Selasa, 19 Maret 2013

MERUMUSKAN PELAYANAN KONTEKSTUAL DI PAROKI NOSSA SENHORA DE ROSARIO DE OE-CUSSE



1. PENDAHULUAN
            Kebutuhan untuk merumuskan dan merealisir model pelayanan pastoral tertentu yang proporsional dalam karya misi Gereja dewasa ini pada hakikatnya merupakan fenomen yang seyogyanya mendapat perhatian serius dari para agen pastoral dalam karya pelayanan mereka. Fenomen ini sebenarnya memperguncingkan tentang perihal semakin dibutuhkannya peningkatan “mutu pelayanan” tertentu yang lebih relevan, lebih menyentuh hakikat kehidupan umat yang mengusung aneka kompleksitas permasalahannya. Para agen pastoral, dalam tataran ini dituntut untuk jeli membaca kenyataan, tantangan dan peluang, yang melingkupi kehidupan umat dalam konteks di mana ia berkarya, merumuskan model pelayanan tertentu yang “menyentuh” hakikat keberadaan umat hic et nunc. Dalam hal ini, kebutuhan model pelayanan kontekstual menjadi semacam fenomen signifikan bagi para agen pastoral untuk menghayati karya perutusan Gereja di tengah dunia, yaitu sebagai sarana yang menghadirkan dan menyalurkan Kristus kepada umat manusia berangkat dari konteks kehidupan mereka sendiri.
            Bertolak dari kenyataan kebutuhan pelayanan pastoral yang mesti proporsional, maka penulis melalui paper ini berusaha menggariskan sejumlah point penting menyangkut kebutuhan pelayanan kontekstual dalam ruang lingkup kehidupan umat di paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse – Timor Leste. Ada pun target yang mau penulis capai melalui paper ini, yaitu berusaha menyadarkan para agen pastoral yang berkarya di paroki ini agar semakin lihai dalam membaca kenyataan hidup umat yang kompleks dan solusi tepat guna yang bisa diambil dalam karya pelayanan mereka. Penulis tentunya secara “gamblang” akan merekomendasikan kebutuhan pelayanan pastoral yang relevan seturut situasi riil kehidupan umat, di mana penulis sendiri merupakan bagian dari umat paroki ini.


2. PAROKI NOSSA SENHORA DO ROSARIO DE OE-CUSSE: KENYATAAN DAN TANTANGAN

2. 1. Profil Paroki
            Paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse merupakan paroki pertama dan tertua yang ada di distrik Enclave-Oe-Cusse, di bawah yurisdiksi keuskupan Dili. Paroki ini pada masa Integrasi praktisnya memiliki wilayah misi yang sangat luas, yakni membawahi puluhan stasi di seluruh wilayah distrik ini. Pasca kemerdekaan, beberapa stasi dari paroki ini kemudian memekarkan diri menjadi paroki otonom, yaitu paroki Oesilo dan Baoknana, sehingga dengan demikian wilayah misi paroki ini mulai berkurang menyisakan beberapa stasi yang berada di bawah koordinasinya.
Menyangkut para agen pastoral hierarkis yang pernah berkarya di paroki ini sejak berdirinya, seturut pengetahuan penulis didominasi oleh para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) hingga beberapa tahun pasca referendum. Sejak tahun 2002, para misonaris SVD secara resmi telah menyerahkan kembali paroki ini ke dalam pengelolaan keuskupan Dili, sehingga untuk selanjutnya digembalakan oleh para imam projo (Pr) hingga kini.

2. 2. Kinerja Kerja Para agen Pastoral Hierarkis 
Dalam hal kinerja kerja, evaluasi spontan umat menandaskan bahwa para agen pastoral hierarkis terdahulu maupun yang sedang berkarya sekarang, umumnya “cukup berhasil” dalam karya pelayanan mereka. Bukti-bukti yang sempat penulis rekam antara lain menyebutkan bahwa banyak bangunan fisik yang telah mereka upayakan (Gereja permanen dan kapela-kapela di stasi), pendampingan kategorial: kelompok THS-THM, kelompok Legio Mario, kelompok MUDIKA. Mereka juga bergerak di bidang pendidikan, kesehatan serta aneka karya lainnya. Kehidupan iman umat praktisnya dinilai tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Singkatnya, mereka telah menjalankan karya pelayanannya secara baik seturut tugas universal Gereja, baik itu pelayanan profetis, politis maupun keimamatan (leitourgia).[1]
Bertolak dari penilaian umat di atas, penulis sendiri sebenarnya mengamini dan mengapresiasi kinerja kerja yang telah disumbangkan itu. Namun kendati demikian, seturut pengamatan penulis penilaian yang dibuat itu pada dasarnya juga masih kurang perfect dan mungkin lebih merupakan ungkapan penghargaan dan rasa hormat atas segala jerih kerja para agen pastoral hierarkis yang telah berusaha semampu mereka menjawabi kebutuhan umat di paroki ini. Penulis berpendapat bahwa para agen pastoral hierarkis yang berkarya di paroki ini, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, memang telah berusaha semampu mereka dalam karya pelayanannya, namun mereka juga masih “kecolongan” dalam membaca kenyataan riil hidup umat, terutama dalam beberapa aspek yang “lolos” dari pengamatan mereka. Sebab itu, pada bagian berikut penulis akan secara ringkas dan “gamblang” menguraikan tentang kondisi riil umat yang semestinya menjadi tantangan juga bagi para agen pastoral dalam karya pelayanan mereka.
 
2. 3. Situsi Riil Umat Sebagai Kenyataan Dan Tantangan Bagi Para Agen Pastoral Hierarkis
2. 3. 1. Lemahnya Minat Baca Kitab Suci
            Kehidupan iman umat di paroki ini memang sepintas pandang terkesan cukup baik, antara lain nampak lewat partisipasi hidup liturgis yang secara kuantitatif mengesankan. Namun di balik kenyataan itu, sebenarnya secara kualitatif boleh dikatakan “agak dangkal” pasalnya sebagian besar umat masih lemah dalam minat membaca Kitab Suci. Locusnya bahwa kebanyakan umat masih belum memiliki Kitab suci, terutama mereka yang berada di stasi-stasi. Di lain pihak pula, bagi mereka yang memiliki Kitab Suci, kebanyakan hanya mempergunakannya pada moment-moment perayaan liturgis. Dengan demikian, Kitab Suci sebagai buku utama pedoman iman diterlantarkan, kurang dijiwai.
   
2. 3. 2. Rendahnya Kesadaran Berkolekte Pada Hari Minggu
            Secara kuantitatif, kehadiran umat dalam perayaan Ekaristi hari minggu terlihat sangat banyak, namun ironisnya bahwa uang kolekte yang terkumpul tidak seberapa jumlahnya dengan umat yang hadir. Para agen pastoral di paroki ini banyak berkeluh kesah soal hal yang satu ini. Aneka pendekatan maupun penyadaran memang telah dibuat, namun serentak yang menjadi masalah bahwa para agen pastoral dalam pendekatan maupun penyadaran tersebut terkesan represif, marah-marah, dan membuat aneka kebijakan sumbangan yang membuat umat merasa terbebani. Dengan demikian, umat merasa tidak penting lagi memberi kolekte pada hari minggu karena aneka kebijakan sumbangan tersebut. 

2. 3. 3. Lemahnya Perhitungan Ekonomis Dalam Kerja
            Wilayah paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse umumnya meliputi wilayah perkotaan dan sedikit di pinggiran kota. Umatnya memiliki mata pencaharian yang plural, baik di bidang pemerintahan (PNS), nelayan, pedagang, peternak maupun petani. Khusus di bidang pertanian, satu hal mencolok yang menjadi situasi riil umat di sana, yaitu lemahnya perhitungan ekonomis dalam kerja sehingga banyak tanah lapang yang terbelangkai, tak tergarap. Kondisi tanah umumnya cukup subur dengan aliran air yang memadai, namun para petani hanya bekerja musiman di saat turun hujan. Hasil pertanian yang terdapat di wilayah paroki ini antara lain, padi, jagung, umbi-umbian, dan lain-lain. Namun hasil yang dituai ini kebanyakan hanya cukup untuk konsumsi intern, keluarga, sehingga kurang memiliki perhitungan ekonomis untuk menambah pendapatan.
  
2. 3. 4. Banyak Penganggur Musiman
            Jumlah umat yang ada di paroki ini relatif cukup banyak, dengan latar belakang sosial kehidupan yang berbeda-beda. Bila ditelusuri kesempatan kerja yang ada, maka boleh dikatakan bahwa masih banyak umat di paroki ini belum memperoleh lapangan pekerjaan yang memadai lantaran minimnya tingkat pendidikan mereka serta kurang kreatif untuk berwira-swasta. Masih banyak penduduk yang menganggur dan menunggu kerja musiman, seperti menggarap ladang atau sawah di musim hujan. Hal ini tentunya memprihatinkan karena bisa berdampak negatif bagi mentalitas umat, seperti melakukan cara tak halal dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti mencuri.

2. 3. 5. Kesenjangan Sosial Antara Yang Kaya Dan Yang Miskin
            Umat di paroki ini juga mengalami semacam diferensiasi kelas sosial di mana ada umat yang hidup mapan dengan kelimpahannya dan ada juga umat yang sangat miskin oleh karena ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenjangan sosial antara kedua kelas paradoks ini akhirnya nyata dalam pergaulan hidup, di mana mereka yang kaya seakan-akan tidak mau ambil pusing dengan penderitaan sesamanya. Yang miskin banyak kali disisihkan, kurang didengarkan, dan bahkan sering dilabeli “manusia bodoh” yang tak tahu berusaha atau bekerja. Dengan demikian, maka harapan communio umat Allah yang bersatu hati, tolong-menolong sebagaimana cara hidup jemaat Kristen perdana hanyalah ilusi di paroki ini.


3. UPAYA MENJAWAB KENYATAAN DAN TANTANGAN: KEBUTUHAN PELAYANAN KONTEKSTUAL DI PAROKI NOSSA SENHORA DO ROSARIO DE OE-CUSSE
3. 1. Kebutuhan Pelayanan Animasi Kitab Suci
Lemahnya minat membaca Kitab Suci sebagai salah satu situasi riil yang ada di paroki ini tentunya layak menjadi suatu keprihatinan tersendiri bagi para agen pastoral dalam karya pelayanan mereka. Dalam hal ini, pentingnya animasi Kitab Suci sebagai solusi untuk meredam kenyataan ini, menurut penulis merupakan hal kontekstual yang harus sesegera mungkin direalisir. Umat harus disadarkan akan pentingnya membaca Kitab Suci dan menjiwainya sebagai buku pedoman iman sebagaimana yang telah digariskan dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang “Kitab Suci Dalam Kehidupan Gereja”. Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa agar semua orang beriman, baik awam maupun kaum religius, untuk seseringkali membaca kitab-kitab ilahi (Kitab Suci) supaya memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp. 3:8).[2] Umat harus disadarkan tentang hal ini sebab bila tidak, maka mereka dapat dikenakan komentar “pedas” St. Hironimus bahwa yang “tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”.
Dalam pelayanan kebutuhan ini, para agen pastoral hendaknya mengusung “spiritualitas dialogal” agar lebih interaktif. Para agen pastoral harus mengkomunikasikan tentang pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja dengan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, untuk menjelaskan dan menjawabi pertanyaan umat seputar ketidaktahuan atau kekaburan mereka soal apa itu Kitab Suci. Para agen pastoral harus menguji sejauh mana pengetahuan atau pengenalan umat seputar isi kitab suci dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kreatif seperti lomba membaca Kitab Suci, kuis Kitab Suci, atau juga secara rutin menyelenggarakan kegiatan animasi Kitab Suci.
Di lain pihak, para agen pastoral juga hendaknya menyediakan Kitab Suci secukupnya untuk ditawarkan kepada umat yang belum memiliki buku iman ini. Para agen pastoral harus menghindari praktek jual Kitab Suci yang terlampau mahal kepada umat. Sebab itu, sangat dianjurkan agar para agen pastoral mengadakan kerja sama dengan komisi-komisi Kitab Suci untuk mengatasi kendala ini. Praktisnya bahwa dalam pelayanan kebutuhan ini umat harus harus terlebih dahulu memiliki Kitab Suci, sehingga dengan demikian mereka akan semakin mudah diberdayakan untuk sesering mungkin membaca Kitab Suci dan menjiwainya.
 
3. 2. Kebutuhan Pelayanan Katekese
           Dokumen Konsili Vatikan II dalam penjabaran menyangkut “kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral liturgi” jelas menandaskan di sana bahwa salah satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh para agen liturgi hierarkis dalam karya pelayanan mereka, yaitu mengadakan katekese. Kaidah ini menjelaskan bahwa “dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat liturgis; dan dalam upacara-upacara sendiri, bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada”.[3]
            Bertalian dengan perlunya katekese ini, maka para agen pastoral hendaknya secara rendah hati merelakan diri untuk menjumpai umat dalam moment-moment tampan mereka untuk menyampaikan hal-hal penting menyangkut kehidupan iman Kristen. Para agen pastoral harus secara ramah, penuh simpatik berusaha “mengambil hati” umat tentang kebenaran apa yang hendak disampaikannya. Dalam hal ini, berhadapan dengan situasi riil umat di paroki ini yang kurang sadar untuk memberi kolekte pada hari minggu, maka para agen pastoral bisa mengusung “spiritualitas pengemis” untuk “menyedot” perhatian mereka akan pentingnya memberi kolekte pada hari Minggu, yang tentunya berbeda dari kebijakan sumbangan yang lain.
            Sprituaitas pengemis sebenarnya memperguncingkan tentang keterbukaan hati dan rasa percaya bahwa di balik sesuatu yang dinilai sampah oleh masyarakat tentunya tersembunyi sesuatu yang berharga atau bernilai.[4] Para agen pastoral bisa mengusung spiritualitas ini dalam membina iman umat, bahwa dibalik nilai material uang yang mereka dermakan kepada Gereja setiap hari Minggu sebenarnya terkandung di sana suatu nilai rohaniah untuk mendukung iman mereka sendiri, yaitu mau mencontohi teladan Sang Guru Yesus Kristus. Malalui derma pada hari Minggu dan upacara liturgis lainnya sebenarnya umat turut berpartisipasi dalam semangat Yesus sendiri, yaitu memiliki kebebasan batin untuk memberi tanpa kalkulasi untung rugi. Yesus senantiasa memberi dalam kebebasan batin yang penuh, bahkan diri-Nya sendiri untuk disalibkan demi dosa-dosa kita. Dengan demikian, maka umat dapat disadarkan bahwa hal memberi derma itu sangat perlu bila ingin menjadi murid Yesus yang terkasih, sikap memberi yang harus dilandasi kebebasan batin.  

3. 3. Kebutuhan Pelayanan Ekonomi
            Kebutuhan pelayanan ini tentunya kita sepakati bukan profesionalisme dari para agen pastoral. Namun kendati demikian, menurut penulis tidaklah berlebihan juga apabila para agen pastoral di paroki ini sedapat mungkin berusaha “membaca peluang” untuk memberdayakan perekonomian umat seturut perhitungan ekonomis mereka sendiri. Para agen pastoral dengan kapasitas ilmu pengetahuan yang sudah dijajaki sekian tahun lamanya tentu memiliki sudut pandang alternatif tersendiri menyangkut hal bagaimana umat harus meningkatkan pendapatan rumah tangganya, terutama bagi para petani yang cenderung hanya bekerja musiman.
            Para agen pastoral bisa mengusung “spiritualitas pembangunan” dalam pelayanan kebutuhan ini, di mana sentrum yang diperguncingkannya adalah pembebasan manusia dari keterbelakangan dan penderitaan.[5] Dalam hal ekonomi, spiritualitas ini bisa direalisir dengan aneka tawaran alternatif, seperti pembentukan kelompok tani, bekerja sama dengan instansi pertanian pemerintah untuk mengadakan penyuluhan pertanian, meninjau wilayah pertanian umat dan menyadarkan mereka akan pentingnya kerja dengan sedikit perhitungan ekonomis demi kesejahteraan hidup mereka, atau juga mengikuti jejak Konferensi Wali Gereja Indonesia yang membentuk satu komisi khusus untuk bergerak di bidang pengembangan sosial ekonomi (PSE) umat. Program PSE ini, menurut penulis menjadi alternatif yang menarik untuk dipertimbangkan karena memiliki satu program umum, yaitu mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi masyarakat.[6]
          Dengan demikian, maka kendatipun para agen pastoral tidak memiliki profesionalisme di bidang ekonomi namun itu tidak berarti bahwa mereka harus berdiam diri menyaksikan penderitaan dan keterbelakangan umat. Para agen pastoral tetap memiliki sesuatu hal yang berharga untuk disumbangkan, yaitu kreasi akal budi mereka untuk “membaca peluang” dan menganjurkan altenatif-kreatif untuk membebaskan umatnya dari cara berpikir statis yang tidak menguntungkan, seperti situasi riil di paroki ini.  

3. 4. Kebutuhan Pendampingan Kaum Penganggur
            Pengangguran sebagai fenomen musiman yag kerap terjadi di paroki ini pada dasarnya berangkat dari mentalitas umat sendiri yang kurang kreatif dalam bekerja, yang hanya menunggu kerja pada musim hujan. Situasi riil ini tentunya perlu disikapi oleh para agen pastoral dalam karya pelayanan mereka karena bisa memiliki imbas negatif dalam kehidupan bermasyarakat.
            Para agen pastoral hendaknya melakukan pendampingan terhadap para penganggur musiman ini, berusaha menyadarkan mereka untuk melakukan pekerjaan kreatif kendatipun di luar musim kerja yang lazim. Tanah pertanian milik umat di paroki ini, menurut penulis cukup luas sehingga sedikit terasa kurang proporsional apabila umat harus menganggur pada saat-saat tertentu. Para agen pastoral hendaknya dalam pendampingan ini mengusung “spiritualitas partisipatif”, di mana turut serta hadir bersama mereka, mendengarkan kisah hidup mereka perihal mengapa mereka harus menganggur di luar musim kerja lazimnya. Setelah berpartisipasi dalam kehidupan mereka, maka tentunya para agen pastoral harus memberi solusi kreatif kepada mereka, menawarkan lapangan pekerjaan tertentu yang bisa didanai, atau juga merekomendasikan kepada mereka kursus-kursus ketrampilan yang bisa menunjang kecakapan mereka untuk untuk bekerja. Kursus ketrampilan yang menurut penulis sangat relevan untuk diadakan bagi umat di paroki ini, antara lain menjahit, perbengkelan dan pertukangan. 

3. 5. Kebutuhan Pelayanan Lintas Kelompok
       Pelayanan lintas kelompok yang harus disikapi pula oleh para agen pastoral di paroki ini, yaitu bagaimana menganyomi yang miskin dan yang kaya untuk hidup sebagai sama saudara dalam satu communio umat Allah.
Para agen pastoral bisa mengusahakan pelayanan ini dengan menggunakan “spiritualitas penerimaan” di mana umat disadarkan akan resolusi tentang realitas keberagaman yang merupakan keadaan hidup yang permanen. Penerimaan harus ditandai dengan empati, tidak melakukan penilaian, dan keterbukaan.[7] Hakikatnya bahwa umat harus dipertemukan sebagai satu communio umat Allah yang hendaknya menerima perbedaan hidup, baik itu secara kelas sosial, namun mengusahakan di dalamnya suatu kerukunan, sikap saling menghargai, dan saling membantu sebagai amal kasih.
Untuk mereka yang berkelebihan secara ekonomi (yang kaya), para agen pastoral hendaknya menyadarkan mereka soal harapan konsili suci yang menggariskan satu pokok penting menyangkut kerasulan kaum awam, yaitu amal kasih sebagai meterai kerasulan Kristiani: “…belaskasihan terhadap mereka yang miskin dan lemah, maupun apa yang disebut kegiatan karitatif dan kegiatan saling membantu untuk meringankan segala macam kebutuhan manusia, amat dijunjung tinggi oleh Gereja”.[8] Dengan demikian, maka mereka dapat dibimbing kepada suatu pengamalan hidup seturut perintah Sang Guru, Yesus Kristus untuk membantu mereka yang berkekurangan: “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang di antara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). 


4. PENUTUP
Pelayanan kontekstual sebagai upaya menjawabi situasi riil umat dalam Gereja lokal hakikatnya telah menjadi sebuah optio fundamentalis yang signifikan untuk direalisir dalam karya pelayanan para agen pastoral dewasa ini. Para agen pastoral sudah selayaknya memajukan skala prioritas pelayanan tertentu yang berangkat dari situasi riil umat sendiri, sehingga dengan demikian dapatlah terwujud harapan akan wajah Gereja yang mengumat, berakar dalam kompleksitas masalah mereka yang butuh dilayani.  
Dalam pembahasan di atas, penulis telah mengetengahkan pokok-pokok penting menyangkut situasi riil umat di paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse sebagai kenyataan dan tantangan yang harus disikapi oleh para agen pastoral dalam karya pelayanan mereka. Penulis secara gambalang telah merekomendasikan sejumlah kebutuhan pelayanan tertentu dan spiritualitas yang bisa diusung dalam upaya realisasi pelayanan itu. Semoga kebutuhan pelayanan yang dimaksud di atas bisa menjadi bahan yang berguna bagi para agen pastoral di paroki ini untuk merumuskan skala prioritas pelayanan mereka, berangkat dari situasi riil umat sendiri.




       [1]Hasil tanya pendapat via SMS dengan dua orang umat paroki Nossa Senhora Do Rosario De Oe-Cusse: Francisco Xavier Da Costa dan Raimunda Conceçao Mendonça, 27 Mei, 2007.
       [2]DV. 23.,  p. 335.
       [3]SC. 16.,  p. 16
       [4]Y. Suban Hayon, “Pelayanan Di NTT Dalam Suatu Spiritualitas Inkulturatip”, (ms.), Ledalero, 2007, p.13.
       [5]B. Doho, “Teologi Pembangunan: Perspektif Peter L. Berger”, VOX, SERI 38/4, 1994, p. 169.
       [6]E. Embu, “Karya Sosial Karitatif Gereja Di Indonesia Sebagai Jawaban Alternatif Terhadap Teologi Kontekstual”, VOX, SERI 38/4, 1994, p. 94.
       [7]E. Dosi, “Liturgi Sebagai Peristiwa Komuikasi Dalam Masyarakat Majemuk”, (Artikel [t.t.; t.th.]), p. 6. 
       [8]AA. 8.,  hlm. 351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar