Kebutuhan
untuk merumuskan dan merealisir model pelayanan pastoral tertentu yang
proporsional dalam karya misi Gereja dewasa ini pada hakikatnya merupakan fenomen
yang seyogyanya mendapat perhatian serius dari para agen pastoral dalam karya
pelayanan mereka. Fenomen ini sebenarnya memperguncingkan tentang perihal
semakin dibutuhkannya peningkatan “mutu pelayanan” tertentu yang lebih relevan,
lebih menyentuh hakikat kehidupan umat yang mengusung aneka kompleksitas
permasalahannya. Para agen pastoral, dalam tataran ini dituntut untuk jeli
membaca kenyataan, tantangan dan peluang, yang melingkupi kehidupan umat dalam
konteks di mana ia berkarya, merumuskan model pelayanan tertentu yang
“menyentuh” hakikat keberadaan umat hic
et nunc. Dalam hal ini, kebutuhan model pelayanan kontekstual menjadi
semacam fenomen signifikan bagi para agen pastoral untuk menghayati karya
perutusan Gereja di tengah dunia, yaitu sebagai sarana yang menghadirkan dan
menyalurkan Kristus kepada umat manusia berangkat dari konteks kehidupan mereka
sendiri.
Bertolak
dari kenyataan kebutuhan pelayanan pastoral yang mesti proporsional, maka
penulis melalui paper ini berusaha menggariskan sejumlah point penting menyangkut kebutuhan pelayanan kontekstual dalam
ruang lingkup kehidupan umat di paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse –
Timor Leste. Ada
pun target yang mau penulis capai melalui paper ini, yaitu berusaha menyadarkan
para agen pastoral yang berkarya di paroki ini agar semakin lihai dalam membaca kenyataan hidup umat
yang kompleks dan solusi tepat guna yang bisa diambil dalam karya pelayanan
mereka. Penulis tentunya secara “gamblang” akan merekomendasikan kebutuhan
pelayanan pastoral yang relevan seturut situasi riil kehidupan umat, di mana
penulis sendiri merupakan bagian dari umat paroki ini.
2. PAROKI NOSSA SENHORA DO ROSARIO DE OE-CUSSE: KENYATAAN
DAN TANTANGAN
2. 1. Profil
Paroki
Paroki Nossa Senhora Do Rosario De
Oe-Cusse merupakan paroki pertama dan tertua yang ada di distrik
Enclave-Oe-Cusse, di bawah yurisdiksi keuskupan Dili. Paroki ini pada masa
Integrasi praktisnya memiliki wilayah misi yang sangat luas, yakni membawahi
puluhan stasi di seluruh wilayah distrik ini. Pasca kemerdekaan, beberapa stasi
dari paroki ini kemudian memekarkan diri menjadi paroki otonom, yaitu paroki
Oesilo dan Baoknana, sehingga dengan demikian wilayah misi paroki ini mulai
berkurang menyisakan beberapa stasi yang berada di bawah koordinasinya.
Menyangkut para agen pastoral hierarkis yang pernah berkarya di paroki ini
sejak berdirinya, seturut pengetahuan penulis didominasi oleh para misionaris
Serikat Sabda Allah (SVD) hingga beberapa tahun pasca referendum. Sejak tahun
2002, para misonaris SVD secara resmi telah menyerahkan kembali paroki ini ke
dalam pengelolaan keuskupan Dili, sehingga untuk selanjutnya digembalakan oleh
para imam projo (Pr) hingga kini.
2. 2. Kinerja
Kerja Para agen Pastoral Hierarkis
Dalam hal kinerja kerja, evaluasi spontan umat menandaskan bahwa para agen
pastoral hierarkis terdahulu maupun yang sedang berkarya sekarang, umumnya
“cukup berhasil” dalam karya pelayanan mereka. Bukti-bukti yang sempat penulis
rekam antara lain menyebutkan bahwa banyak bangunan fisik yang telah mereka
upayakan (Gereja permanen dan kapela-kapela di stasi), pendampingan kategorial:
kelompok THS-THM, kelompok Legio Mario, kelompok MUDIKA. Mereka juga bergerak
di bidang pendidikan, kesehatan serta aneka karya lainnya. Kehidupan iman umat
praktisnya dinilai tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Singkatnya,
mereka telah menjalankan karya pelayanannya secara baik seturut tugas universal
Gereja, baik itu pelayanan profetis, politis maupun keimamatan (leitourgia).[1]
Bertolak dari penilaian umat di atas, penulis sendiri sebenarnya mengamini
dan mengapresiasi kinerja kerja yang telah disumbangkan itu. Namun kendati
demikian, seturut pengamatan penulis penilaian yang dibuat itu pada dasarnya
juga masih kurang perfect dan mungkin
lebih merupakan ungkapan penghargaan dan rasa hormat atas segala jerih kerja
para agen pastoral hierarkis yang telah berusaha semampu mereka menjawabi
kebutuhan umat di paroki ini. Penulis berpendapat bahwa para agen pastoral
hierarkis yang berkarya di paroki ini, baik yang terdahulu maupun yang
sekarang, memang telah berusaha semampu mereka dalam karya pelayanannya, namun
mereka juga masih “kecolongan” dalam membaca kenyataan riil hidup umat,
terutama dalam beberapa aspek yang “lolos” dari pengamatan mereka. Sebab itu,
pada bagian berikut penulis akan secara ringkas dan “gamblang” menguraikan
tentang kondisi riil umat yang semestinya menjadi tantangan juga bagi para agen
pastoral dalam karya pelayanan mereka.
2. 3. Situsi
Riil Umat Sebagai Kenyataan Dan Tantangan Bagi Para Agen Pastoral Hierarkis
2. 3. 1.
Lemahnya Minat Baca Kitab Suci
Kehidupan iman umat di paroki ini
memang sepintas pandang terkesan cukup baik, antara lain nampak lewat
partisipasi hidup liturgis yang secara kuantitatif mengesankan. Namun di balik
kenyataan itu, sebenarnya secara kualitatif boleh dikatakan “agak dangkal”
pasalnya sebagian besar umat masih lemah dalam minat membaca Kitab Suci. Locusnya bahwa kebanyakan umat masih
belum memiliki Kitab suci, terutama mereka yang berada di stasi-stasi. Di lain
pihak pula, bagi mereka yang memiliki Kitab Suci, kebanyakan hanya
mempergunakannya pada moment-moment perayaan liturgis. Dengan demikian, Kitab
Suci sebagai buku utama pedoman iman diterlantarkan, kurang dijiwai.
2. 3. 2.
Rendahnya Kesadaran Berkolekte Pada Hari Minggu
Secara kuantitatif, kehadiran umat
dalam perayaan Ekaristi hari minggu terlihat sangat banyak, namun ironisnya
bahwa uang kolekte yang terkumpul tidak seberapa jumlahnya dengan umat yang
hadir. Para agen pastoral di paroki ini banyak berkeluh kesah soal hal yang
satu ini. Aneka pendekatan maupun penyadaran memang telah dibuat, namun
serentak yang menjadi masalah bahwa para agen pastoral dalam pendekatan maupun
penyadaran tersebut terkesan represif,
marah-marah, dan membuat aneka kebijakan sumbangan yang membuat umat merasa
terbebani. Dengan demikian, umat merasa tidak penting lagi memberi kolekte pada
hari minggu karena aneka kebijakan sumbangan tersebut.
2. 3. 3.
Lemahnya Perhitungan Ekonomis Dalam Kerja
Wilayah paroki Nossa Senhora Do
Rosario De Oe-Cusse umumnya meliputi wilayah perkotaan dan sedikit di pinggiran
kota. Umatnya memiliki mata pencaharian yang plural, baik di bidang
pemerintahan (PNS), nelayan, pedagang, peternak maupun petani. Khusus di bidang
pertanian, satu hal mencolok yang menjadi situasi riil umat di sana, yaitu
lemahnya perhitungan ekonomis dalam kerja sehingga banyak tanah lapang yang
terbelangkai, tak tergarap. Kondisi tanah umumnya cukup subur dengan aliran air
yang memadai, namun para petani hanya bekerja musiman di saat turun hujan.
Hasil pertanian yang terdapat di wilayah paroki ini antara lain, padi, jagung,
umbi-umbian, dan lain-lain. Namun hasil yang dituai ini kebanyakan hanya cukup
untuk konsumsi intern, keluarga, sehingga kurang memiliki perhitungan ekonomis
untuk menambah pendapatan.
2. 3. 4.
Banyak Penganggur Musiman
Jumlah umat yang ada di paroki ini
relatif cukup banyak, dengan latar belakang sosial kehidupan yang berbeda-beda.
Bila ditelusuri kesempatan kerja yang ada, maka boleh dikatakan bahwa masih
banyak umat di paroki ini belum memperoleh lapangan pekerjaan yang memadai
lantaran minimnya tingkat pendidikan mereka serta kurang kreatif untuk
berwira-swasta. Masih banyak penduduk yang menganggur dan menunggu kerja
musiman, seperti menggarap ladang atau sawah di musim hujan. Hal ini tentunya
memprihatinkan karena bisa berdampak negatif bagi mentalitas umat, seperti
melakukan cara tak halal dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti
mencuri.
2. 3. 5.
Kesenjangan Sosial Antara Yang Kaya Dan Yang Miskin
Umat di paroki ini juga mengalami
semacam diferensiasi kelas sosial di mana ada umat yang hidup mapan dengan
kelimpahannya dan ada juga umat yang sangat miskin oleh karena ketidakmampuan
mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenjangan sosial antara kedua kelas
paradoks ini akhirnya nyata dalam pergaulan hidup, di mana mereka yang kaya
seakan-akan tidak mau ambil pusing dengan penderitaan sesamanya. Yang miskin
banyak kali disisihkan, kurang didengarkan, dan bahkan sering dilabeli “manusia
bodoh” yang tak tahu berusaha atau bekerja. Dengan demikian, maka harapan communio umat Allah yang bersatu hati,
tolong-menolong sebagaimana cara hidup jemaat Kristen perdana hanyalah ilusi di
paroki ini.
3. UPAYA MENJAWAB KENYATAAN DAN TANTANGAN: KEBUTUHAN
PELAYANAN KONTEKSTUAL DI PAROKI NOSSA SENHORA DO ROSARIO DE OE-CUSSE
3. 1.
Kebutuhan Pelayanan Animasi Kitab Suci
Lemahnya minat membaca Kitab Suci sebagai salah satu situasi riil yang ada
di paroki ini tentunya layak menjadi suatu keprihatinan tersendiri bagi para
agen pastoral dalam karya pelayanan mereka. Dalam hal ini, pentingnya animasi
Kitab Suci sebagai solusi untuk meredam kenyataan ini, menurut penulis
merupakan hal kontekstual yang harus sesegera mungkin direalisir. Umat harus
disadarkan akan pentingnya membaca Kitab Suci dan menjiwainya sebagai buku
pedoman iman sebagaimana yang telah digariskan dalam Dokumen Konsili Vatikan II
tentang “Kitab Suci Dalam Kehidupan Gereja”. Konsili suci mendesak dengan
sangat dan istimewa agar semua orang beriman, baik awam maupun kaum religius,
untuk seseringkali membaca kitab-kitab ilahi (Kitab Suci) supaya memperoleh
“pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp. 3:8).[2] Umat harus disadarkan tentang hal ini
sebab bila tidak, maka mereka dapat dikenakan komentar “pedas” St. Hironimus
bahwa yang “tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”.
Dalam pelayanan kebutuhan ini, para agen pastoral hendaknya mengusung
“spiritualitas dialogal” agar lebih interaktif. Para agen pastoral harus
mengkomunikasikan tentang pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja dengan
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, untuk menjelaskan dan menjawabi
pertanyaan umat seputar ketidaktahuan atau kekaburan mereka soal apa itu Kitab
Suci. Para agen pastoral harus menguji sejauh mana pengetahuan atau pengenalan
umat seputar isi kitab suci dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kreatif
seperti lomba membaca Kitab Suci, kuis Kitab Suci, atau juga secara rutin
menyelenggarakan kegiatan animasi Kitab Suci.
Di lain pihak, para agen pastoral juga hendaknya menyediakan Kitab Suci
secukupnya untuk ditawarkan kepada umat yang belum memiliki buku iman ini. Para
agen pastoral harus menghindari praktek jual Kitab Suci yang terlampau mahal
kepada umat. Sebab itu, sangat dianjurkan agar para agen pastoral mengadakan
kerja sama dengan komisi-komisi Kitab Suci untuk mengatasi kendala ini.
Praktisnya bahwa dalam pelayanan kebutuhan ini umat harus harus terlebih dahulu
memiliki Kitab Suci, sehingga dengan demikian mereka akan semakin mudah diberdayakan
untuk sesering mungkin membaca Kitab Suci dan menjiwainya.
3. 2.
Kebutuhan Pelayanan Katekese
Dokumen Konsili Vatikan II dalam
penjabaran menyangkut “kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral
liturgi” jelas menandaskan di sana bahwa salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan oleh para agen liturgi hierarkis dalam karya pelayanan mereka,
yaitu mengadakan katekese. Kaidah ini menjelaskan bahwa “dengan segala cara
hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat
liturgis; dan dalam upacara-upacara sendiri, bila perlu, hendaklah disampaikan
ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi
ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok,
menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada”.[3]
Bertalian dengan perlunya katekese
ini, maka para agen pastoral hendaknya secara rendah hati merelakan diri untuk
menjumpai umat dalam moment-moment tampan mereka untuk menyampaikan hal-hal
penting menyangkut kehidupan iman Kristen. Para agen pastoral harus secara
ramah, penuh simpatik berusaha “mengambil hati” umat tentang kebenaran apa yang
hendak disampaikannya. Dalam hal ini, berhadapan dengan situasi riil umat di
paroki ini yang kurang sadar untuk memberi kolekte pada hari minggu, maka para
agen pastoral bisa mengusung “spiritualitas pengemis” untuk “menyedot”
perhatian mereka akan pentingnya memberi kolekte pada hari Minggu, yang
tentunya berbeda dari kebijakan sumbangan yang lain.
Sprituaitas pengemis sebenarnya
memperguncingkan tentang keterbukaan hati dan rasa percaya bahwa di balik
sesuatu yang dinilai sampah oleh masyarakat tentunya tersembunyi sesuatu yang
berharga atau bernilai.[4] Para agen pastoral bisa mengusung
spiritualitas ini dalam membina iman umat, bahwa dibalik nilai material uang
yang mereka dermakan kepada Gereja setiap hari Minggu sebenarnya terkandung di
sana suatu nilai rohaniah untuk mendukung iman mereka sendiri, yaitu mau
mencontohi teladan Sang Guru Yesus Kristus. Malalui derma pada hari Minggu dan
upacara liturgis lainnya sebenarnya umat turut berpartisipasi dalam semangat
Yesus sendiri, yaitu memiliki kebebasan batin untuk memberi tanpa kalkulasi
untung rugi. Yesus senantiasa memberi dalam kebebasan batin yang penuh, bahkan
diri-Nya sendiri untuk disalibkan demi dosa-dosa kita. Dengan demikian, maka
umat dapat disadarkan bahwa hal memberi derma itu sangat perlu bila ingin
menjadi murid Yesus yang terkasih, sikap memberi yang harus dilandasi kebebasan
batin.
3. 3. Kebutuhan
Pelayanan Ekonomi
Kebutuhan pelayanan ini tentunya
kita sepakati bukan profesionalisme dari para agen pastoral. Namun kendati
demikian, menurut penulis tidaklah berlebihan juga apabila para agen pastoral
di paroki ini sedapat mungkin berusaha “membaca peluang” untuk memberdayakan
perekonomian umat seturut perhitungan ekonomis mereka sendiri. Para agen
pastoral dengan kapasitas ilmu pengetahuan yang sudah dijajaki sekian tahun
lamanya tentu memiliki sudut pandang alternatif tersendiri menyangkut hal bagaimana
umat harus meningkatkan pendapatan rumah tangganya, terutama bagi para petani
yang cenderung hanya bekerja musiman.
Para agen pastoral bisa mengusung
“spiritualitas pembangunan” dalam pelayanan kebutuhan ini, di mana sentrum yang
diperguncingkannya adalah pembebasan manusia dari keterbelakangan dan
penderitaan.[5] Dalam hal ekonomi, spiritualitas ini bisa
direalisir dengan aneka tawaran alternatif, seperti pembentukan kelompok tani,
bekerja sama dengan instansi pertanian pemerintah untuk mengadakan penyuluhan
pertanian, meninjau wilayah pertanian umat dan menyadarkan mereka akan
pentingnya kerja dengan sedikit perhitungan ekonomis demi kesejahteraan hidup
mereka, atau juga mengikuti jejak Konferensi Wali Gereja Indonesia yang
membentuk satu komisi khusus untuk bergerak di bidang pengembangan sosial
ekonomi (PSE) umat. Program PSE ini, menurut penulis menjadi alternatif yang
menarik untuk dipertimbangkan karena memiliki satu program umum, yaitu
mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk menumbuhkan dan
mengembangkan ekonomi masyarakat.[6]
Dengan demikian, maka kendatipun
para agen pastoral tidak memiliki profesionalisme di bidang ekonomi namun itu
tidak berarti bahwa mereka harus berdiam diri menyaksikan penderitaan dan
keterbelakangan umat. Para agen pastoral tetap memiliki sesuatu hal yang
berharga untuk disumbangkan, yaitu kreasi akal budi mereka untuk “membaca
peluang” dan menganjurkan altenatif-kreatif untuk membebaskan umatnya dari cara
berpikir statis yang tidak menguntungkan, seperti situasi riil di paroki
ini.
3. 4.
Kebutuhan Pendampingan Kaum Penganggur
Pengangguran sebagai fenomen musiman
yag kerap terjadi di paroki ini pada dasarnya berangkat dari mentalitas umat
sendiri yang kurang kreatif dalam bekerja, yang hanya menunggu kerja pada musim
hujan. Situasi riil ini tentunya perlu disikapi oleh para agen pastoral dalam
karya pelayanan mereka karena bisa memiliki imbas negatif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Para agen pastoral hendaknya
melakukan pendampingan terhadap para penganggur musiman ini, berusaha
menyadarkan mereka untuk melakukan pekerjaan kreatif kendatipun di luar musim
kerja yang lazim. Tanah pertanian milik umat di paroki ini, menurut penulis
cukup luas sehingga sedikit terasa kurang proporsional apabila umat harus
menganggur pada saat-saat tertentu. Para agen pastoral hendaknya dalam
pendampingan ini mengusung “spiritualitas partisipatif”, di mana turut serta
hadir bersama mereka, mendengarkan kisah hidup mereka perihal mengapa mereka
harus menganggur di luar musim kerja lazimnya. Setelah berpartisipasi dalam
kehidupan mereka, maka tentunya para agen pastoral harus memberi solusi kreatif
kepada mereka, menawarkan lapangan pekerjaan tertentu yang bisa didanai, atau
juga merekomendasikan kepada mereka kursus-kursus ketrampilan yang bisa
menunjang kecakapan mereka untuk untuk bekerja. Kursus ketrampilan yang menurut
penulis sangat relevan untuk diadakan bagi umat di paroki ini, antara lain
menjahit, perbengkelan dan pertukangan.
3. 5.
Kebutuhan Pelayanan Lintas Kelompok
Pelayanan lintas kelompok yang harus
disikapi pula oleh para agen pastoral di paroki ini, yaitu bagaimana menganyomi
yang miskin dan yang kaya untuk hidup sebagai sama saudara dalam satu communio umat Allah.
Para agen pastoral bisa mengusahakan pelayanan ini dengan menggunakan
“spiritualitas penerimaan” di mana umat disadarkan akan resolusi tentang
realitas keberagaman yang merupakan keadaan hidup yang permanen. Penerimaan
harus ditandai dengan empati, tidak melakukan penilaian, dan keterbukaan.[7] Hakikatnya bahwa umat harus dipertemukan sebagai satu communio umat Allah yang hendaknya menerima perbedaan hidup, baik
itu secara kelas sosial, namun mengusahakan di dalamnya suatu kerukunan, sikap
saling menghargai, dan saling membantu sebagai amal kasih.
Untuk mereka yang berkelebihan secara ekonomi (yang kaya), para agen
pastoral hendaknya menyadarkan mereka soal harapan konsili suci yang
menggariskan satu pokok penting menyangkut kerasulan kaum awam, yaitu amal
kasih sebagai meterai kerasulan Kristiani: “…belaskasihan terhadap mereka yang
miskin dan lemah, maupun apa yang disebut kegiatan karitatif dan kegiatan
saling membantu untuk meringankan segala macam kebutuhan manusia, amat
dijunjung tinggi oleh Gereja”.[8] Dengan demikian, maka mereka dapat dibimbing
kepada suatu pengamalan hidup seturut perintah Sang Guru, Yesus Kristus untuk
membantu mereka yang berkekurangan: “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk
salah seorang di antara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk
Aku” (Mat 25:40).
4. PENUTUP
Pelayanan kontekstual sebagai upaya menjawabi situasi riil umat dalam
Gereja lokal hakikatnya telah menjadi sebuah optio fundamentalis yang signifikan untuk direalisir dalam karya
pelayanan para agen pastoral dewasa ini. Para agen pastoral sudah selayaknya
memajukan skala prioritas pelayanan tertentu yang berangkat dari situasi riil
umat sendiri, sehingga dengan demikian dapatlah terwujud harapan akan wajah
Gereja yang mengumat, berakar dalam kompleksitas masalah mereka yang butuh
dilayani.
Dalam pembahasan di atas, penulis telah mengetengahkan pokok-pokok penting
menyangkut situasi riil umat di paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse
sebagai kenyataan dan tantangan yang harus disikapi oleh para agen pastoral
dalam karya pelayanan mereka. Penulis secara gambalang telah merekomendasikan
sejumlah kebutuhan pelayanan tertentu dan spiritualitas yang bisa diusung dalam
upaya realisasi pelayanan itu. Semoga kebutuhan pelayanan yang dimaksud di atas
bisa menjadi bahan yang berguna bagi para agen pastoral di paroki ini untuk
merumuskan skala prioritas pelayanan mereka, berangkat dari situasi riil umat
sendiri.
[6]E.
Embu, “Karya Sosial Karitatif Gereja Di Indonesia Sebagai Jawaban Alternatif
Terhadap Teologi Kontekstual”, VOX,
SERI 38/4, 1994, p. 94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar