Sabtu, 30 Maret 2013

MISSION IN REVERSE DALAM MASA TOP DAN LIVE IN



          Gagasan tentang mission in reverse yang diperbincangkan dalam kuliah pilihan Spiritualitas Pelayanan Kontekstual masih segar dalam ingatan saya. Almarhum P. Dr. Yosep S. Hayon, SVD yang mengasuh mata kuliah ini menjelaskan bahwa praksis misi yang kita jalankan sebenarnya bukan hanya terjadi satu arah saja, yaitu dari kita untuk umat melainkan juga pada saat yang sama ada “Misi Terbalik”, yaitu dari umat untuk kita. Misi dua arah inilah yang hendaknya membingkai pemahaman setiap agen pastoral agar semakin rendah hati dalam melayani, bersedia untuk mengajar dan diajar, menginjili dan diinjili umat.  
Berdasarkan gagasan pokok di atas, maka dalam tulisan ini saya mau men-sharing-kan seadanya refleksi masa TOP saya di paroki Rejeng – Manggarai Tengah dan Live In yang baru saja dialami di Stasi Boafeo – paroki Ratesuba Ende. Terutama sekali untuk mengungkap di dalamnya pengalaman ditobatkan oleh situasi umat, “Misi Terbalik”, yang sangat menentukan isi panggilan saya untuk menjadi Imam, Biarawan-Misionaris SVD.  

PENGALAMAN TOP DI PAROKI STA. MARIA DIANGKAT KE SURGA REJENG – MANGGARAI TENGAH
            Paroki Rejeng adalah salah satu paroki di Manggarai Tengah yang memiliki wilayah misi sangat luas, meliputi bekas Hamente (Kerajaan) Lelak kecuali Wela dan sebagian besar Hamente Pongkor: Perang, Cireng, Kenggu, Ruang, Bola, Herokoe dan Nampe. Wilayah paroki ini bertahun-tahun lamanya dilayani oleh seorang pastor yang bertempat di Todo dan juga oleh pastor-pastor lain yang singgah di situ untuk sementara waktu. Baru pada tahun 1964, paroki ini secara tetap dilayani oleh seorang misionaris asal Hungaria, yaitu P. Thomas Krump, SVD. Misionaris Sang Sabda ini kemudian membaktikan hidupnya dengan penuh semangat melayani umat yang terbilang banyak itu hingga
saat ini (sudah 46 tahun menjadi pastor paroki Rejeng).
           Pertama kali menginjakkan kaki di Ketang, pusat paroki, saya berkesan wilayahnya tidak terlalu udik atau jauh dari keramaian. Namun kemudian dalam orientasi misi, ternyata medan pelayanannya cukup membentang luas meliputi 8 stasi yang tersebar: Ketang (stasi pusat), Anam, Pahar, Tonggur, Mbohang, Rentung, Gencor, dan Lagur. Untuk melayani kebutuhan umat di paroki ini, pelayan pastoral terthabis yang ada hanya 2 orang, yaitu P. Thomas dan Rm. Maxi Larung (Kapelan sekaligus Kepala Sekolah SMPK Ketang). Bisa dibayangkan betapa padatnya jadual kerja dari kedua pelayan pastoral terthabis ini. Dan setelah menggabungkan diri dalam komunitas pastoran sebagai seorang frater TOP, saya pun mendapat bagian kerja yang tak kalah menyibukkan, yaitu menjadi pegawai sekretariat paroki, tutor dalam berbagai kesempatan pembinaan iman umat, patroli bersama imam ke stasi-stasi, menjadi pengajar di sekolah dan pembina asrama putera milik paroki.
Pengalaman awal mengemban tugas-tugas tersebut memang menantang. Apalagi ditambah persiapan diri yang kurang matang untuk pergi berpraktek di paroki (TOP terlambat), saya cukup mengalami kesulitan pada permulaan untuk beradaptasi. Sempat terlintas dalam benak untuk menyudahi masa praktek ini (tarik diri) secepatnya sehingga bebas dari tugas-tugas yang dipercayakan itu. Namun ternyata, ini hanyalah kehendak manusiawiku, bukan kehendak Dia (Tuhan) yang telah mengutusku untuk belajar misi di tempat ini. Sebagai ganti peneguhan untuk “tetap bertahan” sementara waktu, saya bercermin pada kesetiaan kedua imam Tuhan yang mendampingiku, P. Thomas dan Rm. Maxi, yang meskipun dalam kepadatan jadual pelayanan jarang mengeluhkan kesibukan mereka. Selanjutnya saya berusaha berdamai dengan situasi, berdamai dengan diri sendiri agar tidak lari dari tanggung jawab yang sudah dipercayakan kepadaku.
Hari berganti dan waktu pun berlalu. Dalam kesibukan melayani di pos-pos kerja yang dipercayakan, saya kemudian merasakan sesuatu yang berbeda menyemangati saya. Sekarang bukan lagi hanya karena mau mencontohi teladan P. Thomas dan Rm. Maxi sehingga saya mau “tetap bertahan”, tetapi rasa ini memang lahir dari pengalaman keberadaan saya sendiri saat ada bersama dengan umat yang dilayani. Dalam berbagai kesempatan pertemuan: di ruang kerja sekretariat, di gereja dan di jalan, di ruang kelas dan di asrama, saya akhirnya menyadari  bahwa kehadiran saya (dalam kata maupun perbuatan sekecil apapun) di paroki ini memiliki arti tertentu bagi mereka; umat menerima saya dengan antusias, bertegur-sapa penuh respek, dan sangat berterima kasih karena kerelaan pelayanan yang telah saya berikan. Saya mengalami peneguhan yang tak terkira lewat kesadaran semacam ini: saya merasa diri “berarti” dan terutama sekali merasa dibutuhkan oleh umat. Dan kiranya itulah alasan yang mendalam mengapa saya harus “tetap bertahan” dan memandang pengalaman ini sebagai cara Tuhan yang unik untuk mempertahankan saya di jalan panggilan ini.
          Akhirnya, di penghujung refleksi sebelum meninggalkan tempat belajar misi ini, saya mengamini bahwa mission in reverse bukan sekedar gagasan tanpa bukti. Saya sungguh mengalaminya dalam bentuk peneguhan dari situasi umat sehingga menentukan titik balik refleksi saya untuk menjadi orang bebas yang berkaul dan nantinya terthabis untuk melayani. Saya merasa pilihan hidup ini “masuk akal” karena umat masih membutuhkan para pelayan injil, umat masih menghargai kerelaan pelayanan kita, dan umat masih merindukan pengawalan dari para gembalanya untuk mengalami kehadiran Tuhan yang nyata di tengah mereka.  


PENGALAMAN LIVE IN DI STASI BOAFEO, PAROKI RATESUBA-ENDE
            Live in yang baru saja dijalankan di stasi Boafeo, paroki Ratesuba Ende pun mengukir pengalaman keberadaan tersendiri bagi saya dan turut meneguhkan keputusan saya untuk berkaul kekal dan nantinya terthabis untuk melayani. Entah sama atau berbeda dari pengalaman samasaudara yang lain tentang poin ini, namun refleksi saya menunjukkan bahwa kebutuhan akan para pelayan pastoral khusus (imam, frater, bruder, suster) di wilayah kita pun masih tinggi. Stasi Boafeo yang membawahi beberapa lingkungan di sekitarnya boleh dikatakan masih terisolasi dan merindukan hadirnya para pelayan pastoral khusus ini untuk meneguhkan iman mereka. Pengalaman keberadaan saya bersama umat di lingkungan Mbani, KUB Bintang Timur Botutanda, kemudian bersama umat di stasi Boafeo sendiri jelas membenarkan tesis ini. Namun satu hal penting juga yang perlu dicatat, berdasarkan keluhan dari umat, adalah kualitas pelayanan kita yang perlu dirumuskan kembali untuk menjawabi kebutuhan umat secara proporsional.
           Dari pembicaraan beberapa umat terkesan mereka masih merindukan kualitas pelayanan seperti yang dahulu ditunjukkan oleh para misionaris kita yang pernah berkarya di tengah mereka. Ada nostalgia tetang karya pelayanan P. Yan Hambur, SVD dan misionaris-misionaris lain yang pernah bekerja di paroki Ratesuba. Mendengar nostalgia tersebut memang terbersit rasa bangga karena yang diperbincangkan adalah konfrater kita sendiri. Namun di balik itu juga ada rasa tertantang untuk merumuskan kualitas pelayanan saya sendiri yang mencontohi teladan para misionaris tersebut. Ini adalah “Misi Terbalik” yang saya peroleh dari umat dan turut membentuk kesadaran dalam diri saya untuk mempersiapkan perencanaan pelayanan yang lebih proporsional sesuai kebutuhan umat di mana saja nantinya saya bermisi. ***

REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA dan JATI DIRI BANGSA (Penciptaan Budaya Tanding Menuju Keadaban Publik)



         Wacana untuk membangun kembali keadaban publik dalam hidup berbangsa yang sebelumnya bobrok memang bukanlah perkara mudah. Wacana ini layaknya “pernyataan” yang berani diumbar, namun benarkah akan tercapai sinkronitasnya dengan “kenyataan”?
        Dalam nota pastoral KWI tahun 2004, kuat dipikirkan solusi untuk mengupayakan keadaban publik tersebut melalui pendekatan sosio-budaya. Fokus perhatiannya, yaitu menciptakan “budaya tanding” sebagai pembalikkan atas “budaya umum” yang sudah tidak beradab lagi dan sedang merajalela dalam bangsa ini. Terutama berhadapan dengan masalah-masalah pokok, seperti korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan, perlunya “budaya tanding” merupakan optio fundamentalis yang tepat guna untuk memecahkan kebuntuan cara mencitrakan kembali keadaban publik seperti yang dicita-citakan.
         Bagi saya, opsi dasariah tersebut adalah sebuah radikalisme pembaruan yang bukan saja bermain dalam tataran teoritis sebagai pernyataan, melainkan harus mendarat dalam praksis sebagai kenyataan. Memang tak termungkiri Gereja telah mengambil sikap untuk mengayunkan langkah-langkah nyata menciptakan “budaya tanding” tersebut seperti terikhtiar pada bagian akhir nota pastoral ini. Namun kesan saya, pernyataan sikap yang sudah ditelurkan tersebut belum menampakkan hasil yang menggembirakan hingga saat ini. Korupsi, kekerasan dan soal kehancuran lingkungan masih tetap menjadi isu aktual. Menurut saya, kelemahan dari pernyataan sikap dalam nota pastoral ini adalah ketiadaan evaluasi berlanjut untuk mengawal penciptaan “budaya tanding” tersebut. Gereja masih bermain dalam tataran pernyataan-pernyataan sikap yang simpatik, berkhayal tentang sebuah pembaruan yang radikal, namun lemah dalam upaya mewujud-nyatakannya. Seharusnya kesadaran eksistensial seperti tertuang dalam nota pastoral ini bukan sekadar dibahas selesai untuk jangka waktu tertentu saja, melainkan secara periodik harus terus dievaluasi untuk mengukur sejauh mana realisasinya, kekuatan dan kelemahan yang dirasakan dari upaya penciptaan “budaya tanding” tersebut. Untuk itu, dari pihak Gereja sangat dituntut konsistensi antara pernyataan dan kenyataan sehingga idealisme pembaruan yang diharapkan bisa tercapai.
            Akhirnya, belajar dari Niphot Thienvihram dan timnya di Chiang Mai, Thailand, yang mengusahakan keberakaran Injil dalam nilai-nilai budaya penduduk setempat sehingga menghasilkan kehidupan yang berkeadilan bagi semua, maka hendaknya Gereja di Indonesia juga mengusahakan penciptaan “budaya tanding” yang diidealkan melalui pengakaran injil dalam nilai-nilai budaya setempat, di mana saja Gereja Lokal berada. Dengan demikian, revitalisasi nilai-nilai budaya yang luhur dan baik itu diharapkan bisa membentuk kembali jati diri bangsa yang berkeadaban, yang berorientasi pada tujuan hakiki mengusahakan kesejahteraan bersama.

Selasa, 19 Maret 2013

PETARUNG JALANAN



Aku petarung jalanan
Hari-hariku adalah berkelahi dengan sang waktu
Yang bergulir tampa kompromi
Menuju titik tiada pasti

Kadang aku lelah meneruskan pertarungan itu
Berkelahi dengan sang waktu yang tak kan kumenangi
Namun optimismeku tak mengizinkan
Aku harus terus bertarung meski hanya sebagai petarung jalanan

Aku petarung jalanan
Berkelahi dengan sang waktu hanya untuk berjalan beriringan dengannya
Tiada lebih inginku hanya untuk bertahan hidup
Tepat di samping sang waktu yang terkini

Memang itulah takdirku
Menjadi petarung jalanan demi sesuap nasi
Mengisi perut seturut hukum waktu
Memaksaku terus berkelahi sampai titik darah penghabisan

MIMPI INDAH



Mimpi indah tatkala cinta membersit
Mengalahkan duka lara kehidupan
Berangan sejuta harapan
Menembusi dunia nyata

Mimpi indah tak tertandingi
Fondasi cinta dibangun
Di atas awan-awan gemerlap bahagia
Dunia bagai labuhan aman, Meninabobokan kerisauan hati

Mimpi indah kapankah berakhir???
Pasti tatkala perpisahan menyusup
Rasa kehilangan di depan mata
Mimpi indah segera buyar

Mimpi indah tinggal kenangan
Siapa kuasa menggapainya kembali???
Mimpi indah hanyalah angan
Rasukan alam bawah sadar yang membingungkan!

MEMBURU CINTA



Menyusuri lorong sempit ketertutupan diri
Memburu cinta bagaikan sebuah revolusi
Menjejaki hidup nyata
Yang terasa baru nyata

Egoisme terus mengalah diri
Memburu cinta mencuri hati
Tak terbendung kapan dan di mana
Mengejar angan sampai purna

Memburu cinta bukan ilusi
Karena tak dapat disangsi
Memburu cinta itu faktum
Arti hakiki yang ada