Gagasan tentang mission in reverse yang diperbincangkan dalam
kuliah pilihan Spiritualitas Pelayanan Kontekstual masih segar dalam ingatan
saya. Almarhum P. Dr. Yosep S. Hayon, SVD yang mengasuh mata kuliah ini
menjelaskan bahwa praksis misi yang kita jalankan sebenarnya bukan hanya
terjadi satu arah saja, yaitu dari kita untuk umat melainkan juga pada saat
yang sama ada “Misi Terbalik”, yaitu dari umat untuk kita. Misi dua arah inilah
yang hendaknya membingkai pemahaman setiap agen pastoral agar semakin rendah
hati dalam melayani, bersedia untuk mengajar dan diajar, menginjili dan
diinjili umat.
Berdasarkan
gagasan pokok di atas, maka dalam tulisan ini saya mau men-sharing-kan seadanya refleksi masa TOP saya di paroki Rejeng –
Manggarai Tengah dan Live In yang
baru saja dialami di Stasi Boafeo – paroki Ratesuba Ende. Terutama sekali untuk
mengungkap di dalamnya pengalaman ditobatkan oleh situasi umat, “Misi Terbalik”,
yang sangat menentukan isi panggilan saya untuk menjadi Imam,
Biarawan-Misionaris SVD.
PENGALAMAN TOP DI
PAROKI STA. MARIA DIANGKAT KE SURGA REJENG – MANGGARAI TENGAH
Paroki
Rejeng adalah salah satu paroki di Manggarai Tengah yang memiliki wilayah misi sangat
luas, meliputi bekas Hamente (Kerajaan) Lelak kecuali Wela dan sebagian besar
Hamente Pongkor: Perang, Cireng, Kenggu, Ruang, Bola, Herokoe dan Nampe. Wilayah
paroki ini bertahun-tahun lamanya dilayani oleh seorang pastor yang bertempat
di Todo dan juga oleh pastor-pastor lain yang singgah di situ untuk sementara
waktu. Baru pada tahun 1964, paroki ini secara tetap dilayani oleh seorang
misionaris asal Hungaria, yaitu P. Thomas Krump, SVD. Misionaris Sang Sabda ini
kemudian membaktikan hidupnya dengan penuh semangat melayani umat yang
terbilang banyak itu hingga
saat ini (sudah 46
tahun menjadi pastor paroki Rejeng).
Pertama kali menginjakkan kaki di Ketang, pusat paroki,
saya berkesan wilayahnya tidak terlalu udik atau jauh dari keramaian. Namun
kemudian dalam orientasi misi, ternyata medan pelayanannya cukup membentang
luas meliputi 8 stasi yang tersebar: Ketang (stasi pusat), Anam, Pahar,
Tonggur, Mbohang, Rentung, Gencor, dan Lagur. Untuk melayani kebutuhan umat di
paroki ini, pelayan pastoral terthabis yang ada hanya 2 orang, yaitu P. Thomas
dan Rm. Maxi Larung (Kapelan sekaligus Kepala Sekolah SMPK Ketang). Bisa
dibayangkan betapa padatnya jadual kerja dari kedua pelayan pastoral terthabis
ini. Dan setelah menggabungkan diri dalam komunitas pastoran sebagai seorang
frater TOP, saya pun mendapat bagian kerja yang tak kalah menyibukkan, yaitu menjadi
pegawai sekretariat paroki, tutor dalam berbagai kesempatan pembinaan iman
umat, patroli bersama imam ke stasi-stasi, menjadi pengajar di sekolah dan
pembina asrama putera milik paroki.
Pengalaman
awal mengemban tugas-tugas tersebut memang menantang. Apalagi ditambah
persiapan diri yang kurang matang untuk pergi berpraktek di paroki (TOP
terlambat), saya cukup mengalami kesulitan pada permulaan untuk beradaptasi.
Sempat terlintas dalam benak untuk menyudahi masa praktek ini (tarik diri)
secepatnya sehingga bebas dari tugas-tugas yang dipercayakan itu. Namun ternyata,
ini hanyalah kehendak manusiawiku, bukan kehendak Dia (Tuhan) yang telah
mengutusku untuk belajar misi di tempat ini. Sebagai ganti peneguhan untuk “tetap
bertahan” sementara waktu, saya bercermin pada kesetiaan kedua imam Tuhan yang
mendampingiku, P. Thomas dan Rm. Maxi, yang meskipun dalam kepadatan jadual
pelayanan jarang mengeluhkan kesibukan mereka. Selanjutnya saya berusaha
berdamai dengan situasi, berdamai dengan diri sendiri agar tidak lari dari
tanggung jawab yang sudah dipercayakan kepadaku.
Hari
berganti dan waktu pun berlalu. Dalam kesibukan melayani di pos-pos kerja yang
dipercayakan, saya kemudian merasakan sesuatu yang berbeda menyemangati saya. Sekarang
bukan lagi hanya karena mau mencontohi teladan P. Thomas dan Rm. Maxi sehingga
saya mau “tetap bertahan”, tetapi rasa ini memang lahir dari pengalaman keberadaan
saya sendiri saat ada bersama dengan umat yang dilayani. Dalam berbagai
kesempatan pertemuan: di ruang kerja sekretariat, di gereja dan di jalan, di
ruang kelas dan di asrama, saya akhirnya menyadari bahwa kehadiran saya (dalam kata maupun perbuatan
sekecil apapun) di paroki ini memiliki arti tertentu bagi mereka; umat menerima
saya dengan antusias, bertegur-sapa penuh respek, dan sangat berterima kasih karena
kerelaan pelayanan yang telah saya berikan. Saya mengalami peneguhan yang tak terkira
lewat kesadaran semacam ini: saya merasa diri “berarti” dan terutama sekali merasa
dibutuhkan oleh umat. Dan kiranya itulah alasan yang mendalam mengapa saya harus
“tetap bertahan” dan memandang pengalaman ini sebagai cara Tuhan yang unik untuk
mempertahankan saya di jalan panggilan ini.
Akhirnya, di penghujung refleksi sebelum meninggalkan tempat
belajar misi ini, saya mengamini bahwa mission
in reverse bukan sekedar gagasan tanpa bukti. Saya sungguh mengalaminya dalam
bentuk peneguhan dari situasi umat sehingga menentukan titik balik refleksi
saya untuk menjadi orang bebas yang berkaul dan nantinya terthabis untuk
melayani. Saya merasa pilihan hidup ini “masuk akal” karena umat masih membutuhkan
para pelayan injil, umat masih menghargai kerelaan pelayanan kita, dan umat masih
merindukan pengawalan dari para gembalanya untuk mengalami kehadiran Tuhan yang
nyata di tengah mereka.
PENGALAMAN LIVE IN DI STASI BOAFEO, PAROKI RATESUBA-ENDE
Live in yang
baru saja dijalankan di stasi Boafeo, paroki Ratesuba Ende pun mengukir
pengalaman keberadaan tersendiri bagi saya dan turut meneguhkan keputusan saya
untuk berkaul kekal dan nantinya terthabis untuk melayani. Entah sama atau
berbeda dari pengalaman samasaudara yang lain tentang poin ini, namun refleksi
saya menunjukkan bahwa kebutuhan akan para pelayan pastoral khusus (imam,
frater, bruder, suster) di wilayah kita pun masih tinggi. Stasi Boafeo yang
membawahi beberapa lingkungan di sekitarnya boleh dikatakan masih terisolasi
dan merindukan hadirnya para pelayan pastoral khusus ini untuk meneguhkan iman
mereka. Pengalaman keberadaan saya bersama umat di lingkungan Mbani, KUB
Bintang Timur Botutanda, kemudian bersama umat di stasi Boafeo sendiri jelas
membenarkan tesis ini. Namun satu hal penting juga yang perlu dicatat,
berdasarkan keluhan dari umat, adalah kualitas pelayanan kita yang perlu
dirumuskan kembali untuk menjawabi kebutuhan umat secara proporsional.
Dari pembicaraan beberapa umat terkesan mereka masih
merindukan kualitas pelayanan seperti yang dahulu ditunjukkan oleh para
misionaris kita yang pernah berkarya di tengah mereka. Ada nostalgia tetang
karya pelayanan P. Yan Hambur, SVD dan misionaris-misionaris lain yang pernah
bekerja di paroki Ratesuba. Mendengar nostalgia tersebut memang terbersit rasa
bangga karena yang diperbincangkan adalah konfrater kita sendiri. Namun di
balik itu juga ada rasa tertantang untuk merumuskan kualitas pelayanan saya
sendiri yang mencontohi teladan para misionaris tersebut. Ini adalah “Misi
Terbalik” yang saya peroleh dari umat dan turut membentuk kesadaran dalam diri
saya untuk mempersiapkan perencanaan pelayanan yang lebih proporsional sesuai
kebutuhan umat di mana saja nantinya saya bermisi. ***