, Putera dan buah
cintaNya, yakni Roh kudus. Jumlah anak tidak mengubah Trinitaris keluarga
karena banyaknya anak juga merupakan buah dari Allah sendiri. Keluarga yang
tidak mempunyai anak pun tidak menghapuskan dimensi Trinitaris keluarga karena
itu bukan kesalahan mereka, lagi pula persatuan suami-istri selalu berpotensi
menurunkan anak. Jikalau anak lahir, maka cinta kasih suami-istri menjadi
daging (inkarnasi).
Jadi sebagaimana terdapat kesatuan esensial dari
hakekat keilahian dalam keluarga Trinitas, kesatuan keluarga duniawi pun
direalisasikan di dalam trinitas bapak, ibu dan anak anak. Semuanya hidup dalam
kesatuan cinta yang subur sehingga menghasilkan buah. Mengakhiri uraian ini,
Maurice menyampaikan tulisan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Efesus untuk memperkuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, “Itulah sebabnya
aku sujud kepada Bapa, yang dari padaNya keluarga yang ada di dalam surga dan
di atas bumi menerima namanya” (Efesus 3:14).[26]
c. Keluarga Adalah
Komunitas Yang Terbentuk Di Dalam Kristus Dan Gereja
Dalam penjelasannya, Maurice mengatakan di dalam
penebusan Kristus yang universal, setiap keluarga manusia secara potensial
menjadi Kristen. Ide ini didasarkan pada refleksinya atas beberapa teks
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berbicara tentang relasi cinta dan
kesetiaan Yahwe - umat Israel, suami-istri dan Kristus-jemaat. Bahwa persatuan
yang penuh kasih dan pemberian diri timbal-balik suami-istri dalam keluarga,
sebagai suatu realitas yang kelihatan dan biasa, menjadi tanda/simbol yang
menandakan dan menghadirkan suatu realitas yang tidak kelihatan, yakni cinta
kasih Allah yang tak habis-habisnya, yang diwujudkan sekali untuk semua orang
dalam Yesus Kristus dan GerejaNya (Lih. Ef 5:31-32; Bdk. Kol 1:25; Hos 2:4-10; Yer
3:13; Yeh 16:8 dan Yes 54). Ia juga mendasarkan idenya pada pribadi Yesus yang
lahir dalam keluarga Nazareth, yang kemudian menjadi model keluarga-keluarga Kristiani
dan perhatian yang penuh hormat terhadap keluarga-keluarga.
Oleh karena itu, konsep perjanjian dalam konteks
keluarga memperoleh dasar teologisnya dalam perjanjian kasih antara Allah
dengan manusia serta Kristus dengan Gereja. Dengan demikian dalam keluarga,
pasangan suami-istri mengalami persatuan pribadi dan hidup seutuhnya. Hanya
dengan persatuan yang dimengerti secara demikian, akan dapat menghasilkan suatu
keluarga yang dipahami sebagai suatu komunitas cinta kasih dan hidup yang
sejati.[27]
4.
3. 2. Keluarga
Sebagai Komunitas Hidup
“Keluarga harus kembali kepada ‘awal mula’ karya Penciptaan
Allah, kalau memang hendak mencapai pengenalan diri dan perwujudan diri sesuai
dengan kenyataan, bukan hanya tentang jati dirinya, melainkan juga tentang
peranannya dalam sejarah. Karena seturut rencana Allah, keluarga telah
ditetapkan sebagai ‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, maka keluarga
mengemban misi untuk makin menepati jati dirinya, yakni suatu persekutuan hidup
dan kasih, malalui usaha, yang – seperti segala sesuatu yang diciptakan dan
ditebus – akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah” (FC 17).[28]
Dari kutipan di atas, Paus Yohanes Paulus II menyebut keluarga
sebagai komunitas atau “persekutuan hidup dan cinta kasih” (GS 48),[29]
suatu ungkapan yang dipergunakan pertama kalinya pada Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam
Dunia Dewasa Ini. Dalam kaitan dengan ini, pria dan wanita dipanggil untuk
membentuk suatu persekutuan hidup selama-lamanya dengan bercermin pada esensi Trinitaris
Allah yang Tunggal dan kemudian menjadi subur.
Kesuburan dalam keluarga, idealnya dimengerti pada ketiga aspek, yaitu: pertama, tumbuh bersama dalam relasi
dengan pasangannya sendiri sebagai suami-istri, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai anak-anak Allah. Kedua, dalam
kaitan dengan menurunkan anak-anak. Ketiga,
segala sesuatu yang berhubungan dengan mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.
a. Tentang
Tumbuh Bersama
Pria
dan wanita memberikan dirinya sendiri kepada masyarakat dan memperoleh
pemenuhan dirinya dalam jenis pelayanan apa saja yang mereka butuhkan, karena
dengan berlaku seperti itu, mereka sedang bertindak menurut sifat mereka.
Tetapi itu semua terjadi dalam suatu komunitas, yakni keluarga, sebab hanya
dalam komunitas hidup yang langgeng itulah mereka mampu memberikan diri mereka
sendiri secara total dan sempurna sebagai suami-istri. Keluarga yang ideal
hendaknya dibangun atas dasar sikap saling memberikan diri. Keluarga sebagai
komunitas cinta kasih dan hidup memberikan suasana atau lingkungan yang paling
baik bagi cinta kasih di antara dua pribadi untuk menumbuh-kembangkan dan
mencapai kematangan, menjadi lebih kuat dan lebih kaya, seturut perjalanan
waktu, serta membantu mereka menjadi manusia yang semakin sempurna. Pertumbuhan
hanya dapat terjadi dalam relasi. Relasi-relasi yang tetap dan kontinu
memungkinkan kedua pihak (suami-istri) bertindak secara timbal-balik, sebagai
bidan bagi yang lain dengan menyadarkan yang tidak sadar, melahirkan inisiatif,
mendorong untuk mau mencoba, memberikan pertolongan pada saat-saat sakit dan
gagal, membantu menghadapi dan mengintegrasikan sisi gelap dari dirinya
sendiri.
b. Tentang “Beranak-Cuculah
Dan Bertambah Banyak”
Kej
1:27-28 secara jelas menggambarkan bahwa kepenuhan cinta kasih dalam Allah
serentak merupakan kepenuhan hidup. Suami-istri diciptakan menurut gambar dan
keserupaan Allah. Lewat perkawinan, mereka dimampukan mencapai kepenuhan cinta
kasih dan berbuah (subur) melalui prokreasi manusia-manusia baru. Lebih dalam,
melalui hubungan suami-istri, mereka mengekspresikan gambar dan keserupaan
Allah dan meneruskan anugerah kehidupan kepada anak-anak mereka (yang akan
menjadi gambar dan keserupaan orang tua mereka dan Allah sendiri). Konsili
Vatikan II menjunjung tinggi panggilan suami dan istri untuk menjadi bapak dan
ibu dan boleh bekerjasama dengan Allah dalam meneruskan kehidupan manusia.
“Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya, yang harus dipandang
sebagai perutusan mereka yang khas, suami-istri menyadari diri sebagai mitra
kerja cinta kasih Allah Pencipta dan bagaikan penerjemahnya. Maka dari itu,
hendaknya mereka menunaikan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab manusiawi
dan Kristiani”.[30]
Kitab Kejadian dan seruan Gereja di atas sekurang-kurangnya menekankan tiga
hal. Pertama, anak-anak merupakan suatu berkat dan anugerah Allah. Kedua,
perkawinan pada hakikatnya ditujukan kepada adanya prokreasi. Ketiga,
pendidikan anak merupakan tugas orang tua yang harus dipenuhi dengan tanggung
jawab manusiawi dan Kristiani. Namun yang paling menonjol di sini adalah hal
kedua, yakni bahwa perkawinan, menurut kodrat alamiahnya tertuju pada adanya
keturunan (prokreasi anak-anak). Konsili mendesak agar setiap pasangan Kristiani
menghormati tugas prokreasi sebagai tugas yang diberikan Allah dan hendaknya
mengemban tugas ini dengan kerendahan hati serta semangat berkorban.
c. Tentang Pendidikan
Anak-Anak
Sejak
awal, anak-anak hendaknya sudah diterima sebagai bagian integral dari keluarga.
Pendidikan merupakan suatu proses yang unik dan di sana persatuan timbal-balik
pribadi-pribadi sangatlah penting. Pendidik adalah seorang pribadi yang “melahirkan”
dalam arti rohani. Dalam hal ini, mengasuh anak dapat dipandang sebagai suatu
kerasulan yang sejati. Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang
hidup, yang bukan hanya menciptakan suatu hubungan yang mendalam antara
pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga membuat keduanya ikut ambil
bagian dalam kebenaran dan kasih, tujuan terakhir, ke arah mana setiap orang
dipanggil oleh Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Di sini, prokreasi tidak hanya
dibatasi pada menurunkan kehidupan baru, tetapi juga hendaknya dimengerti
sebagai penerusan sesudah kelahiran anak dalam seluruh proses pendidikannya dan
pengembangan kehidupannya. Mengandung dan melahirkan seorang anak hanyalah
permulaan karya prokreatif orang tua. Jika mereka secara penuh merupakan gambar
dan citra Allah dari Sang Pencipta, maka suami dan istri akan menggunakan
waktunya untuk memelihara, melindungi, menumbuh-kembangkan dan membantu anak
mencapai kedewasaan. Pendidikan merupakan bagian penting dari prokreasi
anak-anak.[31]
Istilah “pendidikan” itu sendiri tidak saja terbatas pada perkembangan
intelektual anak. Usaha pendidikan dari orang tua harus menjangkau seluruh
kepribadian anak. Pendidikan harus membantu anak mencapai kedewasaan fisik,
emosional, afektif, moral dan sosial serta pembinaan akal budi. Penekanan utama
yang hendak ditonjolkan di sini adalah pendidikan agama. Pendidikan agama
merupakan bagian esensial dan menjadi perhatian istimewa orang tua dari awal
tahun masa kanak-kanak sampai pada masa remaja. Pendidikan agama membantu anak untuk
memahami lebih baik apa sesungguhnya arti cinta kasih, bukan jenis cinta kasih
yang dilihatnya dalam media massa, tetapi cinta kasih yang dengannya Allah
telah mengasihi kita ketika Dia menciptakan kita menurut gambar dan citra-Nya
dan telah menyelamatkan kita melalui Tuhan kita Yesus Kristus. Pendidikan agama
merupakan suatu pemahaman yang selalu berkembang maju (progresif) tentang
misteri penciptaan dan penebusan. Gerak maju ini menuntut agar anak dibantu
untuk memahami Allah, Kristus, manusia dan tugas moral sesuai dengan umur serta
pendidikannya. Keingintahuan alamiah dari seorang anak harus dilihat sebagai
hal positif yang menjamin keberlangsungan pendidikan anak dalam keluarga.[32]
4.
3. 3. Keluarga
Sebagai Komunitas Keselamatan
Dalam
sakramen perkawinan, pemberian diri cinta kasih secara timbal-balik dan tak
dapat ditarik kembali menjadi sumber rahmat serta menjadi sarana keselamatan bagi
suami dan istri. Keluarga yang dilahirkan dari persatuan mereka sebagai
suami-istri di dalam Gereja, benar-benar merupakan Gereja Rumah Tangga, secara
analog mempunyai sifat-sifat yang sama dengan Gereja universal. Sebagai gereja Rumah
Tangga, keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja mewartakan
Injil, baik ke dalam maupun ke luar dirinya sendiri.
a. Keluarga Sebagai
Sakramen Tetap
Dalam
sakramen perkawinan, persatuan dengan Kristus dan misteri penyelamatanNya yang
telah dimulai sejak pembaptisan, diperkuat dan diperbaharui. Karena itu, sejak
penerimaan perkawinan dalam sebuah tindakan ritual, setiap anggota keluarga
dipanggil untuk mengaktualisasikan misi keselamatan Allah sampai selama-lamanya
dan sakramentalitas perkawinan memberi jaminan bahwa rahmat Allah akan selalu
membantu mereka dalam menghidupi status barunya, yakni suami-istri, sebagai
bapak dan ibu. Jadi, melalui sakramen perkawinan setiap keluarga akan dibimbing
oleh rahmat Allah, dan menjadi sarana dan saluran rahmat bagi setiap anggota
keluarganya.
Efek lain dari sakramen perkawinan bagi suami-istri
ialah mereka “ditebus dan diracuni” oleh roh Kristus, yakni roh kudus yang
kehadirannya dalam Gereja analog dengan jiwa manusia di dalam tubuh. Kehadiran
roh Kristus dalam sakramen perkawinan ialah untuk menguduskan keluarga-keluarga,
terutama dalam menjalankan peran-peran serta tugas kewajiban masing-masing
anggotanya. Dengan demikian, melalui sakramen perkawinan Kristus mengubah suatu
lembaga manusiawi menjadi suatu instrumen tindakan ilahi Allah.
Dengan campur tangan Allah dalam sakramen perkawinan,
melalui roh Kristus di dalam keluarga, seorang pria menyatukan dirinya dengan
seorang wanita untuk hidup selama-lamanya guna merealisasikan kemanusiaannya
dan menjamin kelangsungan hidup serta kesejahteraan bangsa manusia, meskipun
mereka tahu bahwa sepanjang jalan kehidupan mereka akan selalu ada saat-saat yang
menyenangkan dan menyakitkan serta penuh penderitaan, tetapi Kristus penebus
akan tampil untuk menopang langkah hidup mereka. Secara sederhana, sakramen
perkawinan memampukan keluarga untuk saling memberi dan diberi, memaafkan dan
dimaafkan, membaharui hidup terus- menerus dan menopang serta memperkuat dalam
situasi keragu-raguan dan ketakutan akan ketidakmampuan mereka mempertahankan
kesetiaan perkawinan, hidup bersama selamanya karena kelemahan dosa.
Melalui sakramen perkawinan, pasangan suami-istri
secara bersama-sama menambah kemuliaan Allah. Kemulian Allah dalam arti
teologis yang mesti dipraktekkan dalam keluarga, yakni dengan menjaga kesucian
para anggota keluarganya dan oleh manifestasi kesucian itu sendiri melalui
berbagai macam wujud cinta kasihnya kepada Allah dan sesama, yakni dalam doa,
pengampunan, semangat pelayanan tanpa pamrih dan pertolongan kepada mereka yang
miskin, yang kesepian dan yang tersingkirkan.
Pemberian diri sebagai ungkapan cinta kasih suami-istri
dalam sakramen perkawinan memberi arti pula kepada kesepakatan yang terjadi
dalam perkawinan. Dan ungkapan cinta kasih tertinggi antara suami-istri
terdapat dalam keintiman hubungan seksual. Maka pentinglah keluarga-keluarga
dibantu untuk mengerti pengalaman keintiman seksual dan siklus intimitasnya
yang berulang kali timbul, dalam saat baik maupun saat buruk. Dalam sakramen
perkawinan, keintiman seksual suami-istri bukanlah semata untuk tujuan
prokreasi, melainkan kesatuan suami-istri untuk menyalurkan rahmat Allah kepada
anak anak.[33]
b. Keluarga Sebagai Gereja
Rumah Tangga
Sependapat
dengan gagasan konsili, Maurice menyampaikan bahwa bentuk paling akhir dari
komunitas Gereja yang autentik adalah komunitas keluarga yang disebut oleh Konsili
Vatikan II sebagai Gereja Rumah Tangga atau “Gereja Domestik”. Konsili
menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan status perkawinan sebagai
persekutuan cinta kasih dan hidup dan Gereja Umat Allah sebagai persekutuan
cinta kasih dan kebenaran.
Keluarga sebagai “Gereja Rumah Tangga” memberi kesan
bahwa ada beberapa elemen dari Gereja ditemui dalam keluarga itu sendiri. Bahwa
seperti halnya Gereja, keluarga pun menanggung misi yang sama yakni misi keselamatan
Kristus sejak masing-masing suami-istri dibaptis dan menerima sakramen
perkawinan. Di sini hubungan keluarga Kristiani dengan Gereja tidak sebagai “keluarga
manusiawi” yang merupakan bagian dari masyarakat sipil tetapi dipersatukan
dengan Gereja oleh ikatan orisinal, suatu ikatan yang diadakan oleh Roh Kudus
sendiri, yang di dalam sakramen membentuk pasangan suami-istri menjadi sebuah
keluarga Kristiani, suatu cermin yang hidup, gambaran sejati, perwujudan
historis dari Gereja. Karena itu sebenarnya hubungan keduanya adalah relasi timbal-balik
yang saling menyelamatkan.
Keluarga
sebagai Gereja Rumah Tangga tidak hanya menggambarkan dimensi Gerejawi dari
keluarga tetapi lebih kepada suatu realitas Gerejawi. Di sini keluarga-keluarga
Kristiani mengambil bagian dalam menjalankan tiga fungsi Gerejawi: sebagai
nabi, imam dan raja. Sebagai nabi, keluarga-keluarga ikut menghayati kehidupan
dan misi Gereja dengan mendengarkan dan mewartakan penuh kepercayaan Sabda
Allah. Dalam menjalankan fungsinya sebagai imam, pasangan suami-istri sungguh
terlibat dalam ketujuh sakramen Gerejawi. Setiap sakramen merupakan kesempatan
khusus untuk menemukan dan memperdalam imannya kepada Kristus. Dalam fungsi
rajawinya, keluarga dipanggil untuk memberikan dirinya kepada sesama dalam pelayanan
tanpa pamrih serta kesiap-siagaan untuk mengorbankan diri bagi sesama dan Tuhan.
Hal ini di dalam keluarga-keluarga dilakukan pertama-tama oleh pasangan suami-istri
melalui sikap siap sedia memberikan diri bahkan mengorbankan diri bagi anak-anak
mereka.
Dengan
demikian, dengan totalitas pemberian diri kepada kehidupan Gereja yang telah
ditunjukkan oleh keluarga-keluarga Kristiani, maka keluarga sebagai Gereja Rumah
Tangga (Gereja Domestik) disebut sebagai
“Gereja Mini”. Karena itu, kita hendaknya tidak lagi mengatakan keluarga adalah
“seperti Gereja, atau keluarga adalah ‘bagian’ dari Gereja”, melainkan keluarga
adalah sungguh Gereja itu sendiri. Keluarga adalah Gereja, yang di dalamnya
terdapat ungkapan akan kehadiran Allah yang sungguh-sungguh Gerejawi dalam
persekutuan umat beriman yang khusus. Semua peristiwa keluarga adalah juga
peristiwa Gereja.
Jadi,
Gereja Rumah Tangga adalah tempat di dalam Gereja Universal dimana kehidupan
dikandung, dipelihara dan dicintai. Keluarga adalah sekolah cinta kasih bagi
seluruh Gereja. Keluarga adalah sumber cinta kasih dan kehidupan pasangan suami-istri
dan kehidupan baru yang mereka mulai dan pelihara. Tanpa Gereja Rumah Tangga
tidak ada Gereja karena hanya melaluinya cinta kasih yang merupakan hakikat
Allah dijaga tetap hidup.[34]
c. Keluarga dan Evangelisasi
Mengutip
pernyataan Konsili Vatikan II dan refleksi Paus Yohanes Paulus II dalam seruan
apostoliknya Familiaris Consortio, “Suami-istri
mempunyai panggilan mereka sendiri secara aktif dan bertanggung jawab untuk
memberi kesaksian iman dan cinta akan Kristus seorang terhadap yang lainnya dan
kepada anak-anak mereka. Keluarga Kristiani dengan lantang mewartakan baik
kekuatan kerajaan Allah sekarang maupun harapan akan hidup bahagia”, Maurice
menegaskan bahwa keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian dengan cara yang
sangat langsung dalam kehidupan Gereja, lebih khusus dalam misi keselamatan.
Partisipasi ini berasal dari hakekat keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga.
Pengambilan bagian dalam misi keselamatan Kristus
menempatkan keluarga sebagai subjek atau pelaku evangelisasi bukan objek. Sebagi subjek evangelisasi,
semua anggota keluarga saling melayani satu sama lain dan kepada dunia.
Keluarga seperti halnya Gereja harus merupakan tempat di mana Injil diteruskan
dan dari mana Injil memancar. Karena itu, di dalam keluarga yang sadar akan
perutusan ini, semua anggota keluarga melakukan evangelisasi dan menerima
evangelisasi. Orang tua tidak hanya mengkomunikasikan Injil kepada anak-anak,
tetapi dari anak-anak juga orang tua dapat menerima Injil yang sama, seperti
yang secara mendalam mereka hayati. Oleh karena itu, sebelum Gereja menyadari
bahwa perkawinan adalah kunci evangelisasi, segala usaha lainnya akan tetap
menjadi pinggiran.
Menafsir lebih jauh anjuran Apostolik Paus Paulus VI, “keluarga
seperti halnya Gereja harus merupakan tempat di mana Injil diteruskan dan dari
mana Injil bercahaya”, keluarga Kristiani selain memberi kesaksian di dalam
keluarganya sendiri, juga dituntut memberi kesaksian kepada keluarga-keluarga
lainnya. Di sini keluarga-keluarga Kristiani menyadari diri sebagai bagian dari
anggota keluarga masyarakat manusiawi yang lebih luas. Oleh karena itu,
keluarga Kristiani pun memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Bentuk
tanggung jawab dan solidaritas antar keluarga ini dapat kita saksikan dalam
kehidupan Gereja perdana, yakni adanya sikap siap sedia untuk membagikan
penghasilan dan waktu mereka bagi yang berkekurangan. Dengan demikian, keluarga
Kristiani dalam praktek misi dan pelayanan keselamatan Kristus telah menjangkau
“keluarga yang lebih besar”.[35]
4.
4. Mengupayakan
Gereja Mandiri di Regio Gerejani Nusa Tenggara Melalui Pendekatan Teologi
Keluarga
Dalam
konteks hidup menggereja kita di regio Gerejani Nusa Tenggara, sebagaimana
diwakilkan oleh ketiga keuskupan di atas, kehangatan berbicara mengenai Gereja
Mandiri disadari belum menampakkan hasil yang memuaskan di lapangan (Bdk.
Sharing Pengalaman TOP). Kenyataan adanya berbagai kendala yang dijumpai di
tengah umat, terutama lemahnya partisipasi mereka dalam hidup menggereja, seyogianya
menyadarkan kita bahwa karya misioner Gereja
ad intra perlu dievaluasi guna merevitalisasi peran umat. Untuk itu, melalui
Teologi Keluarga yang dibahas ini, kami merekomendasikan agar kebijakan pastoral
Gereja-Gereja Lokal kita hendaknya sungguh “menukik lebih dalam” guna memberdayakan
keluarga-keluarga Kristen yang adalah “sel utama” Gereja.
4.
4. 1. Realitas Keluarga Di NTT
Menurut para Sosiolog dan Antropolog, secara tradisional
Keluarga merupakan unit sosial primer dalam masyarakat; Keluarga adalah dasar
pembentuk masyarakat dan penentu eksistensi masyarakat dalam kebudayaan
manusia. Institusi keluarga itu ibarat sebuah payung tradisional bagi para
anggotanya. Ia bukan hanya berfungsi untuk melindungi para anggotanya terhadap
kecenderungan barbarisme dan perilaku seksual yang tidak sehat pada zaman
pra-sejarah (pra-budaya), melainkan juga terutama untuk memenuhi
harapan-harapan para anggotanya, baik individual maupun kolektif.[36]
Secara khusus di NTT, institusi Keluarga dianggap sangat
penting dalam tataran hirarki nilainya. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai
ritual adat dalam entitas-entitas kultural yang terdapat di wilayah ini. Dari
sudut pandang antropologis-kultural, hal tersebut mungkin bisa dijelaskan berdasarkan
latar belakang masyarakat NTT sebagai masyarakat agraris dimana kerjasama dalam
keluarga dan antarkeluarga merupakan hal yang dijunjung tinggi.
Dalam masyarakat agraris tradisional seperti di NTT,
dengan sistem mekanisasi pertanian yang masih sederhana, kerjasama merupakan hal
yang sangat aktual. Hal ini, sebagai misal, untuk menjamin keberhasilan usaha
mengelola tanah, membersihkan kebun dan memanen hasil. Sebab itu, tidaklah
mengherankan apabila prinsip gotong-royong menjadi prinsip primordial yang
dinomor-satukan di wilayah ini. Prinsip tersebut dipandang penting, terutama
untuk menjaga harmoni keluarga dan solidaritas antarkeluarga, serta kelanggengan
masyarakat.[37]
4.
4. 2. Beberapa Spiritualitas Pastoral Keluarga
Berdasarkan
data mengenai realitas keluarga di NTT seperti dipaparkan di atas, maka dalam
konteks refleksi terbatas ini kami berpandangan bahwa bidang-bidang kemandirian Gereja yang
sedang diupayakan saat ini (iman, personal dan finansial) hanya bisa akan berhasil
apabila ditopang dengan spiritualitas pastoral keluarga yang kontekstual. Sebab
itu, para pelayan Gereja
(pelayan pastoral) harus
bertanggung jawab penuh untuk mengarahkan dan menganyomi kehidupan umatnya
(keluarga) pada setiap kondisi dan tempat
di mana pun
dengan memperhatikan beberapa spiritualitas pastoral berikut ini:
a. Spiritualitas
Keseimbangan
Tidak semua orang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Ada berbagai strata yang didasarkan pada prinsip ekonomi,
prinsip sosial dan prinsip religius serta prinsip sosio-religius. Namun setiap
orang mempunyai bagiannya yang harus dimainkan dalam kehidupan bersama seturut
posisi dan fungsinya, punya sumbangan yang harus diberikan untuk memelihara
segalanya dalam keteraturan atau keseimbangan. Dalam keteraturan atau
keseimbangan ini, setiap orang hidup saling menghormati satu sama lain. Menerima
dan menghidupi nilai keseimbangan berarti bahwa pelayan-pelayan Gereja harus
memperhatikan agar pelayanan mereka tidak membuat umat menjadi pasif. Setiap
anggota dapat melihat kharismanya masing-masing dan menggunakannya bagi
kepentingan komunitas “secara seimbang” – tanpa mendominasi– di dalam satu kerangka cinta.
b. Spiritualitas
Musyawarah-Mufakat dan Gotong Royong
Musyawarah-mufakat adalah cara mengatasi kesulitan atau membuat rencana
untuk kegiatan-kegiatan bersama dengan berdiskusi bersama-sama sampai satu
kesepakatan dicapai dan diterima oleh semua. Di
sini, ciri utama musyawarah adalah keterbukaan dan tanpa
hambatan atau tekanan, sebab semua mengalami humanitas mereka secara memadai,
seturut keberadaan mereka sebagai manusia secara konkret dan bukannya secara
abstrak-teoritis.[38] Menerima
nilai ini dalam pelayanan seseorang berarti orang berani untuk bekerja dengan
cepat, dengan memberikan tekanan lebih pada proses partisipasi umat dalam
perkembangan kehidupan komunitas (agar sadar bahwa mereka adalah Gereja), dan
bukannya pada hasil-hasil yang kuantitatif dan kelihatan dari semua kegiatan
bersama. “Masyarakat tidak dapat menjadi sungguh-sungguh maju sampai mereka
mengatur rencana perkembangan mereka sendiri”.[39]
Para pelayan Gereja membantu menyadarkan umat akan pengetahuan yang mereka
miliki.
Gotong-royong adalah cara bekerja bersama secara konkret dalam kehidupan
sosio-ekonomis. Menerima nilai ini dalam pelayanan seseorang berarti
mempercayakan orang lain melaksanakan kegiatan pastoral bersama-sama dalam
suatu kolegiasitas pelayanan dan bukan monopoli individu-individu tertentu.
Keluarga-keluarga Kristen menjadi basis iman dan bertumbuhnya semangat hidup
bergotong-royong. Teologi keluarga memberi pedoman bagaimana kebiasaan untuk
bergotong-
royong harus sudah dimulai sejak di dalam keluarga inti. Dalam berkhotbah dan mengajari umat,
para pelayan Gereja hendaknya menyediakan waktu untuk hadir dan mendengarkan sharing-sharing iman dari keluarga-keluarga Kristen yang ada di
wilayah Gerejaninya.
Di sini, arah katekese dengan sendirinya mesti diubah, bukan lagi berhenti pada
komunitas-komunitas umat basis, tetapi lebih dalam pada keluarga-keluarga inti Kristiani.
Namun dalam praktek pastoral, umat juga perlu dibebaskan dari efek negatif hukum
adat. Misalnya, semangat gotong-royong dalam kehidupan rumah tangga harus jadi produktif
dan bukan konsumtif; pesta adat harus dilaksanakan seturut kemampuan yang
nyata, dan karenanya harus jadi sederhana; belis harus demi kepentingan orang
tua pengantin perempuan; dan orang mati tidak boleh dikuburkan bersama dengan
seluruh miliknya.[40]
c. Spiritualitas
Doa
Doa sebagai ungkapan iman semestinya sudah membudaya di dalam kehidupan keluarga
Kristen. Namun dalam kenyataan, sesuai pengamatan kami, hal ini masih tampak ideal
bagi keluarga-keluarga tertentu. Umumnya, doa di dalam keluarga masih terjadi pada
tataran doa bersama dalam kelompok. Misalnya, keluarga terlibat berdoa hanya sejauh
salah satu anggota keluarganya masuk dalam persekutuan-persekutuan doa tertentu,
seperti tergabung dalam kelompok Legio Maria, Sta. Ana, KTM, atau juga dalam kolompok-kelompok
doa lainnya. Maka untuk menghidupkan kembali semangat doa di tengah keluarga
inti, orang tua (suami-istri) perlu merevitalisasi perannya sebagai pendidik iman
yang utama di dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan seruan Bapa Suci, Paus Yohanes
Paulus II, yang dikutip oleh Maurice, bahwa doa di dalam keluarga itu memiliki
ciri-cirinya sendiri, yaitu doa itu dipanjatkan bersama (suami dan istri
bersama-sama/orang tua dan anak-anak bersama-sama). Dengan demikian, orang tua terus
didesak untuk mengajarkan anak-anak mereka bagaimana berdoa, meyakinkan supaya
mereka sungguh-sungguh berdoa, dan bahkan semestinya berdoa bersama-sama dengan
anak-anak.[41]
d. Spiritualitas
Kehidupan Keluarga
Kedua hal di atas, yakni keseimbangan
dan musyawarah-mufakat dan gotong-royong
serentak mengungkapkan nilai utama dan hakiki dalam kebudayaan NTT, yaitu: nilai kehidupan keluarga. Dalam semangat
kekeluargaan ini, setiap orang tahu posisi dan fungsinya dalam kehidupan
bersama dan bertindak sesuai dengan itu, tahu bicara bersama dalam
menyelesaikan kesulitan atau membuat rencana untuk kegiatan bersama, serta tahu bekerjasama demi kepentingan umum.
Menerima dan menghidupi nilai kekeluargaan berarti bahwa para pelayan
Gereja berani menempatkan diri sebagai anggota-anggota dari suatu keluarga.
“Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegorlah dia sebagai Bapa. Tegorlah orang-orang muda sebagai
saudaramu, perempuan-perempuan tua sebagai ibu dan perempuan-perempuan muda
sebagai adikmu dengan penuh kemuridan” (1 Tim 5:1-2). Dengan demikian para
pelayan Gereja dapat memanggil orang-orang lain dengan nama keluarga mereka
masing-masing dan melaksanakan musyawarah-mufakat atau gotong-royong dengan mereka secara seimbang. Dengan melaksanakan
semua ini, mereka dapat mengubah kehidupan keluarga umat dari dalam untuk menjadi
lebih terbuka terhadap koinonia semua orang dengan Allah.
V.
PENUTUP
5. 1. Catatan Kritis
Setelah mempelajari konsep Teologi Keluarga Maurice dan
memakainya sebagai pendekatan utama dalam mengupayakan Gereja Mandiri di regio
Gerejani Nusa Tenggara berdasarkan berbagai kemungkinan spiritualitas pastoral
di atas, maka ada beberapa catatan kritis yang masih perlu kami beberkan lagi:
a. Maurice berbicara tentang keluarga dari latar belakang
pemikiran Barat. Keluarga yang dimaksudkan dalam teologinya adalah keluarga
inti. Namun dalam konsep keluarga NTT, keluarga tidak hanya dipahami sebagai
keluarga inti melainkan keluarga dalam arti yang lebih luas, yaitu keluarga
kekerabatan. Pada satu sisi, konsep keluarga di NTT sebenarnya lebih menggambarkan
ciri Eklesiologis. Namun dalam prakteknya, pada sisi lain, justru asas
kekeluargaan kekerabatan seperti ini cenderung konsumtif dan tidak mendukung kemandirian
finansial keluarga untuk berpartisipasi dalam mengupayakan kemandirian Gereja. Misalnya,
dalam budaya belis dan pesta komuni pertama, Imam Baru, dan lain-lain. Sebab
itu, untuk mengupayakan Gereja Mandiri, maka keluarga-keluarga Kristen perlu
dilatih untuk membuat perencanaan keuangan yang baik, seperti tabungan. Bertumbuhnya
koperasi-koperasi, baik itu yang digalakkan oleh pemerintah maupun Gereja,
merupakan gerakan akar rumput/umat yang seharusnya ditanggapi secara positif oleh
keluarga-keluarga demi memberdayakan kemandirian finansial.
b.
Di bidang personal,
teologi keluarga yang ditawarkan oleh Maurice semestinya menumbuhkan kesadaran
dalam keluarga-keluarga untuk menjadi agen-agen pastoral awam yang
partisipatif. Gereja Nusa Tenggara termasuk salah satu Gereja yang menyumbang
cukup banyak tenaga pastoral, baik klerus maupun awam, melalui lembaga-lembaga
pendidikan, seperti seminari-seminari dan sekolah-sekolah tinggi pastoral. Akan
tetapi, realitas ini juga membentuk mentalitas ketergantungan dalam diri umat. Misalnya,
untuk kebutuhan menanggung koor di paroki-paroki, para frater selalu diminta
untuk menggantikan barisan Tenor dan Bas dari koor umat. Hal ini tanpa sadar
melemahkan partisipasi para pemuda awam untuk terlibat dalam koor-koor umat itu
selanjutnya.
c. Di bidang iman, kehadiran seminari-seminari dan
sekolah-sekolah tinggi pastoral semestinya menghasilkan refleksi-refleksi
teologis yang kontekstual sebagai sumbangan untuk menambah khazanah teologi
Gereja Universal. Salah satu bahan yang telah tersedia saat ini adalah realitas
kehidupan keluarga-keluarga di wilayah kita sendiri yang berguna untuk
menghasilkan refleksi teologis keluarga di NTT.
5. 2. Kesimpulan
Institusi keluarga sebagai suatu pranata sosial memiliki seperangkat nilai
dan sejumlah kontribusi yang amat mencolok. Menakar institusi keluarga dalam
konteks ini setidaknya muncul suatu kenyataan riil yang menggugah secara umum
keluarga-keluarga Kristen: keluarga sebagai pranata pertama pertumbuhan dan
perkembangan seseorang baik secara fisik, mental, maupun secara spiritual. Jika
keluarga runtuh, maka runtuh juga moralitas, karena keluarga sangat substansial
di mana seorang anak manusia memulai hidupnya, membentuk hidup intelektual,
emosional, sosial, religius dan membatinkan semua nilai itu menuju pembentukan
pribadinya yang integral. Sekurang-kurangnya aspek-aspek inilah yang ditekankan
oleh Maurice Eminyan dalam “Teologi Keluarga”nya. Hemat kami teologi ini sangat kontekstual bila
dihadapkan dengan situasi dan latar belakang kultur masyarakat NTT pada umumnya
– sangat kental dengan sistem kekerabatannya – dan menjangkau arah dasar
perjuangan Gereja Mandiri di wilayah NUSRA. Arah karya
misioner “ke dalam” (ad intra)
menjadi titik tolak perwujudan Gereja Mandiri yang sejati
(mandiri dalam hal iman, personal dan finansial). Pembenahan ad intra menjadikan
keluarga sebagai basis refleksi untuk membangun kehidupan Gereja Mandiri yang seimbang, berwawasan musyawarah-mufakat dan gotong-royong
serta memiliki ikatan Kristianitas yang sejati sebagaimana jemaat perdana dan keluarga kudus Nazareth (kekeluargaan dalam Allah).
[1]Tesis ini merupakan
hasil analisis sosial yang disepakati sebagai masalah utama di berbagai paroki
bertolak dari sharing pengalaman TOP kami pada kesempatan bimbingan Novisiat
Kekal di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, tanggal 18 - 29 Januari 2011.
[2]KWI, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi,
Cet. ke-12, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p. 332.
[6]J. S. Badudu dan S. M.
Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011), p. 857.
[7]F. Hasto Rosariyanto
(Ed.), Bercermin pada wajah-wajah
Keuskupan Gereja Katolik Indoensia, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), pp. 151-152.
[8]LAI, Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi
Pastoral Katolik, (Jakarta: Obor, 2002), pp. 288.291.
[9]Blog Larantuka,
“Profil Keuskupan Larantuka”, (Online), (http://larantuka2009.blogspot.com/2010/06/profil-keuskupan-larantuka.html). Diakses, tanggal 21
November 2011.
[10]Huub J. W. M.
Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja
Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Cet. Ke-5,
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 104.
[12]KWI, “Surat Konferensi
Waligereja Indonesia, Syukur Atas Lima Puluh Tahun Hirarki Gereja Katolik di
Indonesia”, Mingguan Hidup, No. 01. Tahun ke-65, 2 Januari
2011, p. 11.
[13]Huub J. W. M. Boelaars
adalah seorang biarawan OFM Cap., kelahiran Nijmegen, Nederland. Sebagai
misionaris, beliau berkarya di Indonesia selama 12 tahun. Dari tahun 1974
sampai akhir tahun 1982, ia mengetuai bagian penelitian sosial-gerejawi
Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta. Sejak tahun 1984, ia bertugas sebagai
prukorator misi Kapusin di Belanda, untuk melayani hubungan-hubungan dengan
para misionaris beserta para pengganti mereka di Indonesia, Tanzania dan Chile.
Karya monumentalnya tentang sejarah Gereja di Indonesia ini merupakan intisari
penelitian desertasi doktoratnya yang ditulis dalam basaha Belanda dan baru
diterbitkan dalam terjemahan Indonesia pada tahun 2005.
[14]KWI,
“Pembagian Menurut Regio”, (Online), (http://www.kawali.org/viewPage.php?aid=24).
Diakses tanggal, 20 November 2011.
[15]F. Hasto Rosariyanto, Op. Cit., p. 38.
[18]R. Hardawiryana
(Penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II,
cet. ke- 6, (Jakarta: Obor, 2002), p. 422.
[19]Paroki-paroki
dan lembaga formasi yang dimaksud adalah Paroki Sta. Theresia Kefamenanu,
Keuskupan Atambua (Fr. Yohanes Paulus Robin); Paroki Borong, Keuskupan
Ruteng (Fr. Servinus Nahak); Paroki Elar, Keuskupan
Ruteng (Fr. Yohanes Timo); Paroki Sta. Maria Diangkat ke
Surga Rejeng, Keuskupan Ruteng (Fr. Matias A. L. Da
Costa); Paroki Hendrikus Melolo, Keuskupan Weetebula (Fr. Kanisius
Rano); Paroki Sang Sabda Lewa, Keuskupan Weetebula (Fr. Antonius
Binsasi); Komunitas St. Yosef Freinademetz-Labuan Bajo,
Keuskupan Ruteng (Fr. Januarius Watu Basa).
[20]Klasifikasi masalah
ini sengaja dibuat untuk memudahkan pengetahuan kita tentang kendala yang masih
dihadapi dalam mengusahakan Gereja Mandiri di beberapa paroki keuskupan dalam
regio Gerejani Nusa Tenggara.
[21]“Prof. Maurice Eminyan
Passes Away”, (Online), (http://www.timesofmalta.com/articles/view/20101215/local/prof-maurice-eminyan-passes-away.341082).
Diakses, tanggal 28 Desember 2011.
[22]Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 19.
[28]R. Hardawiryana
(Peterj.), Familiaris Consortio
(Keluarga), Seri Dokumen Gerejawi no. 30, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1993), pp. 29-30.
[29]R. Hardawiryana
(Penterj.), Op. Cit., pp. 569-570.
[31]Charles P. Kindregan, A Theology of Marriage (Milwaukee:
Bruce, 1967), p. 97.
[32]Maurice Eminyan, Op..Cit., p. 101.
[36]Sebagaimana yang
dikutip oleh Lukas Batmomolin, “Keluarga: Payung Tradisional”, VOX, Seri 34/3, 1989, pp. 51-52.
[37]Alfonsus M. Gatum, “Banalitas
Korupsi dan Masalah Keluarga”, VOX, Seri
54/02, 2010, p. 75.
[38]J. Dykstra,
“People’s Life Rhythm of Musyawarah-Mufakat Gotong Royong”, dalam Impact, XVII, 2, 1982, p. 45.
[39]George Kent,
“Community-Based Development Planning”, dalam Third Word Planning Review, III, 3, 1981, p. 313.
[40]Yosep S.
Hayon, “Pelayanan di Propinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Suatu Spiritualitas
Inkulturatif”, Jurnal Ledalero, Vol.
5, No. 1, Juni 2006, p. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar